Gejolak. NikSun, SunKi

28 2 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


☆☆☆

Shabi kayaknya baru pertama kali ngerasain perasaan aneh yang dia nggak tahu namanya--pengen nangis tapi nggak bisa. Rasanya seperti ada yang sumpal tenggoroknya, dan ada yang ganjal dadanya sampai mau bernafas normal saja nggak bisa.

Sepanjang Shabi berdiri nyandar di kap mobilnya dipinggir tol jembatan, nyaris satu jam, berulang-ulang pengendara yang berlalu lalang natap dia dengan pandangan nggak terdefinisikan--tapi Shabi sudah pasrah kalau saja mereka anggap dia sebagai orang gila.

Matanya bengkak, jejak air mata masih membekas di pipinya. Rambut hitam yang baru dia pangkas tiga hari lalu sekarang acak acakan, Shabi persis kayak pemabuk yang suka ngegembel dipinggir jalan.

Jujur, Shabi nggak pernah merasa seberantakan ini sebelumnya. Mau kemana pun dirinya nggak tahu, kepalanya sudah terlanjur pening. Kegiatannya sembari menunduk dari tadi adalah buka tutup aplikasi chat, bimbang sekali.

Satu notifikasi Instagram muncul, ternyata Ares baru saja posting igs, isinya hanya foto kue cokelat berlatarkan jendela malam. Shabi mengulum bibir, pasti anak itu sedang menikmati malam menjelang ulang tahunnya besok.

Enak tuh. Shabi membalas story Ares, yang langsung dijawab kurang dari semenit setelahnya.

Wkwkwk, mau? Kesukaan lo nih, mau gue go-send-in gak? Biar dimakan sambil nonton cowok korea lo.

Shabi tertawa disela air matanya yang kembali tumpah, kemana saja dirinya sampai baru sadar kalau Ares sepeduli ini dengan dirinya?

Ares, gue mau nangis. Begitu ketiknya.

Yang ia dapat adalah balasan normal yang biasanya Ares kirimkan padanya, terlalu sering bahkan kelihatan kayak Ares punya template sendiri. Habis putus sama cowok kpop mana lagi lo?

Gue mau mundur dari kak Sena.

Shabi bisa tebak tentang perubahan raut Ares di seberang sana. Selama ini, Ares yang jadi support systemnya, terlebih selama Shabi berjuang buat deketin salah satu kating yang ganteng luar biasa, namanya Sena.

Ares tahu semua tentang Shabi dan Sena, tapi nggak buat perasaan bergejolak yang Shabi pertama kali rasakan waktu lihat Sena sekarang malah berbalik muncul saat Shabi sedang bersama Ares.

Shabi baru dapat pencerahan dari sepupunya, Vicky. Tentang rasa suka itu bisa dibedakan atas naksir atau cuma kagum. Dan yang Shabi rasakan buat Sena itu cuma kagum, yang biasanya bakal hilang setelah beberapa hari.

Hal itu yang buat dia merenung lebih dalam, perasaan ini ternyata bukan buat Sena.

Ares is calling...

Shabi tertegun, nggak biasanya anak itu menelepon. Hal yang dia lakuin cuma pandangi layar hapenya sampai panggilan itu berubah jadi panggilan nggak terjawab.

Kenapa nggak diangkat? Disusul bubble chat dari Ares di aplikasi lain.

Kenapa nelepon?

Gue mau kotbah. Hal apa yang ngebuat lo pengen mundur? Insecure lagi?

Shabi mendesah, "Bukan Res, bukan."

Tapi di panggilan kedua, Shabi tekan ikon warna hijau. Loudspeaker dibuka, biarkan suara dalam Ares ikut nyapa angin malam yang terpa wajahnya sepoi-sepoi.

"Halo, Bit?"

Suara itu nggak akan pernah gagal buat sensasi aneh jalarin perut Shabi, nggak akan pernah gagal buat Shabi seolah tengah mengapung diantara awan-awan di angkasa.

"Ares, gue suka sama lo." Rentetan kata itu keluar dari mulut Shabi kurang dari dua detik.

Ares tertawa diseberang sana, "Lo beneran gila kayaknya dibuat kak Sena. Kenapa? Kenapa mau mundur? Katanya mau terobos gimanapun keadaannya?"

"Gue gak main main, Ares. Sekarang gue kangen lo."

"Jangan bercanda."

"Gue yang tolol, Res. Selama ini gue suka lo, tapi kenapa tolol banget ngejadiin kak Sena kambing hitam?"

"Shabita."

"Perut gue bergejolak ternyata karena elo, bukan kak Sena. Kepala gue pusing karena lo lari-lari di pikiran gue, bukan kak Sena. Gue gak bisa tidur sampe subuh karena kangen lo, bukan kak Sena." Shabi beri jeda, gigit bibir bawahnya. "Gue cuma kagum sama kak Sena, makannya kemarin gue jalan sama dia rasanya jantung gue gak seberisik pas gue cuma nerima bubble chat lo."

Mendesah lagi, dia nggak dapat jawaban dari seberang. Shabi lirik mobilnya, teringat dengan kalang kabutnya dia sejam lalu kendarai mobil untuk ketemu Ares, tapi entah kenapa dia malah berhenti di tengah jalan. Perasaannya perlu dibuktikan, dan Shabi nggak bisa menunggu barang sampai besok.

Jadi mobilnya dinyalain lagi, hape ditaruh di pangkuan dengan sambungan yang belum keputus.

"Bit,"

"Gue dijalan."

"Mau kemana? Nggak usah aneh-aneh, Bit."

"Ke rumah lo."

Bisa didengarnya Ares mendesah keras diseberang, "Shabita, jangan ngasih gue harapan berlebih."

"Lo kenapa?" Shabi sedikit menyentak, "Tadi seolah lo mau nolak gue, sekarang?"

"Shabita i've told you not to messing around. Jangan bercanda."

"Gue gak bercanda, lo pikir gue cuma main-main bilang gini ke lo gara-gara gue mundur dari kak Sena? Nggak, Ares."

Nggak ada jawaban lagi, kini mobil Shabi sudah sampai di perbatasan kota sebelah. Dia nggak peduli soal kelas pagi besok, Shabi dengan senang hati nyamperin Ares yang tinggal di kota seberang buat lontarin secara frontal--kalau Shabi nggak main-main dengan ucapannya.

Udah cukup selama ini dia denial dengan mengambing-hitamkan Sena, Shabi dan Ares harus tuntas malam ini.

"Fine, use me."

"Apa?"

"Use me to be your man. Cepet, sebelum kuenya gue abisin sendiri."

Di depan apartemen Ares malam itu, Shabi betul-betul menangis histeris di pelukan Ares. Dia nggak akan denial lagi, kalau gejolaknya itu buat Ares, cuma buat Ares.

Glorious.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang