Sehabis makan siang memang paling asyik tidur siang, apalagi cuaca sedang sejuk begini. Malangnya, anak-anak XI IPS malah harus mendengarkan Bu Surya, guru Matematika mereka, menjelaskan Trigonometri dengan cepat seolah semua siswa akan langsung mengerti apa yang diajarkan. Beliau asyik sendiri menerangkan dan menulis rumus-rumus di whiteboard tanpa sesekali berhenti untuk bertanya "Ada yang mau ditanyakan?"
Kelas XI IPS terbagi menjadi beberapa kasta: Anak-anak pintar dan rajin dambaan para guru duduk di dua barisan depan, diikuti dengan mereka yang biasa-biasa saja tapi masih mau usaha, dan yang terakhir adalah kasta terendah, mereka yang duduk di kelas cuma untuk menunggu jam pulang sekolah. Kasta terendah ini duduknya selalu di barisan-barisan belakang.
Ren dan teman-temannya tentu saja termasuk kasta barisan belakang. Kecuali Nadia. Sebenarnya ia bisa saja duduk di barisan depan karena dia pintar dan rajin, tapi ia lebih memilih duduk dekat Ren dan lainnya. Rana si anak baru masih pendiam, jadi belum ketahuan dia masuk kasta yang mana.
Kondisi di barisan belakang begitu suram. Ada yang tidur, ada yang sibuk selfie, Abu sibuk menulis puisi. Niatnya mau diberikan ke Rana. Dara sibuk mainan filter di aplikasi hp-nya. Nadia yang mencoba menegur Dara, lama-lama malah ikutan juga.
"Hihihi, ini lucu, beb," kata Dara pada Nadia sambil melihat-lihat wajah mereka dengan filter yang lucu-lucu.
Sementara Javier dan Ren sedang bisik-bisik berdiskusi tentang Rana.
"Menurut lo si anak baru itu gimana, Ren?" tanya Javier dengan antusias.
"Hmmm..." Ren menatap Rana yang kelihatannya sedang sibuk mencatat. "Keliatannya bisa dimintain contekan. Nadia suka pelit soalnya."
"Ih, bukan itu!" tukas Javier gemes. "Maksud gue, bakal gampang dideketin nggak ya?"
"Aduh, kayaknya sih bukan tipe yang mikirin soal pacar-pacaran, ya. Apalagi sama yang mukanya penuh niat jahat kayak elo," kata Ren datar, yang berakibat bagian belakang lehernya mendapat cubitan keras dari Javier yang membuat Ren sontak teriak "AH!".
Bu Surya langsung membalik badan menghadap para siswa. Matanya tertuju pada Ren yang masih mangap.
"Ahhh, ternyata begitu ya, Bu. Pantes dari tadi saya sedikit bingung, tapi sekarang udah ngerti." kata Ren sambil mengangguk-angguk sok pintar.
"Ada pertanyaan?" tanya bu Surya kepada seluruh siswa.
Tentu saja tidak ada yang menjawab. Karena kapan sih ada siswa yang dengan semangatnya bilang "Ada, Bu!" ketika guru bertanya begitu?
Jadi, mau tidak mau, Bu Surya akan menunjuk satu siswa yang kurang beruntung untuk dipaksa bertanya.
"Heh, kamu!" Bu Surya menunjuk Abu yang sedang asyik menulis puisi. "Abu!"
"Ya, Ibunda Guru. Ada apa memanggil saya?" jawab Abu seraya melepas pandangan dari buku tulisnya.
"Ada pertanyaan?"
"Sejauh ini tidak, Ibunda Guru."
"Ah masa? Dari tadi perasaan kamu nggak merhatiin," Bu Surya ngotot.
"Akan tetapi telinga saya mendengarkan."
"Halah, kamu dari tadi ngapain sih nunduk aja?" Bu Surya berjalan cepat menghampiri Abu yang gelagapan menutup bukunya, tanpa memperhatikan kalau pensilnya masih berada di dalam buku.
Tanpa bicara, bu Surya menyambar buku itu dan langsung membuka halaman yang terganjal pensil. Bu Surya terdiam membacanya. Ia melihat ke Rana sebentar, kemudian membaca lagi.
"Bacain depan kelas," perintah Bu Surya seraya mengembalikan buku itu ke Abu.
"Tapi, Ibunda..."
"Ayo," nada bicara Bu Surya yang tegas membuat Abu tidak berani melawan lagi.
Dengan canggung Abu berjalan ke depan kelas. Seluruh mata memandang ke arahnya. Dengan tangan gemetar Abu mulai membaca tulisan di bukunya.
Matamu Laksana Samudra
Teduh dan dalam, aku tenggelam di dalamnya
Kulitmu bagai salju
Putih dan sejuk, aku ingin tergelincir di atasnya
Senyummu bagai hutan hujan di kebun raya
Teduh tapi misterius, aku ingin menebak apa di baliknya
Rana
Sudikah kiranya
Kau mengenalku lebih jauh?
Akan kubawa kau keliling dunia
Yang tak seberapa besar dibanding cintaku padamu
Sorak-sorai riuh menggelegar di kelas yang tadinya sunyi itu. Orang-orang bertepuk tangan dan bersiul sambil meledek. Rana hanya tertunduk malu tapi juga ikut terkekeh karena tingkah Abu dan tanggapan teman-teman sekelasnya.
Sebagai hukuman, Bu Surya menyuruh Abu memotong rumput di halaman sekolah sebelum pulang. Sorenya, ketika siswa lain sudah pulang, Abu sibuk berjongkok di halaman memotongi rumput yang sudah panjang dengan gunting rumput (karena tidak mungkin pakai gunting kuku). Pak Rahmat, pengurus sekolah, duduk di dekatnya dengan wajah semringah sambil menyeruput kopinya. Ia paling senang kalau ada siswa yang dihukum mengurus halaman sekolah, karena itu artinya ia bisa bersantai.
Ren, Dara, Javier, dan Nadia belum pulang. Mereka tidak ikut memotong rumput, sih, hanya bantu mendukung.
"Ayo Abu, semangat! Cepetan, gue pengen pulang. Pengen mandi!" seru Dara, yang sebetulnya terpaksa ada di sana karena Ren menggunakan kalimat pamungkasnya jika ada salah satu teman sekelasnya menolak jika diminta atau diajak sesuatu, "Ih parah, nggak solid!"
"Bu, Bu! Itu masih panjang di situ. Gimana, sih, Anda kerjanya nggak bener," kata Javier belagak ngebos.
"Ya Tuhan, kapan semua ini akan berakhir?" keluh Abu sambil menengadah ke langit.
"Ya... kalau lo udah selesai, Bu." kata Ren.
"Aku lakukan ini demi kamu, Rana," kata Abu, yang kemudian semangatnya bangkit kembali.
Satu setengah jam kemudian, Abu menyelesaikan tugasnya. Rumput-rumput yang ia potong dimasukkan ke plastik dan diserahkan ke Pak Rahmat untuk dibuang. Akhirnya, Abu dan kawan-kawannya bisa pulang.
"Gaya banget deh lo nulis puisi cinta buat Rana," kata Javier, ketika mereka sedang menuju gerbang sekolah. "Baru juga dia sekolah di sini tiga hari. Kan lo belum kenal. Kalau ternyata dia freak gimana, hayo?"
"Aku terima dengan lapang dada," jawab Abu.
"Haduh, cinta mati dia," kata Nadia menggeleng-gelengkan kepala.
"Inilah, sahabat-sahabatku, yang dinamakan love in first shit," kata Abu dengan pengucapan bahasa Inggris yang amburadul.
Hening sejenak.
"LOVE AT THE FIRST SIGHT, ABU!" seru teman-temannya.
![](https://img.wattpad.com/cover/292674626-288-k784177.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak-anak Daksa
HumorIni adalah cerita anak-anak SMA biasa. Nggak ada badboy naksir cewek cupu, nggak ada anak SMA yang doyan MMA, nggak ada anak CEO, nggak ada kehidupan hedonisme. Hanya tentang sekumpulan remaja dengan masalah-masalah lumrah yang mereka hadapi. Nilai...