Part 2A: Memory Daun Pisang

5 0 0
                                    

Terima kasih, sudah memberi warna dalam hidupku. Perlakuanmu begitu manis, hingga hatiku berkali-kali menganggapnya berlebihan.

Lomba hiking pun tiba. Upacara pembukaan berjalan dengan lancar dan khidmat. Semua peserta dari berbagai SMP sekecamatan memakai seragam PDL (Pakaian Dinas Lapangan) sekolah masing-masing. Atribut kepramukaan menempel. Tak ketinggalan ransel di punggungnya. Papan nama dari kertas karton yang digantung dengan tali rapia di depan dada. Unik dan mengesankan.

Aku bersama teman-teman dan semua senior telah menunggu di pos masing-masing. Kami menunggu peserta lomba datang dan bersiap menguji materi-materi seputar kepramukaan.

Kami berbincang riang. Sesekali terdengar gelak tawa karena ada saja kelucuan-kelucuan dari Irfan dan teman lainnya. Mereka membuat suasana semakin hangat dan cair. Bagaimana dengan si senior yang mirip tiang listrik berwajah kaku itu? Tak usah ditanya. Dia hanya berbicara sepatah dua patah kata saja. Itu pun hanya dengan teman seangkatannya saja. Pada junior seperti aku, dia tak pernah bersikap ramah sedikit pun. Biar saja, apa peduliku.

Satu per satu regu datang silih berganti. Kami menguji materi yang telah disusun sebelumnya. Penilaian pun dilakukan pada semua regu. Ada dua puluhan regu dari seluruh peserta lomba. Sungguh melelahkan.

Regu terakhir sudah meninggalkan kami. Lega rasanya, serangkaian kegiatan selesai juga. Waktu telah menunjukan pukul 15.30 WIB saat kami kembali ke sekolah. Dengan berjalan kaki kami menyusuri pesawahan, perkampungan, dan jalan-jalan setapak. Cukup jauh jarak pos sampai ke sekolah. Butuh waktu hampir satu jam dengan berjalan kaki. Namun ajaib, aku tak merasakan lelah saat berjalan bersama teman-teman. Bahagia luar biasa. Begitu terasa kebersamaannya.

Awan kelabu menggelayut pekat, tanda sebentar lagi akan turun hujan. Kami mempercepat langkah. Namun tak dinyana, tetesan air yang turun dari langit ternyata tak dapat diajak kompromi. Rintik-rintik air mulai turun dengan lembut. Basahnya menembus tanah yang kering hadirkan kesejukan.

Secepat kilat Niko berlari dan turun ke kebun pisang yang entah milik siapa. Dia mengambil sehelai daun pisang itu. Tangannya segera terjulur bersama daun pisang menutup kepalaku. Ia tak rela tubuhku terkena tetasan rintik hujan. Tanpa permisi ia memayungiku dengan sehelai daun pisang yang tadi diambil dari kebun orang. Ohh so sweet ... Aku terhenyak, kaku, gugup, mulutku seolah terkunci tak mampu menolak apa yang dilakukan oleh seseorang yang sering membuatku sewot. Hatiku? Usah ditanya, tak bisa kulukiskan. Ada desir bahagia yang perlahan menyusup ke dalam hati.

"Jangan bengong, nanti kamu sakit kepala kalau kehujanan. Ayo jalan lagi," ucap Niko membuyarkan lamunan. Seolah ia tahu apa yang sedang ada dalam hatiku.

"Kamu mengambil daun pisang milik orang lain. Ini namanya mencuri," kataku berusaha menetralisir perasaan.

"Ini bukan mencuri. Tapi survival," jawabnya tanpa melihat ke arahku. Aku hanya tersenyum.

"Swiiittt swiiiwww ... Ada yang cemburu nih." Tetiba ada yang berteriak dari arah belakang. Tiga orang kakak senior laki-laki kelas dua belas yang berboncengan menggunakan kendaraan roda dua membuntuti kami. Mereka adalah Kak Fachri, Kak Asep, dan Kak Abdul. Tiga serangkai.

"Siapa yang cemburu?" tanya Niko padaku dengan tatapan penuh selidik.

"Mana aku tau," jawabku sekenanya.

"Ah, jangan-jangan Kak Fachri ya? Gara-gara kamu jalan bareng aku," ujarnya dengan ledekan penuh curiga.

"Mana mungkin?! Aku sama Kak Fachri kan gak ada hubungan apa-apa. Biasa aja." Salah tingkah aku dibuatnya.

"Hahahahaaa kalaupun dia cemburu juga, biarin aja. Usah kamu pikirkan."

"Yeyy siapa juga yang mikirin dia?!"

Cinta Dalam DiamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang