Empat

50.9K 2.8K 49
                                    

Empat

Aleph menatap Glenn yang sejak tadi pagi menatap bengong ke luar jendela ruang prakteknya dengan dagu ditopang. Sejak Glenn pulang dari pantai dua hari yang lalu, tingkahnya agak aneh. Dia cuma menatap langit jika tak ada pekerjaan, padahal biasanya Glenn membaca atau membuat ramuan.

"Tuan Muda," Aleph menjentikan jarinya di depan Glenn.

"Ya, Paman?" kata Glenn, kemudian matanya menoleh kearah pintu dan mendapati Alfred ada disana. "Ada perlu apa?"

"Ayahku menyuruhku untuk membawamu ke istana. Dia menyuruhku, kau tahu, kalau tidak aku tak akan sudi untuk ke sini lagi."

"Kakimu sudah sembuh, kalau begitu?" sindir Glenn.

Alfred mencibir. "Ya, dan aku harus bilang terimakasih padamu kata Ayahku."

"Kau sudah bilang. Ayo kita pergi."

Glenn melewati Alfred dan membawa poci yang disodorkan Aleph. Dia melewati pekarangan, menuju Nheo yang terikat di gerbang kayu. Kuda cantik itu sibuk merumput, namun saat melihat majikannya datang ke arahnya, dia menghentak-hentakan kakinya dengan tidak sabar.

"Ya, ya... kita akan jalan-jalan," kata Glenn lembut mengelus kepala Nheo dengan sayang. Dengan perlahan Glenn meletakan ramuan yang sudah dia rebus untuk sang Pangeran kesisi tubuh Nheo dan setelah dia yakin kalau poci itu aman, dia pun naik ke atas punggung Nheo. Alfred sudah naik terlebih dahulu, kudanya cantik berwarna coklat terang dan kelihatan sangat tangkas. Tapi sepertinya Alfred tidak berniat mengoceh tentang kudanya pada Glenn karena dia sudah terlebih dahulu berlari duluan.

"Dasar anak-anak," gumam Glenn. "Ayo, Nheo. Chah!"

Nheo berjalan perlahan ketika menuruni bukit. Perintah yang diberikan Alfred tidak menyuruhnya untuk berlari cepat. Alfred terpaksa menunggu Glenn yang tertinggal jauh di belakang dan semakin jengkel.

"Oi! Bisa lebih cepat tidak sih? Kita harus sampai sebelum sore!" teriaknya dengan gigi gemertakan. Dan dia kembali melotot ketika Glenn berteriak mengajak Nheo supaya berlari lebih cepat. Sambil mencibir dengan nada tak sabar, Alfred menyusul dari belakang.

Dengan kecepatan seperti itu tidak butuh waktu tiga puluh menit bagi mereka untuk segera tiba di pintu gerbang istana. Alfred memberikan tanda masuk kerajaan miliknya dan Glenn menunjukan batu yang berlambang kerajaan Ocepa pada mereka.

"Apa isi ramuanmu itu kalau aku boleh tahu?" Alfred tampak tertarik dengan poci yang dibawa Glenn. Wanginya menggoda selera. Sangat manis, semanis buah mangga yang ranum. "Baunya tidak seperti obat."

"Kau tak akan mau memakannya jika tahu apa isinya. Ini bukan urusanmu. Kau tenang saja, aku tak akan memberikan obat ini padamu," jawab Glenn pelan.

Alfred memaki lagi dalam hati. Pemuda yang satu ini rasanya lebih parah daripada teman-temannya. Mungkin karena Ayahnya memberi perhatian yang berlebihan padanya. Rasanya menjengkelkan sekali mendengarkan perkataan Glenn yang sama sekali tak bisa dia balas.

Glenn memperhatikan lorong yang mereka lewati. Ada tiang-tiang tinggi yang terbuat dari batu-batu kokoh. Bagian atap kelihatan bersinar dan disepanjang dinding tampak lukisan-lukisan mahal, menambah keartistikan suasana ketika mereka lewat. Alfred memperhatikan Glenn menatap lurus keujung lorong, dimana di ujung satunya kelihatan sebuah kastil yang kelihatan kecil.

"Apa Pangeran Christian masih tinggal di Kastil Aclopatye?" Glenn bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari pemandangan di ujung ruangan. Kastil itu kelihatan berkilau-kilauan karena ditimpa sinar matahari. Kastil Aclopatye merupakan kastil paling kecil di istana itu daripada kastil yang lain tapi kastil itu lebih indah jika dibandingkan dari kastil-kastil yang lain bahkan Kastil Utama tak bisa menandingi keindahannya.

Ocepa Kingdom The Prince of CommonerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang