Moonlit Snow (I: Hell)

1.5K 171 78
                                    

Kebahagiaan, hidup dengan tenang, mencintai dan dicintai, hal-hal fana yang kerap digantungkan manusia saat menatap rembulan di langit malam.

Serupa sebuah lintasan dalam mini sirkuit. Otak memang dirancang guna memetakan pencapaian; apa yang ingin diingat dan dibuang; kenangan manis, segala pahit, getir, semua telah terpatri dalam sejumlah fragmen sebagai cerita di masa lalu, dan harapan di masa depan.

Aku ingin membuang separuh ingatan, bila bisa. Aku selalu menangis, morebek buku, meremas, lantas melemparnya ke pintu.

Aku benar-benar merasa jadi pecundang. Aku tidak bisa membela diri—sama sekali—lebih tepatnya, tidak sanggup. Bukan karena takut, tapi ... yang mereka katakan, semua adalah kebenaran.

Aku bertanya-tanya, apakah karma juga menimpa keturunan si pembuat dosa? Aku selalu penasaran, apakah pantas seseorang dihukum atas kesalahan pendahulunya? Hidup yang tidak adil menempatkan seseorang pada neraka. Aku ingin tahu, apakah Tuhan juga tahu aku kesakitan? Kenapa Tuhan membiarkanku menderita? Apakah Tuhan juga turut membenciku?

Aku tidak pernah menemukan jawabannya. Bahkan, saat seseorang mengatakan, 'karena sanggup, maka cobaan itu jatuh padamu', aku tetap merasa ini tidak adil. Bagaimana sanggup? Aku bahkan nyaris menabrakkan diri ke kereta, seseorang lalu menarik lenganku dan berteriak, APA KAU SUDAH GILA?!

Hah, bahkan saat sudah di titik tidak lagi takut mati, seseorang masih saja bisa menghakimi.

.

.

.

MOONLIT SNOW

Disclaimer: Naruto ditulis & diilustrasikan oleh Masashi Kishimoto

Cerita ini ditulis untuk Event #HinataBazar dalam rangka meneriahkan hari kelahiran Hinata

Organisasi/lembaga yang ada dalam cerita ini hanya fiktif untuk kebutuhan cerita

Story@Kimonoz

Ilustrasi cover & isi commis Nabilla_hime

.

.

.

Prefektur Kagoshima, 2015

"Buang sampah kalian pada tempatnya, ups—"

Hyuuga Hinata berdiri di depan dinding lengkap bersama keranjang sampah menutupi kepala. Sisa makanan bercampur remasan kertas, juga reja-reja pensil menuruni bahu mungilnya. Senja seolah melambaikan tangan melalui kaca yang membayang di belakang punggung. Seakan berkata, hari sudah sore, bukankah sebaiknya kalian pulang?

Namun, bagi siswi kelas 3-B Sekolah Khusus Perempuan Kyarakutā, momen pulang sekolah adalah yang ditunggu. Bukan untuk pulang, melainkan di mana mereka bisa bertingkah lebih beringas dalam memojokkan satu-satunya murid yang dibenci.

Hyuuga Hinata tak pernah tahu apa kesalahannya. Mereka membisu, selain mengumpati, dan melontarkan kata-kata jahanam yang entah bagaimana seorang gadis remaja bisa melakukan itu.

Anak pembunuh!

Anak koruptor!

Seharusnya kau mati bersama ayahmu!

Moonlit SnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang