PROLOG

8 1 0
                                    

Konon, manusia adalah makhluk yang paling sempurna. Namun, dengan kesempurnaan tersebut mereka dapat dengan mudah menjerat sesamanya dengan berbagai tipu daya demi memuaskan keegoisannya masing-masing.

Manusia, adalah makhluk yang mampu melakukan apa pun demi memenuhi keinginannya. Apa pun itu. Ya, dengan cara apa pun!

------

Los Angeles, 2019.

01.30 A.M

Dari balik ruang redup. Tanpa gubrisan, sesosok wanita mengenakan piama tanpa alas kaki berjalan terhuyung keluar meninggalkan kediamannya.

Mahasiswi belia berdarah Indonesia yang tengah melanjutkan pendidikan S2nya di Negara empat musim itu, pada akhirnya memutuskan untuk kembali menjejaki bumi.

Wahai Antariksa, sapalah aku, sambut aku. Aku kembali.

Seolah semesta mendengar suara penghuni bumi yang telah lama menghilang itu. Kunang-kunang bermunculan dari persembunyiannya dengan malu-malu, mereka mulai beterbangan memberi arah menggunakan cahaya yang keluar dari tubuhnya.

Cakrawala pun ikut menyapa dengan cara yang tidak biasa. Kerlap-kerlip bintang seolah sengaja berpancar menghiasi tiap-tiap sudut langit, begitu gemerlap dan menyilaukan.

"Kau cantik malam ini." Bisik riang peri-peri yang berdatangan menyambut kembalinya Elena kepada dunia. Mereka tertawa amat bahagia. Terbang ke sana-ke mari melepas rindu kepada sosok yang telah sekian lama tidak pernah hadir di permukaan semesta. 

Tahukah kamu, betapa kami merindumu? Selamat datang kembali. Selamat pulang Elena’ Ujar salah satu peri yang melayang di depan wajah Elena. Suara yang begitu lembut dan halus bagaikan sihir yang mampu mencairkan musim dingin menjadi musim semi.

Lalu Elena pun memandang peri tersebut dan tersenyum kepadanya. Oh tuhan, terima kasih. Entah mengapa. Rasanya begitu hangat. Secepat refleks kedipan mata. Secepat itulah Elena kini menjadi amat bahagia.

---

Di tengah hembusan angin dan terang rembulan. Elena berjalan setengah menyeret kakinya di atas aspal yang membeku. Kepulan kabut tebal akibat cuaca membatasi jarak pandangnya. Dan  gumpalan-gumpalan uap terbentuk jelas di setiap helaan nafasnya.

Sekali hembusan, dua kali hembusan. Kepulan uap hangat yang keluar dari mulutnya seakan menari-nari di tengah dinginnya malam.

Elena terus menggerakkan kakinya menyusuri jalanan yang begitu tenang dan damai. Seperti inikah rasanya jika aku berjalan di atas altar? Andai saja aku mengenakan gaun putih sekarang. Pasti akan terlihat sangat sempurna. Renda-renda di tata sedemikian rupa untuk menutupi kekosongan untuk memikat mata yang meliriknya. Namun sayang, seandainya saja.

Di tengah parasnya yang sudah sangat lelah, terpancar sedikit kebahagiaan yang tidak dapat ia sembunyikan. Apakah karena ia memikirkan gaun putih itu? Atau ia sedang menikmati perjalanannya yang seindah altar? Entah di antara keduanya atau ada alasan lain. Tidak ada yang mengerti selain dirinya.

Elena bergeming, nampaknya ia telah sampai pada tujuannya. Tapi ia hanya berdiri di tepi jembatan gantung yang berwarna kemerahan itu. Jembatan yang dikenal dengan nama Golden Gate Bride.

Gadis itu mematung mengawasi putaran dunia. Mendadak rasa kagum merebak ke seluruh sarafnya. Gemerlap perairan dan lampu-lampu kota begitu menawan. Sangat mempesona.

Selagi ia terbuai semilir angin diam-diam menyelinap menembus piama tipisnya tanpa ragu dan malu. Elena mengangkat sebelah bibir tipisnya. Lagi pula tidak sebanding dengan jiwaku yang jauh lebih dingin dari hembusan angin malam ini. Baginya udara dingin bukanlah hal yang begitu besar. Tidak untuk sekarang. Dan yang lebih penting lagi, gadis itu sudah sangat merindukan rumah.

ELENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang