Jujur, aku tidak tahu hubungan apa yang kujalani sekarang. Pacaran tetapi aku merasa seperti simpanan. Dia seakan menutup komunikasi denganku jika berhadapan dengan para sahabatnya, bahkan cenderung mengabaikan diriku.
"Sayang, Mas harus pergi. Lila membutuhkan Mas sekarang." Pamitnya dengan terburu-buru meninggalkan apartemenku, padahal aku belum mengangguk untuk mengiyakan ucapannya.
Kupandangi pintu yang baru saja tertutup rapat itu, dia kembali mengulang kesalahan yang sama. Dan aku hanya bisa diam. Menangispun percuma, karena ini tidak pertama kalinya.
Paginya aku memilih untuk bangun tidur lebih pagi, menyiapkan laporan yang harus aku bawa. Ditambah aku harus mengikuti dealing ke pihak ketiga sebagai pihak pelaksanaan lapangan.
"Wi, tadi dicari Pak Kevan." Ucap Ilham saat aku mendaratkan tubuhku ke kursi.
"Tumben sudah datang."
"Kan nanti jam delapan lo harus otw ke Bandung, kan?" Aku mengangguk, "Makanya Pak Kevan jam segini sudah datang. Sono gih ke ruangannya, takutnya nanti kalau lo telat dimarah-marahi." Aku menyetujui ucapan Ilham, bagaimanapun Kevan adalah orang yang sangat profesional saat di kantor.
Aku berdiri meninggalkan Ilham dengan dokumen yang harus kubawa,berjalan menuju ruangan Kevan yang berada di pojok lorong.
Tok ... Tok ... Tok
"Masuk." Aku membuka pintu cokelat itu dan perlahan masuk ke ruangannya. Ternyata Kevan tengah berkutat dengan laporan yang aku sendiri tidak tahu itu laporan dari mana.
"Pak. Ini laporan yang harus Bapak baca sebelum ke Bandung." Pandangan mata Kevan menatapku sekilas sebelum mengambil laporan itu dan membacanya.
"Kamu duduklah." Perintahnya dengan menggerakkan kepalanya ke sofa yang tidak jauh dari meja kerja.
"Ini kamu sudah bilang ke Pak Hendra?"
"Sudah, bahkan anggarannya sudah disetujui Pak Hendra." Jawabku. Dia nampak menganggukkan kepala sebagai respons dari perkataanku.
"Baik, kamu sudah siap-siap untuk ke Bandung?" Tanyanya dengan berjalan mendekat dan mendaratkan tubuhnya disampingku. "Sudah," karena ini bukan perjalanan ke luar kota pertama kali maka aku sudah mempersiapkan satu setel baju dan perlengkapan lainnya.
"Oke." Aku bergegas untuk berdiri dan meninggalkan ruangan Kevan. Tapi belum sempat aku berjalan tangan Kevan mencekalku, "Ada apa lagi?"
"Kamu tidak marah dengan Mas?" Kalau begini aku harus apa? Marah, kah?
"Mau aku marah atau tidak, tidak akan membuat hubungan ini membaik. Jadi aku sudah acuh akan hubungan ini." Jawabku dengan nada yang datar.
Jika aku bisa meminta maka aku akan meminta untuk tidak jatuh cinta kepadanya. Meskipun banyak orang diluaran sana yang selalu menganggap menjalin hubungan dengannya adalah sebuah anugerah.
"Maaf." Lirihnya.
Aku melepaskan tautan tangannya dan berjalan keluar meninggalkan Kevan."Mau berangkat sekarang?" Tanya Ilham saat aku sedang membereskan perlengkapan yang akan kubawa.
"Iya, tinggal lima menit. Aku harus sudah sampai di parkiran .... Oke aku pergi dulu." Pamitku dengan tergesa-gesa meninggalkan Ilham.
"Take care ya." Aku tersenyum dan mengangguk. Hingga langkahku sampai di depan sebuah mobil yang akan mengantarkan kami ke kota kembang.
"Ayo masuk." Perintah Kevan saat aku sudah berdiri di luar mobil menunggu dirinya.
"Pak Usman tidak ikut dengan kita. Jadi kita kesananya berdua saja. Dan ya Mas juga hanya memesan satu kamar." Ucapnya saat mobil baru saja keluar dari basemant kantor.
"Kenapa kita menginap, bukannya pertemuan ini habis zhuhur. Dan pastinya sore sudah selesai."
"Mas hanya ingin menghabiskan waktu denganmu. Kalau disini susah."
Baiklah, aku akan mengikuti permainanmu Kevan.
***
Sepanjang perjalanan aku hanya terdiam memikirkan hubungan ini. Sudah dua tahun kami menjalin kasih, tapi rasanya aku belum juga mengenal Kevan seutuhnya.
"Kenapa diem?" Aku menoleh dan menggeleng, "Bosan saja."
"Masih memikirkan yang tadi malam?" Lanjutnya dengan sesekali melihat ke arahku.
"Tidak."
"Serius?"
"Iya, karena itu bukan yang pertama. Dan aku sudah terbiasa."
"Maaf," ulangnya dengan raut penuh penyesalan.
Aku tidak merespon apapun, hingga kami sampai di hotel.
"Biar Mas saja yang bawa tasnya." Ujar Kevan saat aku tengah mengambil tas di bagasi mobilnya.
Aku menuruti keinginannya, hitung-hitung dia olahraga. Kami berjalan masuk menuju resepsionis dan mengambil kunci kamar.
"Istirahatlah. Nanti Mas akan bangunkan saat jam mendekati waktu janjian." Imbuhnya saat aku merebahkan tubuhku di ranjang.
"Tinggal tiga puluh menit." Jawabku tidak menyetujui ucapannya.
Kepala Kevan menggeleng dan berbalik untuk menatapku. "Pak Toni mengundurkan jadwalnya karena harus menunggu istrinya yang lahiran. Jadi kita bisa saja memulai pertemuan sekitar jam tiga sore atau bahkan besok."
"Kenapa tidak bicara kepadaku?"
"Buat apa?" Benar juga buat apa?
Baiklah aku lebih memilih untuk berganti baju dan merebahkan tubuh kembali di ranjang. Bergelung dengan mimpi jauh lebih baik.
Aku membuka mata saat matahari mau terbenam, bahkan sorot sinarnya sudah nampak di langit Bandung. Kucoba untuk bangkit, tapi sayangnya tubuhku didekap erat oleh tangan besar Kevan.
Aku mencoba membuka rengkuhan ini perlahan, "Hm, mau kemana?" Lirihnya tepat di daun telingaku.
"Mandi ini sudah sore."
"Biarkan seperti ini sebentar, Mas merindukanmu." Akhirnya aku mengikuti keinginan Kevan. Bergelung dengannya dibawah selimut yang sama. Karena aku ingat akhir-akhir ini dia sering meninggalkanku demi Lila yang tanda kutip hanya sebagai sahabat.
Tbc
Jadi cerita ini bisa dibilang cerita pendek palingan tidak lebih dari 20 episode.
semoga bisa kelar bulan ini wkak
Yang mau baca silakan mampir di Karyakarsa, link ada di bio harga murah
KAMU SEDANG MEMBACA
My Baby ✔ (KARYAKARSA)
RandomJika cinta tidak bisa memberikan kepastian, biarkan aku pergi untuk mencarinya. Karena cinta saja tidak cukup, apalagi disini ada sahabatmu yang selalu menjadi prioritasmu. Aku memilih pamit. Dewi Angsana