Part 1A: Ekstrakurikuler

8 1 3
                                    

Hey … Dia itu cuma bercanda.
Harusnya kamu tertawa, bukan malah jatuh cinta.
 
Cahaya mentari yang hangat menembus tirai tipis ruangan kecil sebuah rumah.

“Vii … Bangun … Udah siang ini!” teriak Mama membangunkanku. Suaranya menggelegar bagai genderang.

Ahh dasar, Mama, volume suaranya memang tak pernah bisa dikecilkan. Macam loudspeaker saja.

Dengan langkah gontai dan mata yang masih terkantuk-kantuk, aku beranjak dari atas pembaringan dan bergegas menuju kamar mandi. Mataku melirik ke arah penunjuk waktu yang tertempel di dinding. Jarum panjang menunjuk angka 3 dan jarum pendek menunjuk angka 6.

“Kesiangan lagi, ngapain tadi tidur lagi setelah salat Subuh,” gerutuku menyesali diri.

Setelah selesai mandi, secepat kilat kumasukan buku-buku pelajaran hari Senin ke dalam tas. Sudah menjadi kebiasaanku menyiapkan buku pelajaran pagi hari sebelum berangkat sekolah.  

Sekalian memastikan apa-apa yang harus aku bawa. Aku mungkin berbeda dengan teman-temanku, yang selalu menyiapkan buku pelajaran dari semalam sebelumnya.

Ahh biar saja, toh tak ada aturannya buku pelajaran harus disiapkan dari malam sebelumnya.

Aku segera bersiap dengan waktu yang sangat cepat. Jangan sampai terlambat, itu yang ada dalam benakku. Tanpa sarapan aku segera mencari Mama untuk berpamitan.

“Ma, Vio berangkat dulu ya … Assalamu’alaikum.” Kuraih tangan Mama dan mencium punggung tangannya. Telapak tangan yang sudah mulai keriput dan sedikit kasar tetap lembut mengusap kepalaku. Mamaku adalah seorang ibu rumah tangga yang tangguh.

Kulirik jam yang kukenakan di lengan kananku.
“Aiihh sudah jam tujuh kurang lima menit. Bisa telat nih aku.”

Aku berlari menuju jalan raya untuk menunggu angkot. Angkot datang saat aku sampai di tepi jalan sehingga tidak perlu menunggu lama-lama.

Sesampainya di depan sekolah, suasana sudah sepi. Pak satpam yang berbadan kerempeng itu sudah bersiap menutup pintu gerbang. Aku harus menyebrang jalan terlebih dahulu.

“Pak, tunggu, Pak, jangan ditutup dulu!” teriakku dengan napas tersengal berlari menuju pintu gerbang.

“Aduuhh, si Neng ini selalu telat kalau sekolah. Upacaranya sudah mau mulai tuh!” ujar Pak Satpam sambil mempersilakan aku masuk.

“Iya, Pak, maaf, ini terakhir saya telat,” jawabku dengan santai. Senyuman kuberikan seolah tanpa dosa.

Aku segera menyusup di barisan anak kelas X-2 untuk mengikuti upacara bendera yang diadakan setiap hari Senin.

“Ya ampun, Vio, jam segini baru datang?!” Esti, sahabatku, terkejut karena badannya sedikit kudorong agar aku bisa masuk barisan.

“Heheheee” Aku hanya nyengir garing macam kanebo kering. Esti tidak banyak komentar lagi setelahnya. Dia dengan khusyuk mengikuti upacara bendera, tak bicara sepatah kata pun selama upacara berlangsung. Macam patung saja. Aku? Jangan ditanya. Sesekali aku mengecek hape di sela-sela upacara.

Ketika terdengar bisik-bisik dari temanku yang ada di barisan belakang karena ada pengawas, aku segera memasukan hape bututku ke saku rok seragam. Upacara berjalan dengan sangat khidmat.

Kegiatan rutin berdiri di lapangan setiap hari Senin itu usai. Aku dan Esti berjalan beriringan menuju ruang kelas sepuluh dua.

“Hei, Vi ...,” sapa seseorang yang suaranya sudah tak asing lagi di telinga.

“Eh, Niko, ada apa?” Kuhentikan langkah diikuti Esti yang berdiri di sampingku.

“Nanti pulang sekolah kita kumpul di ruang sekret pramuka. Ada rapat penting. Jangan lupa kasih tau yang lainnya juga,” ujar Niko yang rajin meng-up date info kegiatan sekolah kepadaku.

“Sama senior juga?” tanyaku lagi.
“Iya, sama kelas sebelas.”
“Aduh males deh kalau sama kelas sebelas. Rapat apaan sih?” Mendengar ada senior kelas sebelas yang mengikuti rapat membuatku sedikit enggan untuk bergabung.

“Kata kak Ana mau membahas lomba hiking tingkat SMP yang diselenggarakan oleh SMA kita. Minggu depan acara pembukaannya akan dilaksanakan.”

“Ohh oke deh. Nanti aku sampein ke teman-teman yang lain. Makasih ya, Nik, infonya.”

“Oke, Vi, sama-sama. Aku ke kelas dulu ya. Sampe ketemu nanti.” Lelaki itu bergegas mendahului kami yang berjalan santai menuju kelas.

***

“Assalamu’alaikum Warohmatullah Wabarakatuh,” ucap salah satu kakak senior Bantara memberi salam sebelum dimulainya acara rapat. Bantara adalah singkatan dari Bantuan Tenaga Rakyat. Dalam organisasi Pramuka adalah anggota Pramuka setingkat SMA.

“Baiklah, Adik-adik Bantara kelas sepuluh, minggu depan SMA kita akan mengadakan lomba hiking tingkat SMP. Kita akan membagi jumlah anggota Bantara kelas sepuluh dan kelas sebelas sesuai dengan jumlah pos-pos yang akan dibentuk. Khusus untuk senior kelas dua belas, akan dibagi menjadi dua pos.”

Seorang kakak senior lainnya kemudian membacakan pembagian anggota untuk ditempatkan di masing-masing pos yang telah disediakan.

“Viona, Niko, Irfan, dan Maria bersama kelas sebelas Kak Dimas, Kak Ana, Kak Joko, dan Kak Anisa, menempati pos lima.”

Aduuhh, kenapa pula aku harus satu pos dengan Kak Joko. Si tiang listrik yang wajahnya kaku macam T-Rex. Senior yang paling songong sejagat raya, gerutuku dalam hati. Kesal bukan main. Tapi beruntung aku masih satu pos dengan sahabatku yang super keren di mataku. Tak lain dan tak bukan ialah Niko. Aiihh … Dia keren? Iya menurutku. Mungkin bagi orang lain yang melihat, dia hanya seorang laki-laki biasa. Sangat biasa malah. Tak ada istimewanya. Tapi bagiku, dia sahabat yang luar biasa selain Esti.

Selesai rapat di ruang sekretariat pramuka, aku tak langsung pulang. Langkahku menuju bangunan di samping ruang guru untuk meminjam beberapa buku Biologi dan Sejarah. Kebetulan perpustakaan sekolah masih buka. Aku lekas masuk ke ruangan yang berukuran 168m2 itu. Deretan rak buku berjejer rapi. Aku menuju rak tempat buku-buku yang aku perlukan.

“Hey … lagi cari apa?” ucap seseorang mengangetkanku yang sedang fokus menelusuri deretan buku. Suaranya memang tidak lantang, tetapi terdengar jelas di ruangan yang sudah sepi itu. Niko, laki-laki berambut ikal yang otaknya macam otak komputer itu, segera menghampiriku.

“Hadeuuhh kamu lagi. Bosan aku lihatnya. Kamu lagi, kamu lagi. Di mana-mana selalu ada kamu. Macam setan saja,” selorohku sambil terkekeh-kekeh.

“Tadi aku liat kamu masuk perpustakaan sendirian. Pulang sekolah lagi. Kan tumben-tumbenan. Jadi aku samperin aja sekalian,” tukasnya.

“Ya memangnya kenapa, kalau aku ke perpustakaan sendirian pulang sekolah? Gak boleh?” Aku pun tak mau kalah menimpalinya.

“Gak boleh, kalau sendirian. Harus ajak-ajak aku.” Lelaki berperawakan kurus itu pun tergelak.

“Heleehhh, dasar kau ni. Eh, buku-bukunya dah dapet nih.”

Aku membawa tiga buku ke petugas perpustakaan untuk dicatat. Satu minggu adalah waktu yang diberikan untuk aku menyelesaikan membaca buku itu.

“Pulang yuk,” ujarku sambil memasukkan buku ke dalam tas punggungku.

Aku dan Niko beriringan menuju pintu gerbang sekolah untuk menunggu angkot. Rumah kami berlawanan arah. Cuaca siang itu cukup terik. Pepohonan yang ada di tepi jalan tidak mampu menghadirkan kesejukan. Sinar mentari memancar membuat kerongkongan terasa kering. Ingin sekali dialiri air yang dingin menyegarkan. Angkot yang aku tunggu-tunggu akhirnya datang juga.

“Aku duluan ya, Nik,” ujarku pada Niko yang berdiri mematung membersamaiku menunggu angkot. Niko menyebrang jalan untuk menunggu angkot arah rumahnya. Tentu, setelah aku naik ke dalam angkot.

Aku mengenal Niko baru satu semester, karena sama-sama mengikuti ekstrakurikuler kepramukaan dan marching band. Kita berbeda kelas, aku di kelas X-2 dan dia di kelas X-7. Awal mula kedekatanku dengannya bermula dari pramuka. Setiap ada kegiatan itu, kami selalu berada dalam kelompok yang sama. Macam Upin dan Ipin yang tak pernah bisa dipisahkan. Entahlah ….

Cinta Dalam DiamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang