Episode Ketiga - 11:11

202 13 0
                                    

Belakangan ini gue suka bingung kenapa sih Rayen dan kawan-kawannya suka banget bikin gue mendidih.

Mendidih aja, nggak sampai marah-marah karena ya apa yang suka mereka bilang tuh bener. Cuma namanya juga manusia, kepala batu mah udah mendarah daging.

Mau lo bilang move on tuh gampang, nyatanya banyak yang kesusahan. Mau lo bilang move on tuh susah, nyatanya banyak yang berhasil. Emang manusianya aja sih yang males buat move on.

Kayak gue.

Bukan gue nggak mau move on. Yakali gue gamau gerak maju? Tapi kan move on nggak segampang lo nyiram air kalau lagi boker. Apalagi kalau masalah yang gue hadapi tuh nggak perkara move on doang. Tapi perkara gue yang jadi penyebabnya.

Gue yang jadi alasannya seseorang buat menghilang dari dunia.

Sampai umur gue juga habis, gue rasa gue deserve untuk hidup gloomy.
Ya gimana sih coy? Anak orang meninggal gara-gara gue. Masa iya gue hidup hepi-hepi aja?

Hepi deng, kalau orang-orang yang gatau mah ngeliatnya gue hepi-hepi aja. Karena memang nyatanya gue akan selalu kayak gitu. Buat apa juga orang lain tahu gimana gue menderitanya? Dibantuin nggak, diketawain iya. Eh nggak juga, paling mentok kayak Rayen dan yang lainnya.

Ngomel mulu setiap hari.

Padahal nih ya, gue udah bosen buat bilang ke mereka kalau proses orang untuk melepas tuh beda-beda.

Kenapa sih masalah banget? Kenapa mereka harus banget ngata-ngatain gue bahkan sampai kayak Rayen gini nih.
Siang-siang nggak ada juntrungannya udah ngegedor jendela mobil gue.

"Turun lo!"

"Gue kenapa berasa lagi dipalak sama preman sih?" jawab gue sambil memicing melihat Rayen yang malah mengetuk-ngetukkan sepatunya.

"Lama! Turun sekarang."

Helaan napas gue harusnya jadi warning biar Rayen nggak usah memperpanjang masalah chat gue dan dia beberapa hari lalu. Karena kalau diperpanjang, nanti gue harus ke samsat dulu.

Eh anjir, otak gue sempet-sempetnya ngejokes tolol.

"Ada apa sih tuan muda Rayen yang terhormat?"

"Itu chat gue yang kemarin lo anggep koran atau apaan?" tanyanya dengan nada tinggi dan mata berapi-api.

Ini kalau ada orang lewat dikira gue pacaran nggak sih sama Rayen? Terus disangka lagi ngambek-ngambek gitu.

"Yaelah gue kira lo marah-marah kenapa, taunya perkara chat doang. Itu tuh gue ketiduran lagi aja, Ray."

Rayen menaikkan alis kirinya yang demi apa pun sampai detik ini gue bingung kenapa bisa naik sebelah gitu. "Lo kira gue percaya?"

Gue ketawa, "terserah sih hahaha. Mau lo percaya syukur, gak percaya ya udah. Gue gak butuh bikin orang percaya apa yang mereka gamau percaya."

"Sok bijak, jir!"

"Ke kelas gak nih?" tanya gue seraya mengambil tas dari mobil dan menguncinya sembari menyampirkan kupluk hoodie di kepala.

Asli sih gue nggak denger suara langkah kaki Rayen. Ya gapapa juga kalau dia nggak masuk. Tapi anjing sih karena ternyata dia malah teriak-teriak di siang bolong.

"Mau orang-orang nyalahin lo karena dia meninggal. Gue sama yang lain tuh gak pernah mikir gitu, Yan."

Paper CutsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang