"It's Ok To Have Expectations", Is It?

0 0 0
                                    


Semua orang punya lingkaran setan. Sebuah masalah yang mereka hadapi terus menerus, dan entah seberusaha apapun mereka berusaha melawannya, mereka kembali masuk ke masalah tersebut.

Biasanya, masalah tersebut tidak pernah selesai karena sifat mendasar bawaan manusia yang sudah ada sejak dulu kala, bahkan sejak kita kecil. Kita semua punya sifat yang mendominasi kita, seperti film inside out, atau film korea Yumi's cell yang sedang sangat marak dibicarakan akhir-akhir ini --- bahwa memang ada sifat yang sudah mendominasi kita sejak lahir.

Dominannya sifat ini, membawa baik buruknya dalam keseharian kita. Sifat ini bisa mengarahkan kita ke orang yang tepat, namun juga menemukan kesakithatian mendalam saat tidak diterima oleh orang lain, karna kita menyadari, satu sifat ini, benar benar mendefinisikan banyak dari diri kita.

Saya merupakan orang yang perasa. Highly, sensitive, person, para pesohor psikolog di media sosial menyebutnya dengan sebutan keren tersebut. Dan kami para remaja yang senang mendiagnosa diri sendiri dengan istilah-istilah mental tersebut dengan bangga memakai label label itu.  

Kalau kita melihatnya dengan pandangan netral, sebenarnya, "perasa", bukanlah sebuah sifat yang buruk, bukan? Maksud saya, saya bukannya hobi membunuh orang atau apa. Tapi kadang, nilai-nilai yang ada di masyarakat bisa sebegitunya membuat satu kata sifat menjadi terasa buruk.

Sayangnya nilai negatif yang ada di masyarakat hadir dari orang-orang yang kita anggap dekat. Teman, kekasih, atau bahkan orangtua sendiri.

Kita tumbuh dengan banyak pemikiran, "Oh, ternyata, salah ya, begini?"

Banyak orang yang kita kira menerima apa diri kita, pada nyatanya tidak menerima kita, karena kita berbeda, dari ekspekstasi mereka.

Nilai Masyarakat,

Ekspekstasi,

dan, Manusia.

Lingkaran setan, sebenarnya berputar-putar di ketiga itu. Bagaimana diri ini terkontrol nilai masyarakat yang dibentuk ekspekstasi antar manusia yang seharusnya tidak pernah ada, bahkan dari orang terdekat seperti orangtua.

Saya membahas pemikiran ini dari buku yang baru saya baca, the subtle art of not giving a fuck by Mark Manson, yang menyebutkan bahwa, terlalu banyak nilai yang saya harapkan dari keluarga saya, yang membuat saya kecewa pada akhirnya. 

Saya lelah menceritakan ini, tapi mungkin tetap harus diceritakan untuk pada akhirnya pemikiran saya bisa tersampaikan dengan baik. Orangtua saya bercerai tiga tahun lalu, dan saya sempat berfikir saya spesial, karena, saya lebih menderita dibanding orang lain. Saya tidak pernah menyalahkan orangtua saya karena bercerai, meski semua teman saya berkata, bahwa saya punya hak untuk menyalahkan ayah saya yang berselingkuh, atau ibu saya yang sama sekali merasa tidak bertanggung jawab atas semuanya dan memberikan semua tanggung jawabnya pada saya; tapi, saya akui, semua ini sangat memberatkan saya.

Saya merasa tidak pernah diterima, hanya dengan masalah diam dan bicaranya saya.

Titik terberat saya jatuh dua bulan lalu, saat pertama kali saya merasa semarah itu dan tidak bisa mengontrol diri saya. 

Saya histeris, berlari sejauh empat meter tanpa sadar di malam hari yang ramai, sambil berteriak, tantrum tanpa sadar. Jika saya ditanya apa rasanya punya badai di otak, mungkin malam itu saya bisa menjelaskannya dengan jelas. 

Saya bekerja dengan baik, saya pegawai perusahaan negeri, saya memiliki titik terang karir yang cukup baik. Tapi memiliki keluarga yang tidak sesuai nilai saya, sangat memberatkan saya, sampai saya ingin mati, dan semua pencapaian yang saya miliki di luar rumah terasa tidak berarti lagi, karena saya sangat marah.

Saya mencoba menghadapi keadaan, tapi yang sangat sulit bukan menerima keadaan, tapi menerima sifat orang dekat yang bertentangan disekitar Anda saat ada keadaan yang sulit. Nilai masyarakat, ekspekstasi, manusia. Pernah kan, berada di kantor yang pekerjaannya setumpuk, tapi rasanya tetap bahagia karena ramahnya rekan kerja?

Tapi sebaliknya, kantor dengan rekan kerja menyebalkan dan menindas, dengan pekerjaan ringan, menyebalkannya luar biasa. Malah, cenderung memuakkan.

Nah, pernah membayangkan, kantor dengan rekan kerja menindas, plus pekerjaan setumpuk?

Itu yang saya alami, di rumah, setiap hari.

Saya ingin mati, saya berdoa kepada Tuhan, kalau memang lebih baik saya dimatikan, maka ambillah saya.

Saya hidup dengan pemikiran, "Oh, salah ya, begini?" setiap harinya. Bukan sebuah lingkungan yang baik. Tapi bodohnya saya, saya mencoba menerima itu dengan pandangan "empati" saya, dari sifat "perasa" saya yang saya benci.

Tapi ternyata, saya sama saja, manusia, yang tergantung nilai masyarakat dan ekspekstasi.

Di balik percobaan pengertian saya, mencoba empati pada orangtua saya, tetap melakukan yang terbaik untuk mereka, (sampai saat upline MLM yang saya jalani bertanya, apa mimpi saya? saya bahkan tak bisa menjawab, karna separuh hidup yang saya lakukan, ya adalah keinginan orangtua saya --) saya, diam-diam berekspekstasi, mereka akan berubah. Mereka akan perlahan menerima saya. Sesederhana menerima kenyataan bahwa saya introvert yang tidak punya banyak tenaga untuk merespons cerita mereka tentang laki-laki atau perempuan lain yang bahkan saya tidak peduli di setiap langkah pertama saya masuk ke kamar saya.

Saya menyadari pula, bahwa saya diam-diam, setiap harinya, kecewa. Kecewa bahwa saya tidak mendapatkan nilai keluarga yang diakui di masyarakat; bahwa keluarga bahagia seharusnya yang lengkap, yang saling bertukar cerita, yang makan malam bersama di meja makan, yang tertawa bersama menonton serial Netflix.

Pada akhirnya, saya sampai pada sebuah poin, bahwa saya tidak seharusnya lagi, berusaha, berekspekstasi, dan bersandar pada nilai yang tidak pernah ada dalam kehidupan saya.

Di 24 tahun ini, saya hanya tidak ditakdirkan mendapatkan semua itu, jadi saya tidak usah lagi berusaha. Saya harusnya hanya tidak peduli. Mereka, orangtua saya, hanyalah orang yang terlalu berbeda dengan saya.

Nilai dan ekspekstasi kami terlalu berbeda.

Mungkin nilai yang mereka pegang adalah, seorang anak dilahirkan untuk menyelamatkan mereka di masa tua. Atau, seorang anak memang dilahirkan sebagai properti, yang tidak punya perasaan dan pemikiran.

Mungkin ekspekstasi yang mereka pegang adalah, seorang anak akan selalu tersenyum mendengar orangtuanya bercerita, menyesakkan atau tidak. Seorang anak harus berpenghasilan 20 juta perbulan untuk menghidupi mereka.

Mungkin, saya juga yang terlalu banyak berharap dari mereka.

Kami, sebagai anak dan orangtua, tidak bisa memenuhi nilai dan ekspekstasi kami masing-masing, karena kami terlalu berbeda.

"Tapi, sebenarnya, kamu punya nilai itu bukan tanpa alasan bukan? Seseorang yang tak pernah memakan daging, wajar akan meminta daging di luar rumah, karena tidak pernah mendapatkan itu sepanjang hidupnya. It's ok to want things in life?"

Is it? Is it okay, to want things?




Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 29, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bahwa Segalanya Tentang KetidaktahuanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang