Kata orang, tembok tertinggi dari sebuah hubungan adalah keyakinan yang berbeda. Tapi bagi Lana, tembok paling tinggi adalah tuntutan budaya turun temurun yang sangat ingin ia hancurkan.
Mengapa cinta harus dikorbankan, mengapa sebuah budaya harus d...
Sinar matahari memasuki sela-sela jendela kamar Lana yang masih tertutup oleh gorden. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi, namun Lana masih enggan untuk beranjak dari kasurnya. Matanya yang sedikit memerah dan bengkak masih tertutup meskipun kini ia sudah sepenuhnya sadar. Guling yang sudah menemaninya cukup lama masih berada dalam pelukannya, selimutnya yang cukup tebal juga masih setia membungkusnya. Hari minggu ini tidak ada niatan sedikit pun untuk pergi dari zona nyamannya, terlebih dengan apa yang terjadi padanya semalam membuat Lana ingin menutup dirinya lebih lama lagi.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Suara password pintu utamanya berbunyi, pertanda bahwa ada orang yang memasuki kamarnya. Lana tahu siapa orang tersebut, oleh karenanya ia masih tetap tidak bergerak dari posisinya saat ini. Reima sang pelaku utama berhamburan memasuki apartemen Lana, mengedarkan pandangannya mencari dimana Lana berada. Setelah ia menemukan Lana di kasurnya, berbagai kata-kata keluar dari mulut Reima.
"Naaaa sorry banget kemarin gue gak nerima telfon lo, soalnya handphone gue lagi mode silent. Ada apa sih tiba-tiba telfon gue sebanyak itu? gak biasanya deh! Terus lo gua telfon berkali-kali tapi gak nyambung, gue khawatir tauuuu! coba kek lo liat sini dulu."
Memang benar setelah pertengkarannya dengan Sanu semalam, Lana berusaha menghubungi Reima beberapa kali. Saat itu ia benar-benar kalut dan butuh seseorang untuk menenangkannya, namun ia sadar bahwa Reima sedang dalam urusannya yang tidak bisa diganggu, sekalipun Reima menjawab, Lana sangsi bahwa sahabatnya dapat menemuinya saat itu juga. Akhirnya ia memilih untuk menguatkan dirinya sendiri meskipun seluruh ruangan kamar dipenuhi dengan isakanya.
Lana masih memejamkan matanya, memilih untuk tidak menjawab pertanyaan dari Reima. Hingga Reima menaiki kasur Lana dan ikut berbaring menghadap ke perempuan yang sedari tadi memunggunginya. Kelopak mata Lana yang memerah terlihat cukup jelas di penglihatan Reima, ia menyentuh kelopak mata Lana dan berkata.
"Mata lo kenapa Na? kok merah?" Lana tetap tak bergeming.
"Lo abis nangis? kenapa?" Suara Reima yang biasanya keras kini melunak, jarinya masih mengusap kelopak mata Lana dan menjadi terkejut setelah air mata menyusup dari sela mata sahabatnya.
"Na, lo kenapa?" Reima segera memeluk dan mengelus pelan kepala Lana. Lana yang sedari tadi diam mulai terdengar suaranya, hanya saja suara yang dikeluarkan berupa isakan serta air matanya yang semakin membanjiri bantal.
Reima yang paham akan tugasnya memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut mengapa Lana tiba-tiba menangis, ia hanya dapat menepuk pelan kepala dan punggung sahabatnya. Berharap aksi kecilnya dapat menenangkan Lana yang tangisannya semakin terdengar jelas.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.