Tiga

17.2K 3.3K 341
                                    

Bahagia banget aku akhirnya bisa tidur nyenyak, masak-masak, mandi berlama-lama, nyanyi-nyanyi, nyetel dangdutan, tanpa takut digedor-gedor.

Cuma modal delapan ratus ribu per bulan aku bisa ngontrak rumah. Syukur banget ini mah.

"Aku pengin ambil KPR lha kamu malah ngontrak, padahal pengin tak ajak nabung bareng."

Aku melirik Ariana yang lagi bantu membersihkan tempat tinggal baruku, bisa diandalkan ini cewek emang, pantas banget buat menyandang gelar bestie.

The real bestie, bukan yang bestai.

"Masih berat di aku kalau ambil KPR, Ar."

"Dikit-dikit, Jul. Percaya aku deh, kalau niat lho bakal kesampaian," Ariana mengambil termos lalu menuangkan air di gelas, dia minum sambil menatapku.

Aku diam mendengarnya, menarik kipas angin dan menaruhnya di samping meja sedangkan aku merebahkan diri di sofa yang lain. Pandanganku mengawang ke langit-langit. Aku kadang capek begini, kesusahan, tertatih-tatih, menahan diri, capek banget. Kadang aku mikir, apa Baba nggak kangen aku? Dia bakal nangis nggak ya lihat kondisi anaknya yang kayak gini? Anaknya sendiri makan seadanya, kerja keras, tinggal di rumah kontrakan, sedangkan anak orang lain dia rawat, dia sayang-sayang, bisa flexing harta yang sebenarnya adalah hakku.

Hah!

Dadaku panas banget kalau inget. Seharusnya aku nggak begini, harusnya aku bisa tumbuh dengan kasih sayang yang penuh, harusnya aku bisa terus melihat Mama bahagia, harusnya Baba bisa terus jadi superhero di mataku, harusnya aku nggak perlu bersusah-susah cari duit, harusnya rambutku bisa ku cat warna-warni dan tetap sehat karena aku rajin nyalon, harusnya aku bisa pakai baju dari brand mahal, harusnya aku bisa jalan-jalan ke luar negeri, harusnya aku jadi pebisnis muda penerusnya Baba.

Harusnya, aku nggak kesusahan begini!

Kalau aku bisa, pengin aku susul mereka ke Jakarta sana, aku tendang kuat-kuat si Sasinta dan anaknya, aku injak-injak mereka sampai mereka pergi jauh dan nggak pernah kembali. Iya, aku emang benci Baba, benci, sangat sangat benci. Baba jahat, dia mengkhianati Mama, membuatku dan Mama menderita. Tapi ... Tapi, aku cuma anak biasa, aku cuma manusia biasa. Ada bagian dari diriku yang masih rindu, ada bagian diriku yang ingin memeluk Baba kembali dan kami bisa hidup bahagia seperti semula.

Ada bagian diriku yang pengin menganggap kalau ini mimpi lalu besoknya aku bangun di ranjangku yang empuk.

"Kenapa nangis, sih?"

Pertanyaan Ariana bikin aku terjingkat bangun, nggak sadar udah nangis aja ternyata. Aku lemah banget emang!

"Kapan ya bisa jadi kayak Cinderella yang disunting pangeran? Bersusah-susah dahulu terus jadi hidup enak, goler-goler, leha-leha. Pengin ini itu tinggal mbak mbok, terus ... nggih non minta apa non?" aku berceloteh sambil—Argh! Air mataku kenapa nggak mau berhenti, sih?

Bukannya menenangkanku, Ariana malah ngakak-ngakak, dia menuang air di tangannya lalu disiramkan ke arahku. Jahat banget.

"Bangun!"

"Tapi kisahku muuuuirip Cinderella, kan? Tinggal nunggu pangeran ini," aku masih aja ngayal.

"Cuma di dunia khayal pangeran mau nikahin upik abu, Jul Jul, Njulekaaah! Bangun!" tawa Ariana tersembur membahana, lalu dia melanjutkan lagi. "Eh tapi kamu aslinya kan tajir, to. Lha rampas aja itu duit bapakmu."

"Nyewa lawyer terkuat di muka bumi habis berapa, sih?"

Ariana udah nggak ketawa, dia meletakkan gelasnya di meja lalu menatapku lurus. "Udah nggak ada harapan ya, Jul?"

Dad Bomb (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang