Dunia Mereka

39 0 0
                                    

Terkadang, memang ucapan itu yang diperlukannya
Ucapan menenangkan yang selalu dirinya nanti
Ucapan hangat yang selalu menyemangati
Ucapan tulus yang ia inginkan setiap hari

Karenanya memang luka yang mengelilingi jiwanya
Luka yang hanya Alen menjadi obatnya

HAPPY READING!

Seperti biasa di pagi hari ketika hari sekolah. Rutinitas seorang Riviera Chazia adalah menelpon sang kekasih agar segera bangun dari tidurnya. Berharap bahwa lelaki disana sedikit saja mendengarkan nada dering ponselnya.

Namun tidak, karena hal yang paling sulit dari seorang Alen adalah susah dibangunkan. Tidak cukup hanya menggunakan nada dering, namun juga perlu goyangan keras di lengan ataupun kaki jenjangnya

Ketika kesekian kalinya harapan Zia pupus, tidak ada jawaban darisana.

Zia menekuk wajahnya berkali-kali lipat, mood nya pagi ini sangat sangat kacau. Ditambah hari ini tamunya sedang datang, jadi ketika panggilan ke-8 dari nomer yang diteleponnya lagi-lagi tak mendapati jawaban untuk kemudian ia menghentakkan kaki kesal dengan wajah badmood parah.

Memasukkan ponselnya ke dalam tas dan berjalan ke arah pangkalan angkot yang berada di ujung gang jalan. Ia sudah terlanjur malas menelpon Alen, orang yang tidur tapi seperti simulasi mati, dasar menyebalkan.

Gadis itu segera memasuki angkot yang memang kebetulan akan segera berangkat dikarenakan penumpang yang sudah hampir penuh. Lebih tepatnya didominasi oleh kaum para ibu-ibu yang berbelanja sayur.

Menit berlalu, posisi Zia saat ini adalah sudah berdiri di depan gerbang besar SMA Castro. Menolehkan kepalanya ke kanan ke kiri, mengamati setiap siswa-siswi yang berangkat sekolah di Senin pagi ini. Berharap sekali lagi bahwa mungkin saja Alen sudah berangkat terlebih dahulu.

Namun mengingat betapa jarang sekali cowok itu masuk tepat waktu, Zia hanya bisa kembali membuang nafas pasrah. Lalu melanjutkan langkah menuju ke dalam sekolah, mengingat jam sudah menunjukkan pukul tujuh kurang lima menit yang artinya upacara bendera akan segera dimulai.

Ketika sebuah senggolan di bahu kanannya membuat Zia menoleh dan mendapati teman sebangkunya yang tengah tersenyum sumringah ke arahnya.

"Apa?" Ucapnya malas.

Namanya Delona Rissa. Sahabat sebangku Zia. Sosok gadis cantik yang periang namun sangat ceroboh.

"Belum juga dimulai pelajaran, udah kusut aja muka lo pagi-pagi." Singgung Lona.

"Bodoamat."

"Oh ini pasti masalah Alen, ngaku lo?" Tudingnya tiba-tiba dan menatap Zia dengan mata memicing.

"Nggak tau ih, intinya aku sebel Lonaaaaa." Rengek Zia.

"Lah napa dah ni anak?"

"Dahlah nggak jadi."

"Yee gimana sih lo? Eh kalau dilihat-lihat, muka lo kayak habis dipukulin gitu Zi." Ucap Lona, baru menyadari ada satu buah plester di dahi gadis sampingnya.

"Kejedot pintu."

Zia berbohong, nyatanya luka seminggu lalu itu memang membawa sedikit perubahan baginya.

"Beneran? Kok kejedot pintu sampe agak lebam-lebam gitu." Lona masih berusaha keras mencari tahu kebenarannya.

Zia mendengus pelan "Lona plis deh, aku lagi nggak mood. Bisa nggak pertanyaan kamu ditunda aja?" Ujar Zia.

Walaupun begitu, Zia memang sengaja untuk tidak meneruskan percakapan masalah hal ini. Ia hanya tak ingin membuat sahabat baiknya itu khawatir. Karenanya memang Lona merupakan salah satu orang yang paling berharga baginya.

ALENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang