Satu

41.8K 3.8K 261
                                    

Apa coba yang lebih panas dari baca chat suami sama cewek lain?

Ya, betul. Surabaya.

Puuuuuuuanas, Rek! Keluar dari indekos aku bisa cakep banget, lalu pas sampai di depan gerbang sekolah tempatku mengajar, wajahku bisa glowing meling-meling karena keringet. Padahal masih pagi, lho.

Ya gini lah nasib, kapan coba aku bisa nyetir mobil dengan dandan cantik dan terus cantik? Nggak peduli di luar hujan deres, panas nyengat, debu terbang sana sini, aku bakal stay kalem mesem-mesem sambil dengerin lagu-lagu Deny Caknan kesukaanku. Hah!

Ngayal dulu. Ngayal mulu.

Gimana nggak cuma ngayal, wong sampai segede ini, usia dua puluh tujuh tahun ini, aku masih kudu mikir banyak muter uang lima puluh ribu buat sehari. Oke, baiklah, aku emang punya kerjaan tetap, aku mengajar di SMA Negeri, tapi ... ya berapa sih gajinya? Sisa berapa coba kupakai buat makan, bayar kost, bayar kreditan motor, BBM, asuransi, beli skincare, ngirimin Mama di Magetan?

Aku masih bisa fokus di jalanan yang ramai ini meskipun pikiranku ke mana-mana. Mikirin Mama, mikir nasibku. Lagi apa Mama di sana, apakah beliau udah sarapan? Apakah udah mandi? Mama di Magetan tinggal bersama Pak Dhe dan istrinya, sedangkan aku merantau ke sini, Surabaya, meninggalkannya.

Sejak Mama bercerai dengan Baba, hidup kami emang pas-pasan. Kalau dibilang cukup ya cukup, toh bisa makan, bisa belanja, punya kendaraan, ada rumah. Cuma, ngepas pas pas! Aku kehilangan kemewahan yang aku dapat ketika kecil, baju-bajuku bagus, aku bisa bilang ingin apa dan ke mana lalu Mama Baba akan menurutiku, aku lancar berbahasa asing di usia diniku, aku berkawan dengan anak-anak tampan dan cantik, aku selalu diantar jemput, sebelum si kunti bajingan dan anak gerandongnya itu datang lantas mengacaukan semuanya.

Aku kehilangan semuanya, semua-mua-muanya.

Dulu dengan naifnya aku bertekad untuk belajar sungguh-sungguh, jadi pintar dan berkekuatan luar biasa buat merampas semua harta Baba yang dinikmati istri dan anak angkatnya, lalu mereka bakal menderita, Baba bakal mengemis-ngemis ampun di bawah kaki Mama. Istri dan anak tirinya yang jelek mbletrek itu bakal makin juuuelek karena jadi kere, lalu aku tertawa-tawa jahat di atas penderitaan mereka. Sungguh, khayalan yang luar biasa juga ... menyedihkan, karena aku nggak akan bisa melakukannya. Waktu itu aku cuma bocah ingusan yang kena doktrin sinetron karena nggak punya hiburan lagi selain itu.

Kini, setelah aku dewasa dan tahu pahitnya kehidupan, ya beginilah. Pasrah. Aku nggak bisa berbuat apa-apa, aku nggak bisa membuat keluargaku bahagia seperti semula, aku nggak bisa membuat Baba kembali, aku nggak bisa merampas uangnya, aku nggak bisa mencakar, menendang istri dan anak angkatnya. Aku nggak bisa, aku nggak punya tenaga.

Yang dapat kuusahakan cuma dua, kewarasanku dan senyumnya Mama. Itu aja, dan itu udah cukup.

Suara klakson di belakang membuatku menggerutu. Kenapa sih orang-orang ini latah banget pamer klakson pas lampu merah berubah hijau? Mereka kira yang di depannya itu buta atau gimana? Nggak di tet tet pun, bakal dilajuin kok ini motornya. Rewel!

Aku melirik jam yang melingkar di tanganku, ini hari Senin dan aku sengaja berangkat lima belas menit lebih pagi, tapi akhirnya macet yang sempat kulalui tadi bikin usahaku sia-sia, mepet banget sih ini.  Semoga nggak telat aja.

Sekarang aku memperbaiki posisi helm yang aku pakai. Ini kegedean emang, bikin aku kapok titip-titip lagi karena bakal beginilah hasilnya.

Stiker yang tertempel pada mobil yang melaju di depan menarik perhatianku. Ilustrasi keluarga gitu lho, tapi—

Ayah, Kak Jali, Barak.

Kok? Ibunya mana?

Apa mungkin nasibnya sama kayak aku kali ya, cuma yang ini bapaknya penyayang dan nggak brengski kayak Si Broto Moestamaji. Cih!

Aku pengin muntah rasanya ingat nama itu lalu sadar kalau kata yang sama juga tersemat di namaku. Juleeha Nasri Moestamaji. Kalau bisa mau kubuang aja itu yang paling belakang.

Najis!

Aku sibuk misuh-misuh dalam hati sampai baru sadar kalau ternyata dari tadi mobil itu memilih arah yang sama denganku, bahkan berhenti di depan gerbang. Membuatku mengernyit sekilas lalu nggak ku hiraukan karena sadar kalau aku kesiangan padahal mau briefing anak-anak yang jadi pembaca di upacara nanti.

"Bu Jul!"

"Jangan ganggu!" aku melewati sohibku, Ariana, sambil mengibaskan tangan dan berlarian kecil. Tahu banget aku, kemarin malam kami heboh di chat soal Bu Windi yang pamer tas branded di media sosial, pasti Ariana mau kasih tahu kalau tas—yang kami tebak seharga tujuh jutaan—itu pasti lagi dipakai.

Jangan remehkan perempuan ya, kami bisa lho berkomunikasi pakai mata.

"Kena macet, Bu Juli?"

"Hooh, Bu. Padahal tadi saya udah pagian berangkatnya," aku menggeleng-geleng tak habis pikir dengan kondisiku sambil menatap Bu Farida, seorang guru ASN kawakan yang sudah belasan tahun di sini. "Kalau ada transportasi umum nggak bakal gini banget kayaknya ya, Bu?" ujarku lagi sambil menggeledah tas, nyari sisir buat merapikan rambutku.

"Lha Bu Juli kost-nya juga jauh kok soalnya."

Aku meringis. "Saya lagi cari-cari kontrakan yang deket sini makanya, Bu. Ruwet banget soalnya. Udah makan banyak bensin, kena macet. Kalau ada apa-apa juga lho, nggak bisa cak cek."

Dulu, aku bela-belain cari indekos murah, nggak apalah jauh, yang penting murah, pokoknya murah, karena ya tahu sendiri lah, duitku ngepas banget. Nggak apa aku kudu menempuh perjalanan lebih lama, nggak apa aku ngempet dengan kehidupan kanan kiri tetangga kost yang bebas, tapi lama-lama capek dan muak juga.

"Lho iya? Kok nggak omong!" Bu Farida memekik, menepuk bahuku. "Ada kenalanku yang pindah, Bu Jul, mau disewakan rumahnya. Nggak sekitaran sini tapi cuma ya dekat lah. Nanti coba biar tak tanyakan."

Aku terdiam sesaat, memandang Bu Farida dengan sinyal-sinyal khusus. Untungnya, beliau mengerti, Bu Farida tertawa melihatku.

"Sekarang begini, budgetnya Bu Juli gimana?"

"Nggak lebih dari—" aku mengangkat jari telunjukku, mengisyaratkan nominal satu juta rupiah. "Saya tuh pengin nyari yang biasa-biasa aja, Bu. Yang penting deket, bisa tidur, mandi, masak, wis. Soalnya kalau di kost itu kan mandi repot, masak repot. Puuusing saya, Bu. Seringnya malah beli makan terus, boros."

"Nanti coba saya tanyakan dulu. Masih kosong kok, Bu. Insyaallah nggak sampai sejuta malah kayaknya. Delapan ratusan."

Mataku langsung berbinar-binar. "Kalau dapat beneran saya traktir deh jenengan, Bu," oh kalau beneran deal bisa segitu, bakal nikmat banget hidupku. Bye bye anak ibu kost yang genit luar biasa dan tetangga yang demen bawa pacarnya buat ngini ngunu. Aku bakal bebas dari catcall dan adegan dag dig dug.

Bu Farida masih aja ketawa, tangannya juga lagi-lagi menepuk bahuku.

"Lontong pecel Bu Widodo, ya?"

"Siaaaaaap!"

Kami tertawa-tawa, Bu Farida ini meskipun belasan tahun di sini dan statusnya yang udah ASN, beliau nggak sombong dan haus penghormatan, beliau ngemong banget. Makanya aku suka.

"Ya udah saya ke depan dulu."

Aku mengangguk. Menatap kepergian Bu Farida yang keluar melewati pintu ruang guru lalu menatap acak, hingga mataku menangkap pemandangan seorang anak dan omnya. Er ... atau bapaknya? Masa sih itu bapaknya? Kelihatan masih muda soalnya.

Karena penasaran, aku bawa pandanganku buat mengikuti mereka, si om tadi menggandeng si anak, mereka berjalan menuju ruang tamu, dan shit! Beginilah aku, kepoan banget, jadi kepalaku sampai melongok-longok buat melihat dua orang yang kelihatannya mentereng banget itu.

Dan ... Mungkin sadar kali ya kalau diintip, si om tadi menoleh, membuatku salah tingkah karena ketahuan dan ketangkap basah.

Ini beneran kayaknya omnya dan bukan bapaknya, deh. Masih muda dan ganteng banget, Rek!























Cerita baru yang ringan-ringan biar nggak spanengggggg.

Dad Bomb (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang