Terbenamnya Matahari

1K 141 29
                                    


—𝓖𝓲 𝓴𝓪𝓲 Í𝓵𝓲𝓸𝓼—

—𝓖𝓲 𝓴𝓪𝓲 Í𝓵𝓲𝓸𝓼—

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Kala itu gue baru saja keluar setelah selesai kelas sore, dan langsung mendapatkan kabar kalau Ilios drop. Mendengar hal itu, gue langsung pergi ke Rumah Sakit dan melewatkan rapat hima serta kegiatan lain. Yang ada dalam pikiran gue cuma Ilios, cuma tentang Ilios dan rasa cemas serta khawatir. Gue langsung datang ke ruang rawatnya, di sana sudah ada keluarga Ilios lengkap, Ayah, Ibu dan juga abangnya. Ilios terbaring lemas dengan selang infus serta alat-alat lain yang terpasang.

Ibunya tertunduk di samping Ilios, sembari mengucapkan kata-kata yang tak bisa gue dengar. Sedangkan Papanya hanya berdiri di belakang, dengan mengalihkan pandangan ke arah lain, walaupun begitu, gue menangkan perasaan Papa Ilios yang mencoba kuat melihat keadan putranya, beliau tidak mau terlihat sedih di hadapan Ilios. 

Gue membalikan badan kemudian menghapus jejak air mata yang entah sejak kapan turun, selama perjalanan ke sini, gue seolah mendapat firasat, langit senja terlihat begitu menawan dengan angin lembut yang mengusap gue setiap detiknya seolah memberikan kekuatan.

Ketika Ibu Ilios berdiri dan menyembunyikan wajah dalam pelukan suaminya, Abang Ilios menepuk bahu gue dan memberikan kode agar gue mendekat. Dengan senyum lebar yang gue usahakan, gue duduk di kursi kemudian menggenggam tangannya. 

Mata Ilios terpejam, dan tangannya terasa hangat, gue mengusap lembut lalu mengatakan kalau gue datang untuk bertemu Ilios. Dia seolah paham, ldan membalas genggaman tangan gue walau begitu lemah. Saat itu rasanya air mata ingin menetes deras, gue yang bahkan tidak menangis ketika dihadapkan dengan masalah keluarga yang rumit, kini harus menahan tangis dengan meremat pada celana yang gue kenakan.

"Kak Bumi." Suaranya begitu lirih memanggil. Akhirnya gue makin mendekat untuk mendengarkan yang ingin dia katakan lebih lanjut.

"Iya sayang?" suara gue sedikit bergetar kala itu.

"Aku lihat pantai yang bagus banget. Aku bisa ke pantai Kak." Ujarnya dengan senyuman yang mengembang, matanya tetap terpejam. Air mata gue menetes, tidak bisa lagi menahan perasaan.

"Bagus banget ya? Akhirnya Ilios bisa ke pantai. Ilios seneng ga?" gue bertanya dengan wajah penuh air mata.

"Seneng. Ada yang kasih Ilios rumah buat tinggal di sana. Ilios seneng banget." jawabnya.

"Ilios . . ." Kalimat gue tertahan, gue meremat tangan begitu keras sebelum akhirnya mencoba melanjutkan. "Ilios mau tinggal di sana?" pertanyaan gue di jawab anggukan.

"Boleh ga?"

Dia seolah meminta izin, dan hal itu membuat seisi ruangan mengharu. Ibunya terisak, papanya yang sedari tadi menahan air mata, kini ikut menangis dan Abangnya memilih melihat ke luar jendela sembari sesekali mengusap air mata yang jatuh. Gue natap ke arah orang tuanya, seolah meminta izin, orang tua Ilios yang sadar langsung menghapus air mata dan mendekat. Mereka tersenyum lebar sembari melihat putranya.

BUMI DAN MATAHARI ¦ MarkHyuck (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang