Chapter 1

25 5 1
                                    

⚠️ PERINGATAN⚠️

Chapter ini mengandung hal-hal sensitif seperti darah, kekerasan dalam rumah tangga, kata - kata kasar, dan adegan yang tidak pantas ditiru.

Bagi pembaca yang memiliki trauma, atau merasa tidak nyaman dengan hal tersebut, dianjurkan untuk tidak membacanya. Mohon menanggapi tulisan ini dengan bijak. Dan mohon untuk tidak meniru adegan di chapter ini.

Terima kasih banyak atas perhatiannya.

__________________________________

Plakk!!

Telapak tangan pria berwajah tegas itu kembali mendarat dengan keras di pipi Kiandra. Matanya menatap tajam pada perempuan berambut panjang yang kini telah terduduk di lantai sebab tamparan yang ia terima luar biasa kerasnya.

Dalam 10 juta menit hidupnya, ia masih tak mengerti, mengapa Ayahnya memperlakukannya seperti ini? Bukankah seharusnya ayah adalah cinta pertama bagi anak perempuan? Setidaknya itu yang ia baca dalam karya - karya fiksi remaja kesukaannya, tapi mengapa Ayahnya justru lain? Ia hanya terus - terusan memberi satu rasa, lara. Seperti nama tengahnya, Kiandra Alara Andranata.

Ah, ingatkan Kiandra untuk membakar buku - buku itu, ia sudah lelah berharap menemui kata bahgia, bahkan untuk hidup seperti manusia di luaran sana saja ia tak bisa.

"Bodoh! Harus berapa ribu kali saya ingatkan agar tidak keluar saat ada banyak orang?! Apa telingamu itu tuli?! Atau otakmu sudah tidak bisa bekerja lagi?!" well, Kiandra sendiri tak tau kalau dirumahnya sedang mengadakan pesta menyambut kelulusan Kakaknya. Seingatnya 2 minggu lalu lelaki yang lebih tua 5 tahun darinya itu melempar seluruh barang di ruang tamu karena skipsinya tak kunjung di acc oleh dosen pembimbing. Entahlah, mungkin ia memakai senjata andalannya, apalagi kalau bukan uang sang Ayah. Bukannya meremehkan, tapi jujur saja, kebodohan kakaknya itu perlu diakui kebenarannya.

Belum sempat angkat bicara, tiba - tiba sebuah pigura berukuran 15 x 10 cm yang semula berada di atas meja kini mendarat di kepalanya, ia tak sempat menghindar sebab sedari tadi kepalanya masih setia menunduk.

Kiandra menghela nafas, ia paham betul sosok pelakunya. Siapa lagi kalau bukan sang Bunda. Sejak kakeknya meninggal, sepasang adam dan hawa ini memang senang sekali melukis luka di tubuhnya. Sebegitu sukanya ya mereka dengan warna merah dan ungu?

"Untuk apa kau keluar?! Agar orang - orang tau bahwa kau masih hidup?! Hei pembunuh sialan! Kau ini sudah tidak pantas untuk menjadi bagian keluarga Andranata, masih untung kami masih mengizinkanmu untuk menghirup udara bumi!" maki Devina sambil menjambak rambut Kiandra. Ia rasa, beberapa tahun kedepan dirinya tidak akan memiliki rambut lagi.

Tentang sebutan pembunuh, kata itu sudah terlalu sering Devina ucapkan sejak kematian Kakeknya. 13 tahun lalu, sang Kakek meninggal sebab tertabrak mobil saat hendak membelikan permen kapas untuk Kiandra.

Ini bukan Kesalahannya kan? Kiandra kecil tidak meminta, sang kakek sendiri yang berinisiatif membelikannya. Sialnya anak buah pesaing bisnisnya ternyata sedang mengincarnya, alhasil Kiandra kecil melihat langsung tepat di depan matanya bagaimana sang kakek tertabrak oleh mobil yang sedang melaju kencang. Bagaimana kalau kalian berada di posisi Kiandra? Takut bukan? Trauma? Ia butuh ditenangkan, namun manusia - manusia tak berhati itu justru ramai - ramai menyalahkannya atas kematian Wijaya, padahal Kiandra sendiri masih tak tau apa - apa.

"Sudah aku bilang, bukan aku pembunuhnya!!" Kiandra terlampau muak mendengar kata kasar yang sering terucap dari bibir Devina. Tak bisakah ia berkata manis sebentar saja? Seperti 'selamat pagi sayang' atau yang lainnya.

KIANDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang