Takdir

207 23 4
                                    

Ponsel itu terus berdering lebih dari 5 kali dalam kurun waktu beberapa menit, namun Lana lebih memilih untuk memusatkan perhatiannya pada televisi yang saat ini menampilkan serial netflix yang bahkan dia pun tidak tertarik untuk mendalaminya. Enam, tujuh dan sekarang sudah ke dua belas kalinya ponsel itu berbunyi. Lana menyerah untuk mengabaikan panggilan tersebut, mode diam pun tidak akan membantu. Dengan gerakan malas Lana berusaha meraih ponselnya yang tergeletak di lantai, entahlah benda itu seakan tak berharga.

"Ap–" belum juga Lana menyelesaikan ucapannya terdengar nyaring sautan di sebrang sana.

"Lo kemana aja sih?!!!!  Please Na! Lo udah janji sama gue, sekali ini aja gue mohon banget sama lo yaaa???"

Hanya helaan napas kasar yang terdengar dari mulut Lana, ia bingung harus mengikuti egonya atau berkompromi dengan teman—sahabatnya itu.

"Lanaaa ini bukan saatnya lo ngendus ngendus kaya gitu! Ini kesempatan terakhir gue Naaaa, gue gak tau besok dan seterusnya bakal ketemu dia atau-"

"Ya kalo gitu kan lo bisa cari yang lain Rei, please deh! Lo jangan sampe segininya coba cuma gara-gara lakik!"

"Bodo amat Naaaa gue bukan lo yang belaga gak butuh cowo, ini tentang gue dan kesempatan terakhir gue Na. Gue janji deh sama lo, kalo ini gak berhasil juga gue bakal nyerah dan move on."

Lagi-lagi Lana hanya bisa mengeluarkan dengusan risih dari hidungnya. Mungkin tak ada salahnya ia mengikuti Reima, ini juga sebagai bentuk keberaniannya jika nanti bertemu dengan pria itu lagi.

"Gue gak ada baju Rei, di lemari gue isinya cuma daster."

"Pake baju gue Naaaa! Lo gak usah khawatir! Gue bawain ya sekarang! Lo tinggal mandi dan dandan yang cantik, I'll see you in hour! Bye sayang muahh."

Panggilan itu terputus begitu saja, tapi Lana tidak heran karena yang dihadapinya saat ini adalah Reima, perempuan yang kadang bertindak semaunya.

Lana tidak punya pilihan lain selain bebenah diri, karena percaya tidak percaya sahabatnya itu selalu datang lebih awal dari yang dijanjikannya. Kalau Reima sudah datang dan dia juga belum siap, hanya akan ada ocehan panjang tanpa henti keluar dari mulutnya, tenaga Lana tidak cukup untuk itu.


//

Jam menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas menit, tiga puluh menit setelah panggilan dari Reima berakhir. Lana sudah selesai mandi dan bersiap untuk memoles diri, namun belum juga ia menggunakan make-up nya bel apartemen berbunyi. Sesuai dugaan, Reima akan datang lebih awal tapi ia tidak mengira akan datang secepat ini. Mungkin ini yang dikatakan the power of love, pikir Lana setengah ingin muntah.

Pintu apartmentnya terbuka, menampilkan sosok Reima dengan senyum lebarnya, roll rambut masih bertengger manis di poni yang tidak pernah berubah sejak ia mengenal perempuan itu.

"Niceee udah mandi, udah wangi, belum dandan pun udah cantik, tapi perlu dipoles lagi dikit." ucapnya tanpa malu memasuki apartemen Lana.

"Yang lo ucapin pas bertamu itu salam, bukan ngomentarin yang punya rumah." Lana memasang wajah sedikit jengkel dan menutup pintu kasar.

"Duh bawel bawel! Cepetan ganti baju terus dengdong, gue juga mau touch up sedikit. Malam ini haruusss purrfectt." Seketika itu juga Reima menguasai apartment studio milik Lana, khususnya meja rias.

Bingkisan yang berisi baju dibuka oleh Lana, dan menampilkan gaun satin press body berwarna louis blue dengan lengan spagetti yang tipis, potongan dadanya juga sedikit rendah dan panjangnya bahkan tidak cukup menutupi setengah pahanya.

"Eh manusia sinting! Maksud lo apa bawa baju ginian? Lo niat buat ngejual gue apa gimana? Lagian ini acara juga acara santai kenapa gue pake ginian?!" Ucap Lana lantang hingga memenuhi isi kamarnya.

MungkinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang