Kota Daeng ; Gerbang Timur

13 4 4
                                    

"Randa!" Panggilan khas itu membuat si pemilik yang mengenali suara mengangkat wajah, menghentikan kegiatan mencocokkan wajah yang ada di ponselnya dengan orang sekitar yang penuh sesak ingin segera meninggalkan pelataran bandara.

Lelaki itu tersenyum lebar, merasa lelahnya mencari terbayar sudah. Ia mendekat bersamaan dengan si pemanggil yang langsung berhambur memeluknya.

"Deh! Akhirnya ketemu langsung!"

Dengan hoodie merah maroon-nya, lelaki berusia duapuluhan itu membalas peluk si cewek, mengabaikan isi otaknya yang tidak mengerti maksud kata deh yang diucapkan tadi.

Deh sendiri dalam kalimat yang dilontarkan bermakna sebagai ucapan rasa senang.

"Bagaimana ji? Ndak sepanas Jakarta, tok?" tanya si cewek.

"Ngomong apa sih, Jeng? Indonesian, please."

Yang dipanggil Jeng tertawa lucu dengan mata menyipit cantik, mata yang selama ini hanya dipandang melalui telekonferens secara daring oleh si lawan bicara.

"Maksudku, Makassar bagaimana? Ndak sepanas Jakarta, 'kan?"

"Beneran itu artinya? Agak beda, kayaknya." Randa masih tak percaya, sedikit bingung juga.

"Ih! Sudah, ayuk ke rumah!"

Senyum lebar itu terbalas, mereka saling memandang sejenak, lalu mulai beranjak melangkah menuju angkutan umum yang sudah menunggu.

"Ini namanya pete-pete, Ran. Pertama kalimu tok naik beginian?"

Randa menyimak sebentar, berusaha memahami aksen dan kosakata yang dilontarkan teman yang ia kenal melalui jaringan komunitas daring ini.

"Iya lah. Ke Makassar aja baru pertama kali."

"Kalau begitu, selamat datang, Daengku." Randa terkejut, ia menolehkan kepala dari yang tadinya menatap teman ceweknya, menghadap belakang, ke arah si supir.

"Eh, iya, Pak. Terima kasih."

Lalu setelahnya, ia menoleh lagi ke arah teman yang ia panggil Jeng tadi. "Ajeng, Da-daengku itu apa?"

Ajeng tersenyum manis, merasa bangga sendiri bagaimana sikap ramah setiap orang di tanah kelahirannya.

"Kalau diartikan secara bahasa, Daengku itu artinya kakakku. Kalau dilihat dari arti lain, Daeng itu kayak sebutan untuk orang yang dihormati, kayak raja atau orang tua begitu."

Randa mengangguk-ngangguk. Ia mengambil notes kecil di sakunya dan mulai menuliskan apa yang baru ia dengar.

"Keren juga, ya."

"Pastimi."

"Nah itu, kata-kata kayak mi, ji, dan apa lagi? Itu artinya apa?"

"Pelan-pelan, bosku. Pelajari satu-satu. Lama jeki di Makassar, tok?"

"Jeki apa lagi, Rajeng?" Randa mengeluh, kepalanya pusing karena ketidakpahamannya. Sebenarnya, ia punya teman orang timur tepatnya teman dari Papua di Jakarta sana, ia sedikit paham maksud dari kata tok.

"Jeki itu, kamu." Rajeng menikmati semilir angin yang menerbangkan rambutnya. "Tadi kubilang, kamu bakalan lama di Makassar, 'kan?"

Ah, Randa mulai paham. Ia mengangguk sekilas lalu menatap lekat Rajeng yang kini memejamkan mata.

Selama ia hidup di Jakarta, sepertinya rasio ia naik angkutan umum tidak pernah sesering saat ia masih kecil, masa itu memang belum ada ojek daring dan juga sulit mempunyai kendaraan pribadi mengingat bagaimana keadaan ekonominya dulu. Jadi, naik angkutan umum kali ini memberinya rasa rindu di masa kecil.

Kota Daeng ; Gerbang TimurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang