5

2.3K 210 3
                                    

"Jadi... kenapa dok?" Airin bertanya. Sedangkan sabil, ia tak henti-hentinya menundukan kepala, Takut. Entahlah, kadang merasa... cowok itu mempunyai sedikit trauma di tempat ini. Tapi tidak terlalu parah. Itulah sebabnya sabil masih bisa bertahan di tempat ini. Walaupun, karena sedikit paksaan.

Kembali. Dokter laki-laki itu menghembuskan nafas dalam. Menatap Airin dan sabil yang duduk di sebelahnya secara bergantian. Seakan.... sangat berat memberitahukan hal ini kepada mereka berdua. Terlebih lagi, Pikir dokter. Mereka masih sangat muda.

Airin menatap sekilas sabil, sangat khawatir kepada cowok itu. Walaupun, kenyataanya... Airin memang masih belum siap untuk mendengar ini. Tapi.... ah, sudahlah.

"Menurut diagnosis kami... " Airin kembali mendongak, menatap Dokter itu sangat penasaran. Sabil pun ikut mendongak dengan lesu. Ia meremas kain celana yang ia pakai sebab ia masih ketakuan.

"Saudara sabil... menderita penyakit kanker paru-paru." Sambung Dokter itu lirih. Mata airin tebelalak, sedangkan dada sabil bergemuruh hebat.

"Dan kini... kanker paru-paru tersebut baru saja memasuki stadium 3." Jelas Dokter itu lagi.

Lemas, sangat lemas. Badanya memanas, Sabil menahan kembali air matanya agar tidak tumpah. Nafas Airin kembang kempis tidak karuan, keringat dingin mengucur deras di keningnya.

"Lantas, apakah masih bisa disembuhkan dok?" Tanya Airin sedikit panik. Mendengar itu Dokter menghembuskan nafas panjang, kembali memandang Airin dengan lekat.

"Masih bisa." Jawabnya singkat. Airin kini sedikit lega, pun sabil. Tetapi cowok itu masih terus menunduk, memikirkan sesuatu yang bahkan lebih parah dari ini.

"Asalkan, saudara sabil menjalani terapi rutin. Menjaga pola makan, olahraga yang teratur, dan.." Dokter menggantung ucapannya, membuat Airin sangat penasaran karena ulahnya. Kemudian Dokter itu milirik Sabil dengan pandangan kasihan. "Jangan stres dan banyak pikiran." Sambungnya.

Airin yang mendengar itu kemudian mengangguk paham. Dirinya kembali menengok kearah Sabil dengan tatapan sendu.

"Saya akan buatkan resep dulu." Sela Dokter. Airin tersadar, kemudianya tersenyum kearah dokter itu "S-silakan dok."

Sepinanggalan dokter itu, Airin kembali menatap Sabil dengan sendu. Dan kini Sabil pun membalas tatapan Airin tak kalah pilu.

"Rinn..." ujarnya dengan suara serak. Menahan tangisnya yang akan tumpah.

"Kita kasih tau Bunda." Tukas Airin, berusaha tegas walaupun dada gadis itu tampak sesak.

"T-tapii... gue gak mau bikin mereka khawatir rin." Balas Sabil. Airin kembali menghembuskan nafas lelah.

"Tapi ini udah parah bil! Lu gak usah egois! Gue tau lu gak mau ngerepotin orang tua lu! Tapi pliss bil..." Airin menggenggam tangan sabil memohon. "Mereka berhak tau karena mereka orang tua lu." Sambungnya parau.

"Gue gak mau ngebebanin mereka Rin. Dan lu kan tau sendiri kalo biaya terapinya tuh gak murah."

Mendengar itu, Airin kemudian mendongak sambil menampilkan smrik miris ke Sabil "Ohhh.... jadi lo bakal ngebiarin diri lo itu kek gini terus? Lo bakal ngebiarin kanker lo itu makin parah hah?!" Cibir Gadis itu. Mata Sabil pun terbelalak, menggeleng dengan spontan.

"Eh? E-enggak." Elaknya. "Ya terus?" Sambung Airin bertanya. Sabil kembali tertunduk lesu.
"G-gue cuma gak mau... ngerepotin mereka." Ujarnya Lirih.

Hati Airin sedikit sesak, ia meredam kembali emosinya yang sempat memuncak. Menghembuskan nafas dalam agar aura negatifnya segera terbuang. Dan kini,ia menatap Sabil dengan sedikit prihatin.

"Bil." Airin menurunkan nadanya, menatap sabil dengan lekat. "Bagaimanapun juga, mereka orang tua lu. Dan lu tanggung jawab mereka. Jadi mereka sudah siap di repotin lu. Berat ringannya masalah, kalo orang tua lu belum tau. Masalah itu gak bakal selesai. Percaya deh." Airin tersenyum, mengulas salah satu bahu sabil dengan ibu jarinya.

"Dan untuk masalah ini, gue yakin. Mereka bakal ngelakuin apapun demi lu, demi lu sembuh. Dan demi lu bisa ngewujudin cita-cita lu yang pengen jadi Arsitek." Kalimat Airin terjeda, ia kembali menghembuskan nafas dalam "Jadi Pliss bil, kasih tau bunda tentang ini. Biar mereka juga cari jalan keluarnya. Mau ya?" Bujuk Airin

Setelah mendengar itu perasaan lega mencelong di dadanya. Sabil kembali mendongak, memandang Airin dengan parau.

"T-tapi-"

"Gue yang ngomong." Sela Airin.

Dan tanpa perstujuan sabil lagi, Airin segera meraih benda kotak pipih di sakunya. Ia segera mengutak-ngatik Ponsel itu sebelum menempelkannya ke telinga.

"Halo?" Tanya Airin kearah telepon saat terhubung.

"Oh? Halo Airin? Ada apa nelfon? Sabil ama kamu?" Jawab perempuan di seberang sana. Airin melirik sabil sekilas sambil menjawab
"Iya nih Bund, Sabil ama Airin."

"Ohh... syukurlah kalo ama kamu, soalnya udah sore Sabil belum pulang juga. Takut kenapa-napa." Balas perempuan itu.

"Iya nih. Hehehe" jawab Airin. Hening sejenak, ada Rasa ragu saat mau mengatakan ini. Tapii...

"Bund?" Panggil Airin. Seketika perempuan di seberang sana pun menjawab dengan deheman(hm?).

"Boleh ngomong gak?"

"Ngomong kok pake ijin segala. Ngomong mah, ngomong aja Atuh."

Airin menggigit bibir bawahnya terlihat kebingungan. Ia melirik sabil, sedangkan Respon sabil hanya menunduk tak berminat mendongak.

"Eumm... A-anu... ntar aja ngomongnya pas ketemu. Airin mau pulang dulu ama sabil." Ujar Airin pada Akhirnya.

"Oh, Yaudah kalo gitu mah. Bunda tungguin dirumah. Kalian hati-hati di jalan."

"Iya bund."

Sambungan telepon telah terputus. Airin kembali menatap Sabil dengan pilu. Ada raut kasihan yang tersirat di ekspresi wajahnya. Gadis itu meraih paha sabil, mengelusnya pelan berusaha menenangkan.

Sabil mendongak, menatap Airin dengan Sendu. "Makasih Rin." Ucapnya Parau.

He's Homophobic ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang