Nomor 11

974 193 33
                                    

He,

-

Kara tak henti mengusap air matanya yang sudah mengalir sejak pulang dari kediaman Durga. Dirinya kini tengah mengurung diri di dalam kamar, menangisi lelaki yang sudah mengambil hatinya sepenuhnya. Dia abaikan seruan ibunya dari luar yang menanyakan kenapa dirinya menangis.

“Kara, kalo lu gak buka pintunya gue dobrak nih ye!” seru ibu Kara.

Kara masih tak menyahut, malah melemparkan bantal ke arah pintu kamarnya hingga timbulkan suara dan buat ibunya semakin murka.

“HOO ANAK DURHAKA YE LU, DITANYAIN MALAH EMAKNYA DILEMPAR. AWAS YE LU NANTI MALEM MENCRET!”

“KARA LAGI SEDIH, MAK, GEBETAN KARA KECELAKAAN hiks MAMAK NGERTI DIKIT KEK hiks,”

Ibunda Kara yang sudah hendak kembali berteriak seketika diam, nada kasar yang digunakannya terganti lembut.

“Ra, lu serius?”

Kara menjawab dengan isakannya. Sang ibu jadi menyesal telah menghardik putranya. Selama ini dia tak pernah tahu putranya sedang dekat dengan siapa. Beberapa minggu lalu memang terdengar kabar bahwa putranya sedang menjalin hubungan dengan anak salah satu pengusaha kaya, Dharma Wangsa, tapi dia tak serta merta percaya karena anaknya pun terlihat acuh sekali.

“Ra, maafin emak ya? Lu tenangin diri aja dulu, kalo butuh apa-apa bilang aja.”

Setelahnya sang ibu menjauh dari kamar putranya, membiarkan remaja yang tengah bersedih itu menuntaskan tangisannya.

Kara memandang foto Durga yang dia ambil secara diam-diam, dia usap permukaannya sambil terisak.

“Durga, lo kalo bercanda jelek banget, Ga.” bisiknya, “Gue udah dari rumah lo, gue lihat ada banyak polisi sama orang-orang. Gue tanya, katanya ada kecelakaan-- hiks-- awalnya gue berpikir positif palingan yang kecelakaan orang lewat, tapi-- tapi gue penasaran, Ga, gue tanyain ke pak polisi. Dia bilang katanya yang kecelakaan namanya Durga anak Pak Cakra.”

Kara menutup mulutnya untuk menahan isakannya agar tak terlalu kencang.

“Ga, lo kenapa gak hati-hati sih? Kenapa bisa sampe keseret truk? Lo bakalan selamet kan, Ga? Demi Allah gue-- gue nangis, Ga. Gue tadi berhenti di alpamaret dilihatin orang-orang.”

Dia kembali tersedu, wajahnya sepenuhnya basah, kain bantalnya menjadi korban rembasan air matanya.

“Lo harus bertahan, Gak. Gue tau lo kuat hiks. Dada gue sesek banget, Ga, Demi Allah. Gue pengen berhenti nangis tapi gak bisa. Gue kudu gimana?”

Kepalanya sungguh pening, pagi tadi dia masih mendengar celoteh dan tawa Durga ketika berbicara dengannya, masih melihatnya keluar kelas dengan riang sampai mengabaikan panggilannya. Dadanya sangat sesak, mengapa rasanya begini sakitnya? Mengapa dirinya takut sekali?

Durganya akan selamat kan? Durganya akan baik-baik saja kan? Tuhan, tolong biarkan Durga bertahan, tolong jangan ambil Durga darinya dan orang-orang yang mencintainya. Dia tak sanggup bila Durga harus pergi mendahuluinya sedang dirinya belum mengungkapkan perasaannya. Kara memohon, Tuhan.

Remaja enam belas tahun itu menangis hingga terlelap. Mimpi-mimpi buruk mendatanginya, membuatnya kembali menangis dalam tidurnya.

-

“Hari ini Durga izin gak masuk. Dapin lo gantiin dulu piketnya Durga.” kata Kara ketika memasuki ruang kelas.

Wajahnya sedikit pucat dengan mata agak bengkak dan merah karena menangis semalaman.

Arya yang semula terfokus pada ponselnya menoleh.

“Jadi yang di berita itu bener?” tanyanya dengan raut tak percaya.

Pewaris [CHANBAEK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang