Dua

18.4K 3.4K 240
                                    

Terserah dibilang sirik, iri, dengki atau apalah, tapi aku nggak demen banget sama tukang flexing. Najis!

Andai di depanku ada kamera mungkin aku bakal pasang wajah julid sambil gerakin lidahku buat menunjuk orang di samping sana.

"Padahal aku udah nolak-nolak, Bu. Soalnya aku kan juga nggak enakan orangnya. Setelah tak cek kan di web-nya, ternyata harganya hampir delapan juta. Ya Allah, bisa dibuat apa aja itu. Mas Pradita
itu emang nggak perhitungan banget."

"Tanda baik itu, Bu Win, malah bagus yang begitu, royal, nggak perhitungan sama perempuan."

Pretttt! Huek!

Jadi itu yang kubilang Bu Windi Bu Windi kemarin itu. Masih muda sih, seusiaku dia, dan pacarnya yang dipamerin tadi adalah adik kepala sekolah kami. Ya ya, mentereng pacarnya itu, setahuku jadi Area Marketing Manager di perusahaan distributor. Hobinya pamer tersirat, merendah buat meroket, humblebrag, ya gitu-gitu deh.

Apaan pacar doang dibanggain, aku dong, jadi kebanggaan Mama. Kita nggak sama ya.

Daripada kupingku panas, aku memilih buat menyiapkan buku buat ngajar setelah jam istirahat nanti.

"Bu Jul!"

"Kenapa?" Aku menyahut malas pada Ariana yang tergopoh.

Ariana ini yang paling dekat samaku, kami nyambung banget deh pokoknya. Julidnya, duit pas-pasannya, jomlo-nya, sama-sama suka dangdutan. Wis, klop! Sebenernya kalau di luar kami biasa cuma panggil nama doang, tapi karena ini di lingkungan sekolah, ya pakai Ba Bu.

Semakin dekat, Ariana menatapku sambil bibirnya merot-merot, tingkah yang bikin aku terkekeh. Dia pasti juga julidin yang onoh itu.

"Puamer, kan?" bisiknya.

Aku manggut-manggut. "Biasalah. Merendah untuk disorak-sorak."

"Nggak kaget. By the way, mau ngajar di kelas 11A IPS?"

"Iya. Kenapa?" tanyaku, soalnya kelas itu adalah anak Ariana, alias dia yang jadi walinya, mungkin lagi ada sesuatu.

"Ada anak baru," katanya, menyerahkan selembar kertas padaku yang berisi biodata.

"Iya, ta?" Aku menerima kertas itu, membaca nama di sana. Jalilah Putri Thahir. Dahiku mengernyit, lalu beberapa detik kemudian sadar akan sesuatu. "Ooo! Ini yang kemarin sama om-nya itu?"

"Bapaknya itu!"

Aku terhenyak. "Masa, sih?"

"Kelihatan muda banget, ya? Kayak om-om umur 30-an yang lagi matang-matangnya."

"Umur berapa emang bapaknya?" aku menggumam, membaca lagi biodatanya dan sayangnya nggak ada keterangan usia orang tua di sana.

dr. Khalid Thahir, Sp.BS

drg. Agnia Siswandi

Mataku melotot. "Woah! Background-nya ngeri, Bu," aku menyerahkan lagi kertas itu ke Ariana. "Tumben tapi yang gini-gini dimasukin ke sekolah negeri."

"Aku kemarin juga sempet heran, mana nggak ngikut jalan bapak ibunya kan."

"Bagus sih tapi, nggak membatasi gerak anak," maksudku, ya tahulah, banyak yang mengutamakan gengsi sampai mengatur-atur anak harus begini begitu, di sini aja nggak boleh di situ. Katanya sih demi kebaikan, demi masa depan yang baik, ya nggak salah juga, sih. Cuma, kadang benar-benar maksain kehendak tanpa mau negosiasi dulu. Anak nggak dikasih pengertian dan cuma dipaksa-paksa, kan mereka malah nggak bisa kenal sama potensi sendiri nanti. Atau lebih ngerinya, mereka nggak kenal sama diri sendiri.

Ariana berjalan ke mejanya, ikut mengambil buku juga dan mengajakku jalan bareng. Oh, by the way, dia guru English dan aku ... pengajar dari pelajaran yang banyak diremehkan. Coba tebak!

Betul, Bahasa Indonesia.

"Panggilannya siapa itu anaknya?" aku penasaran, bukan apa-apa, sih, biar bisa akrab aja.

"Lila. Anaknya pendiem pooool, kemarin aku tanya-tanya, jawabnya cuma iya, enggak, singkat-singkat," Ariana berhenti sejenak, merapatkan kepalanya ke telingaku.

"Pak Khalid terbuka banget juga sih, untungnya. Beliau kemarin ngobrol samaku, kalau Lila itu anaknya emang pendiam, cuek, nggak bisa kerja tim, kelewat individualis, dia nggak punya temen. Jadi ya sekarang berharap dengan background anak yang macem-macem, nggak homogen, Lila bisa banyak belajar, nggak cuma di akademis, tapi juga cara bersosialisasi."

Aku mengangguk. Paham ini.

"Kudu lebih ekstra ya kayaknya kita?"

"Nanti ayo ngobrol sama Bu Yayuk, temenin aku."

Bu Yayuk itu guru konseling, dan beliau lebih paham lah. Jadi aku mengiyakan.

"Dag dig dug aku kemarin, lho!" Ariana tiba-tiba tertawa. Sedangkan aku mengernyit. "Bapaknya guanteng."

"Astagfirullah, stay halal, Ukhti. Suami orang itu," aku mencubit bahunya. Kemarin aku juga sempat kagum, sampai melongok-longok gitu kan keponya. Tapi ya udahlah, wong suami orang itu. Cukup kagum sama ciptaan Tuhan aja. Haram hukumnya buat lebih.

Ariana malah makin kenceng ngakaknya. "Kayaknya kita kudu cari cowok ini, biar nggak jelatatan."

"Kita?" aku menatapnya geli. "Situ aja, Ai enggak."

Kayak nggak terima, Ariana menyikutku. "Kalau kamu kemarin lihat lho, susah napas, beneran!"

Iya, emang. Tapi bedanya, ku simpan sendiri aja.

***


"Bu Juli, lhoooo! Padahal masih istirahat ini!"

Anak-anak didikku merengek, dan aku malah ketawa lihat kelakuannya. Sebagai aku, Juleeha, aku udah berkomitmen sama diriku sendiri kalau aku nggak mau jadi pengajar yang keras dan kaku. So, yeah, santai aja. Anak-anak merengek malah ku ketawain, ada anak yang masih bingung ku ajarin lagi, ada anak yang susah belajarnya aku cekokin pelan-pelan. Aku anti banget hukum menghukum, aku anti kasih nilai jeblok, sesalah-salahnya selama mereka masih bisa menjawab, selalu ku kasih nilai.

Apa anak-anak malah ngelunjak? Enggak sama sekali. Mereka justru menganggapku sahabat, mereka jadi lebih terbuka dan nggak sungkan buat bertanya ini itu, bahkan curhat tentang kehidupan pribadinya juga sesekali. Aku suka itu, aku jadi lebih mengenal anak-anakku alhasil tahu cara terbaik buat mengajar dan bikin mereka nyaman.

"Wong ibu mau duduk-duduk dulu kok ini," aku mengelak. Menatap mereka satu persatu, ada yang makan ciki, minum teh, makan gorengan, makan kue. Lalu ada juga gerombolan lain yang tertawa-tawa, mungkin lagi bergosip. Juga ... di sana, anak yang duduk di bangku tengah, kawan di sampingnya menghadap ke belakang buat mengobrol sedangkan dia duduk tegak, diam, menekuri buku di depannya.

Itu Lila. Jalila, si anak baru.

Aku terus memperhatikannya, memancing instingnya supaya dia menyadariku. Ternyata benar, sekitar lima detik kemudian dia menatapku balik. Aku tersenyum, pokoknya kasih dia senyum termanis, dia tampak tertertegun singkat, lalu kembali ke bukunya lagi.

Aku dikacangin!

Aku. Gurunya. Dikacangin. Di—ka—cang—in. Dikacangin!

Salah apa aku, Ya Rabb?

Aku meringis. Ini sih bukan cuek lagi, tapi bener-bener nggak tersentuh. Aku melempar punggung supaya bisa bersandar, menyisir rambut dengan jari.

Ini gimana caraku buat mendekatkan diri?
















See you guys!!!!

Dad Bomb (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang