"Jadi, rencana lo selanjutnya apa?" setelah selesai makan, Dio mengajak Kia untuk mengelilingi kota Semarang.
"Gue sendiri gatau mau ngapain, sebenernya gue mau ke US, disana gue mau kuliah sambil ngurusin cabang perusahaan gue disana. Udah 3 tahun berdiri, tapi Ayah belum ngeh kalau perusahan itu dibangun gue, jadi aman. Tapi nyatanya justru gue terdampar disini, kantor utama ada di pontianak, kalau kesana data perjalanan gue pasti bisa dilihat Ayah," ungkap Kia, dari tadi ia merasa isi kepalanya seperti ingin meledak, ia benar - benar bingung sekarang.
"Gimana kalo lo cari apartemen, jadi lo bisa ngurusin perusahaan lo dari situ tanpa takut ketahuan Ayah lo deh," saran Dio.
"Kalo gitu apa bedanya gue di sini sama di rumah?" sarkas Kia.
"here you're free from violence?" sahut Dio.
Kia menghela nafas, "Tujuan utama gue kabur itu bukan karena pengen bebas dari kekerasan, lagian gue dapet kekerasan juga karena kesalahan gue sendiri ngelanggar aturan 'mereka'."
"Ga gitu anjir konsepnya," kesal Dio, dilihat dari sisi manapun juga, ini bukan kesalahan Kia kan?
"Whatever, tapi initinya tujuan utama gue kabur tu karena pengen hidup selayaknya manusia biasa. Berangkat ke kantor, main, jalan - jalan ke mall, nonton bioskop, traveling, bukannya cuma mendekam di rumah serasa penjara," Kia melanjutkan omongannya yang sempat dipotong oleh Dio tadi.
"Gini gini, gimana kalau lo tetep ngurus perusahaan dari apartemen, tapi lo kerja di flower shop Mama gue? Kalau lo kerja di tempat lain takutnya data lo bocor juga," Dio masih mencoba memberikan saran kepada Kia.
Mata Kia berbinar, "Woah, that's a good idea," kagumnya, "Tapi apa Mama lo ga keberatan?" tanyanya ragu.
"Engga kok, santai, salah satu karyawannya kemarin ada yang resign," ujar Dio.
Kia menghela nafas lega, atensinya yang tadi hanya berpusat pada pria dengan kemeja flanel kotak - kotak merah itu, kini ia alihkan pada pemandangan di depannya.
Hamparan rumput hijau, langit berwarna merah muda keunguan, burung - burung yang terbang lepas hendak kembali ke sarangnya, sekumpulan anak kecil yang tengah bermain bola.
Getaran ini asing untuknya, tapi ia sangat menikmatinya. Bebas, lepas, semua anak panah yang selama ini terasa seperti menancap di punggungnya, perlahan raib. Hal - hal yang dulu menjanggal di fikirannya menguap, walaupun makian - makian itu belum sempat terungkap. Tapi tak apa, kali ini semesta tengah berbaik hati padanya.
Dio memetik setangkai dandelion yang tumbuh tersembunyi diantara rerumputan, belum sempat meniupnya, hembusan angin sudah terlebih dahulu menerbangkan helaian floret bewarna putih itu.
Dio menghela nafas kesal sambil memeluk lutut dan menenggelamkan wajahnya disana. Sedangkan Kia, bukannya turut prihatin, ia justru menertawakannya. Mendengar tawa merdu dari perempuan disampingnya, diam - diam Dio ikut tersenyum tipis.
"Dari tatapan lo waktu minta gue buat ga bilang ke Gathan tentang keberadaan lo disini, gue bisa lihat seberapa besar ketidakmauan lo untuk balik kerumah, dan seberapa besar lo tersiksa disana. Dari tatapan itu, gue ngerasa kalau lo adalah perempuan paling rapuh yang pernah gue temuin," tak terima dibilang rapuh, Kia sudah membuka bibir bersiap ingin berbicara, namun Dio sudah terlebih dahulu melanjutkan ucapannya.
"Tapi setelah ngobrol lebih banyak, gue sadar. Sama seperti dandelion, lo itu sosok yang kuat walaupun kelihatan rapuh. Kalau ada di posisi lo, belum tentu gue bisa ngelewatinnya," Dio menertawakan pemikirannya beberapa jam yang lalu.
"Dandelion tak pernah membenci angin yang menerbangkannya, kutipan itu relate sama lo yang tadi sempat gue singgung masalah kekerasan, tapi justru lo ga menyalahkan bokap - nyokap lo sama sekali," Dio menghela nafas.
KAMU SEDANG MEMBACA
KIANDRA
General FictionRasanya seperti telah mati, Ini tentang Kiandra, yang bahkan tak memegang kendali atas dirinya sendiri. Berusaha tetap hidup, walau di buana hanya bisa merasakan luka. Tetap berangan - angan bisa bertemu bahagia, walau sering merasa, kata bahagia...