Disclimer: Onframe
.
..
~•○●○•~
Mendengus. Mengerling jijik pada noda kopi di ujung kemeja gadingnya yang sudah lama mengering.
Sialan. Alih-alih spesialis torax —pahlawan yang menyelamatkan hidup orang banyak—auranya lebih tepat diindikasikan seperti seorang pengangguran ulung berkedok lulusan SMA yang baru saja dipecat dari pekerjaannya sebagai pelayan kafe, sungguh.
Kuyu, lusuh, tak ada wibawanya sama sekali.
Pasien terakhirnya adalah dua jam yang lalu. Korban kecelakaan tunggal. Patah tulang rusuk dan Pneumotorax terbilang membosankan tapi tak bisa diabaikan, yang kemudian—entah dari mana—ditutup dengan ocehan Dr. Aubrey tentang cekcok tak berujung dengan tetangga sebelah rumah setelah suatu kesalahpahaman—yang membuat di belakang namanya terselip julukan pelakor—membuatnya kesal setengah hidup.
Anyway, itu sudah lama berakhir.
Luanè memejamkan mata. Di antara sesapan bibir pada cangkir Daajerlingnya, ia juga menyimpan umpatan-umpatan pada kesialannya di hari selasa ini.
Pertama, untuk operasi transplantasinya yang tidak berjalan begitu baik. Kedua, untuk Hamish yang menumpahkan pepsi pada jurnal hariannya. Ketiga, untuk hujan yang turun tak tahu waktu. Keempat, untuk Matthew yang tiba-tiba mengajaknya bertemu. Dan yang terakhir untuk kebodohannya yang tidak berpikir dulu sebelum melangkahkan kakinya ke salah satu bar tua pada deretan kios dan apartemen di Canary Wharf yang basah.
Well, kesialannya sudah lebih dari tiga jadi itu banyak.
Maksudku, dari sekian banyak bar kenapa harus disini?
'Tuk'
Aduan cangkir melamin dan permukaan meja kaca terdengar cantik.
Earl Grey?
Luanè mendongak, lalu kembali menunduk. "Maaf, tapi aku tidak pesan ini"
Pria dengan balutan kemeja kelabu dan vest itu tersenyum simpul, "Anggap saja ini pelayanan VIP untuk seseorang yang sepertinya kehilangan gairah hidup, eh?"
"Dan bagaimana itu bisa jadi urusanmu? Dasar sok tahu."
"Jadi urusanku karena kau pelangganku. Jadi, nona, ingin tambah sianida?"
"Sinting."
Tawa ringan mengudara. "Wow, kita baru bertemu setelah sekian lama dan kau sudah mengumpat padaku sebanyak dua kali. Dua kali, nona. Apa kau bahkan mengerti apa itu etika?"
"Tuan, bisakah kau pergi dari sini?"
Bahunya terangkat, "Hm? Aku bekerja disini."
kemudian sebentuk senyum turut menghiasi. Luanè memaku iris jelaga yang juga memaku Cerulean-nya sama dalam. Membawanya pada sebuah pengamatan tak berujung.
Tidak ada yang berubah.
Masih sama.
Dia adalah Bara yang dulu ia kenal.
Garis rahangnya masih mempesona. Senyumnya masih semanis Eclairs di jalanan paris.
Well, mungkin lebih tampan.Sedikit.
Dan itu cukup membuatnya mati-matian menahan sudut bibir agar tidak terangkat bersama fantasinya yang mendadak liar.
Sudut bibir itu menyentak, "Tampan? Aku tahu. Jangan terpesona begitu. Orang bisa salah paham nanti."
Secara tidak sengaja kekehan ringan lolos, "Masih narsis seperti dulu, eh?"
"Menurutmu?" Pria ini kemudian menarik kursi dari meja sebelah dan pergi duduk. Membawa dagu bertumpuh pada satu telapak tangannya dan yang lain ia simpan di depan dada.
Luanè menarik sudut bibirnya, tersenyum nakal, dan menunduk. "Cantik? Aku tahu, jangan terpesona begitu."
"Memang." Masih dengan senyuman tanpa dosa.
Luanè tertegun, berdehem, yang sebenarnya hanya mencoba menormalkan jantungnya yang sempat menggila. "A-Ah...Dan kau, Kau masih saja seorang penggombal," dia kelabakan.
"Ah...Kau benar." Bara membawa tangannya turun, bersedekap sempurna. "Aku jadi penasaran, bagian mana lagi dari diriku yang masih kau ingat?"
Senyum Luanè pudar.
Sangat keliru jika membalas pertanyaan dengan pertanyaan, tapi hatinya benar penasaran tentang bagaimana bisa sebuah Pertanyaan sederhana yang bahkan disuarakan dengan begitu ringan, bisa berputar diotaknya seperti kaset rusak?
Semuanya.
Sialan.
Bagaimana bisa aku lupa.
Luanè terdiam. Bahkan terkejut oleh suara di kepalanya sendiri. Merutuki spontanitas otaknya yang kadang sangat berbahaya.
Ia menunduk, takut jika saja hembusan napasnya terlalu keras akan membuat pria di depannya curiga.
Harinya kacau dan keberadaan pria ini membuatnya lebih buruk lagi. Tak ada penyesalan, hanya saja situasinya membingungkan. Ia memang yang melemparkan diri untuk dihina tapi di sisi lain ada rasa puas saat akhirnya gelagat pria ini bisa berada dalam jarak pandangnya.
Hell, apa ini namanya rindu?
Ia menggeleng ringan, "Bukankah tadi aku menyuruhmu pergi? Kau tidak paham bahasa?"
"Oh sungguh? Tapi rautmu mengatakan sebaliknya. Itu jelas jelas raut 'bisa temani aku sebentar?'."
"Tciih!"
"Kenapa hm? Tidak percaya? Ingin kuambilkan cermin?"
Luanè terkekeh geli, sambil memainkan jarinya pada pegangan cangkir porselen berisi Daajerling-nya yang hanya terisi setengah.
Kemudian alisnya berkerut. Tidak dalam, namun orang akan langsung tahu ia sedang berpikir. Hatinya menyimpan banyak hal untuk dikatakan tapi otaknya tak mau bekerja untuk sekedar memikirkan kalimat pembuka.
"Luanè?"
Ah, lihat? Luanè bahkan tidak tahu dirinya begitu senang saat namanya keluar dari bibir pria ini.
"Bicaralah." Dan suasananya mendadak canggung.
"Sengaja bertanya, kenapa kau... tiba-tiba kemari?"
Ia mendongak, hanya untuk mendapati iris pria itu menatap lurus kearahnya. dalam. Tanpa celah. Tak ada gurat cemooh atau senyum miring di wajahnya.
Jika bisa, Luanè tidak ingin menjawabnya, demi tuhan, tapi sorot mata pria ini memaksanya memuntahkan sederet penjelasan tanpa dikatakan secara eksplisit.
Bibirnya membuka dan menutup. Tapi tak ada yang keluar dari sana. Sudut matanya kebas dan perlahan Luanè menurunkan pandangannya.
Maka ketika Luanè berpikir bahwa ada masa dimana ia akan menang dari pria ini, bisa jadi perhitungannya hanya sekedar bualan belaka. Luanè tahu, tidak seharusnya ia bersikap sembrono.
Faktanya Luanè selalu kalah bahkan sebelum perlombaan dimulai. Pria ini mengalahkannya di garis start.
"Apa ada hal yang ingin kau bicarakan—"
"Bara, katakan..."
"...apa kau menyesal?"
Kemudian, pada putaran detik ke seribuduaratus jarum jam tua di sudut kafe di pinggiran Distrik Canary Wharf, Luanè untuk kesekian kalinya ingin berpura-pura tidak mengatakan apapun.
"Omong-omong, Aku menyukaimu, Lu?
Ayo kencan?""Sheriff?"
-tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
ANOMALI || (On Going)
RomanceDia yang paling mengerti Aturan. "...ragu-ragu adalah sifat dasar manusia. Dan aku tidak menyalahkan sebuah keraguan. Lalu apa yang membuatmu takut, Lu?" "Cinta terdengar rumit, aku tidak ingin kita berakhir tidak bahagia. "Kau hanya harus percaya p...