Choi Chanhee sudah pernah diperingati oleh sang ibu untuk hati-hati dalam memilih pasangan. Namun seakan dibutakan oleh cinta, dia lebih memilih untuk bersama seorang pria yang sudah memiliki istri.
Mau dibilang murahan pun dia rela. Dia sudah kepalang tanggung untuk mundur. Terlalu cinta.
"Kau akan pulang ke rumahmu?" Tanya Chanhee.
Tangannya sibuk mengusap dada bidang Juyeon dari arah belakang. Sementara Juyeon masih disibukkan dengan kegiatan mengenakan pakaiannya setelah sesi singkat bercinta mereka.
"Apa kau tak lelah? Changmin pasti akan maklum jika kau tak pulang ke rumah hari ini. Bilang saja kalau--"
"Aku pergi." Ujar Juyeon singkat.
"Oh... jadi aku hanya memuaskan nafsumu saja toh. Baiklah. Sampai jumpa Lee Juyeon."
"Bukan seperti itu, aku bisa jelaskan."
"Tidak tidak. Changmin sudah menunggumu, pulanglah. Aku juga hoam... mau tidur."
Selalu seperti ini. Akhir-akhir ini mereka selalu beradu mulut jika bertemu. Chanhee jadi merasa kesal bukan main jika Juyeon selalu saja mendahulukan istrinya itu dibandingkan dia.
Egois memang. Tapi itulah Choi Chanhee.
"Yah... selingkuhan sepertiku memangnya bisa apa?"
Chanhee pun memutuskan untuk kembali ke kasur empuknya dan mencoba untuk tidur meskipun ia hanya akan berakhir dengan memejamkan mata selama berjam-jam tanpa pergi ke negeri mimpi.
Juyeon pulang dengan senyum lelah andalannya. Changmin pun segera menghampiri sang suami dan mengambil alih tas Juyeon.
"Jika pulang selarut ini, lebih baik kau menginap di hotel dekat kantor saja sayang." Ujarnya lembut.
Juyeon menggeleng pelan lalu masuk ke kamar mereka. "Aku merindukan istriku." Balas Juyeon setengah berbohong.
Changmin yang tertipu pun hanya dapat memeluk Juyeon erat. Tanpa Juyeon sadari jauh didalam lubuk hatinya ia masih memikirkan Choi Chanhee di seberang sana.
"Aku akan mandi lalu kita tidur bersama, oke?" Juyeon pun pergi ke arah kamar mandi.
Sementara Changmin hanya dapat tersenyum pedih saat Juyeon kembali dingin kepadanya.
"Sudah 2 tahun, tapi kau masih mengacuhkanku."
Chanhee tak tahu apa yang ia pikirkan saat ini hingga ia pergi ke rumah Juyeon untuk menemui Changmin. Ia rasa Juyeon mulai lelah dengan hubungan rumit ketiganya. Maka Chanhee akan menyerah.
Yah... dia akan menyerah untuk bersembunyi, dan menampakkan hubungannya dengan Juyeon di depan Changmin, agar Changmin bisa meninggalkan Juyeon.
Chanhee menekan bel, dan beberapa detik kemudian muncullah seorang Changmin dengan pakaian anggunnya dari dalam rumah.
"Mau cari siapa?" Tanyanya lembut seperti biasa.
"Aku ingin bertemu denganmu. Bisa bicara denganku sebentar 'kan?"
Changmin mempersilahkan Chanhee untuk duduk dan mengambilkannya makanan ringan dan juga minuman.
"Aku bukan orang yang suka bertele-tele." Ujar Chanhee.
Changmin hanya menatap wanita berpakaian seksi didepannya itu dengan tahapan menelisik.
"Aku selingkuhan Juyeon." Changmin jelas terkejut. Namun ia menutupinya dengan tawa renyah.
"Jangan bercanda."
"Kau ingin lihat video bercinta kami. Aku bisa memberikanmu puluhan."
"Lalu apa tujuanmu mengatakan itu kepadaku?"
"Untuk apa? Tentu saja untuk menghancurkan rumah tangga kalian." Ujarnya enteng sambil memperhatikan cat kukunya. Tak ada niat sedikit pun untuk memperhatikan Changmin.
"Maaf, tapi aku akan tetap mempertahankan hubungan kami."
"Dasar bodoh. Sudah di duakan masih saja mau disakiti." Balas Chanhee kasar.
"Jika Juyeon tidak mencintaiku, dia pasti sudah menceraikanku sejak dulu."
"Itu karena orang tua kalian bodoh. Jika saja kalian tidak dijodohkan, maka aku pasti akan menjadi nyonya Lee sekarang."
"Bukankah kau yang bodoh disini? Kau hanya alat pemuas nafsu suamiku. Kau tak lebih dari sekedar jalang untuknya."
Chanhee terdiam. Otaknya membenarkan perkataan Changmin. Sialan. Mengapa dia selalu berakhir kalah seperti ini? Setelah dua tahun yang lalu dia harus merelakan Juyeon untuk menikah dengan Changmin, sekarang dia pun harus merelakan Juyeon?
Chanhee pun langsung berdiri. "Kau benar. Tolong katakan pada suamimu untuk berhenti menghubungiku. Aku permisi dulu."
"Aku kasihan padamu. Mengapa kau harus mempermalukan dirimu sendiri hah?"
"Brengsek! Kau benar. Harusnya aku tetap diam saja dirumah dan berhenti mengharapkan Juyeon. Kau benar. Aku permisi dulu."
Mungkin Chanhee akan jadi satu-satunya orang yang berani merokok di ruang periksa seorang psikiater. Sementara sang dokter hanya diam di tempatnya.
"Sudah bisa kita mulai sesi konsultasinya?" Tanya dokter tampan tersebut.
"Aku, sudah tidak tidur dengan baik selama sebulan ini."
"Ada keluhan lain?"
"Ada. Aku ingin membunuh seseorang. Apakah itu tandanya aku seorang psikopat?" Tanya Chanhee mendadak serius. Dia bahkan mematikan rokoknya dan memusatkan perhatiannya kepada sang dokter sepenuhnya.
"Apakah muncul rasa takut atau bersalah?"
"Ya. Aku takut sekali, aku takut kehilangan orang itu. Tapi aku terlalu merasa bersalah jika harus melanjutkan hubungan kami."
"Kau tak merasa berdosa pada tuhan?"
"Aku seorang atheis." Dokter itu hanya mengangguk paham. Dia pun mulai mencatat berbagai keluhan yang Chanhee lontarkan.
"Aku rasa kau terkena depresi. Masih tingkat menengah. Aku akan berikan resep obat padamu, tebuslah di apotek. Minum yang teratur. Dan kembalilah lagi jika kau masih ada keluhan dan belum bisa tidur juga."
"Dari pada resep bagaimana jika aku minta nomer telponmu saja. Kau lumayan tampan juga."
"Benarkah? Baiklah, catat nomerku."
"Siapa namamu?"
"Lee Jaehyun."
"Baiklah Jaehyun, senang bisa bertemu denganmu."
Tbc
Note: pemanasan dulu... Kalo rame lanjut di hari minggu. Tenang. Ceritanya udah end dan aku cuma nambahin beberapa plot baru saja. Jadi jangan khawatir.
See you on sunday