Jika kalian diberi dua pilihan, apa yang akan kalian pilih? Mimpi? Atau kebahagiaan orang yang kalian sayang?
Pilihan yang sulit bukan, karena pada dasarnya hidup itu pilihan. Jika kalian sudah memilih, maka kalian harus mengorbankan salah satunya. Apapun yang kalian pilih, kalian harus menanggung resiko di belakangnya.
Dan sekarang Abigel sedang berusaha menanggung semua resiko atas pilihannya. Memilih untuk membahagiakan orang yang ia sayangi dengan bekerja dan menghabiskan waktunya di coffeshop membuatnya jarang memiliki waktu untuk sang adik.
Ya, dia tahu itu resiko yang harus ditanggungnya tapi dia tidak pernah berpikir bahwa resiko itu sangat mempengaruhi kehidupan Bagas. Abigel tidak pernah berpikir bahwa adiknya itu merasa kesepian. Abigel hanya sedang melakukan yang terbaik untuk kehidupan Bagas kedepannya.
Masih Abigel ingat bagaimana sang bunda yang memintanya untuk membantu membiayai kuliah sang adik. Masih terekam dengan jelas di otaknya bagaimana sang bunda yang menangis lirih di hadapannya dan berkata bahwa bundanya itu tidak sanggup jika harus membiayai kuliah kedua anaknya sekaligus.
Dan masih sangat Abigel ingat bagaimana tatapan sendu dan sedikit tak rela ia tunjukkan pada sang bunda. Seolah kedua mata itu berkata "Abigel harus berkorban lagi ya, Bun."
Terkadang Abigel bertanya pada dirinya sendiri, apa harus selalu dia yang berkorban? Apa belum cukup selama ini yang dia lakukan untuk Bagas? Apa bundanya tidak bisa melihat betapa berusahanya dia menerima bahwa kasih sayang sang bunda lebih dominan pada sang adik?
Kenapa seolah Abigel hanya sebuah pengganti di sini? Kenapa sang bunda hanya peduli dengan kebahagiaan sang adik dan tidak dengan kebahagiaannya?
Tapi Abigel tahu dia tidak boleh egois. Tidak melanjutkan pendidikan bukan berarti dia tidak bisa meraih mimpinya bukan. Dia hanya sedang menunda mimpinya sedikit lebih lama hingga sang adik lulus dengan gelar sarjana.
Jika mimpi sang adik menjadi seorang profesor, maka mimpinya adalah seorang psikiater. Mimpi yang muncul saat dia merasa tidak ada seorangpun yang mengertinya, saat hatinya merasa tidak ada yang peduli dengannya, membuatnya tergerak untuk dapat mengenal karakter seseorang dengan ilmu psikolognya suatu saat nanti.
Ingin mengatakan pada semua orang bahwa mereka tidak sungguh-sungguh sendiri, akan selalu ada satu atau dua orang yang akan peduli. Sekalipun hal itu belum terbukti pada dirinya sendiri. Tapi dia akan selalu percaya akan hal itu.
"ABIGEL GHEFARY!!"
"Iyaaa! Mau pesan apa kak?" Tanya Abigel cepat saat tersadar dari lamunannya dan mendapati seorang pemuda satu tahun lebih tua darinya tengah berdiri dengan kedua tangan pada masing-masing pinggang membuat Abigel tersenyum kikuk sambil menggaruk kepala bagian belakangnya.
"Ehh Kak Bryan... Ada yang bisa Abi bantu kak?" Tanya Abigel berusaha tersenyum senormal mungkin menatap pemuda sekaligus pemilik coffeshop tempatnya bekerja ini.
"Jordan, tolong ambil alih sebentar pekerjaan Abigel. Saya ingin berbicara dengannya." Ucap pemuda yang Abigel panggil dengan sebutan 'Kak Bryan' itu pada salah seorang karyawan yang berdiri di samping Abigel saat ini.
"Abi, temui saya di ruangan!" Pinta Bryan tegas membuat siapapun di sana bergidik ngeri, pasalnya bos mereka itu jarang sekali marah. Alih-alih memasang wajah datar seperti saat ini, bosnya itu akan selalu menunjukkan senyum secerah mentari setiap harinya.
"Baik Kak." Jawab Abigel sembari mengangguk menatap kepergian Bryan sambil sesekali menunduk merutuki kebodohannya.
"Titip sebentar ya, Dan. Terimakasih." Ucap Abigel tersenyum ke arah Jordan yang mengangguk sebagai jawaban.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'M STILL ALONE HERE
Teen Fiction[FRIENDSHIP - BROTHERSHIP] Apa arti sahabat bagimu? Bagaimana rasanya punya sahabat? Menyenangkan? Atau justru tidak ada bedanya dengan tidak punya teman? Sahabat yang seharusnya saling mengenal satu sama lain. Sahabat yang seharusnya saling mengert...