Part 1B

1 0 0
                                    

Drrrrrttttt… drrrrtttttt…

Hape bututku yang tergeletak di atas pembaringan bergetar. Kuraih benda kecil itu. Satu pesan diterima tampak di layar.  Kulirik penunjuk waktu yang ada di layer hape.

“Jam sebelas. Siapa pula yang sms malam-malam begini?” lirihku.

Ahh sial, ternyata dari provider telepon. Sebuah pesan pemberitahuan bahwa aku mendapatkan gratis 100 sms ke semua operator dan gratis telepon ke sesama provider. Aiihh macam dia tahu kalau aku ini kere. Riang bukan kepalang. Dengan begitu aku tak perlu membeli pulsa, minimal untuk dua sampai tiga hari ke depan. Lumayan, penghematan uang jajan.

Pada saat itu masih belum ada fitur chat gratis berbagai pilihan seperti sekarang. WhatsApp, Line, Telegram, dan banyak lagi, bahkan BBM pun belum ada. Sms dan telepon masih sangat ngehits kala itu.

Drrrrrtttt… drrrrrtttt…

Notifikasi pesan masuk kembali terdengar dari benda pipih yang selalu menemaniku.

Aiiihh dari Niko! Ada apa dia malam-malam gini sms? Aku bertanya pada diri sendiri. Segera kubuka layar hape dan membaca pesan dari Niko.

[Vi, lagi apa?]

[Lagi dengerin radio. Ada apa? Malam-malam sms. Macam tak ada hari esok.]

Pesan balasan segera kukirimkan.

[Jutek amat, Bu … Lagi kesambet? Wkwkwk … Gak ada apa-apa. Cuma pengen ngetes aja udah berlayar apa belum. Hahahaa]

Pesan balasan tak perlu menunggu lama kuterima.

[DASAR SONTOLOYO!!! GAK ADA KERJAAN!!!] Kugunakan huruf besar semua seperti caps lock jebol, lalu kutekan tombol kirim.

Tak ada balasan lagi darinya, mungkin dia sudah cukup puas mengerjaiku.

Lihat saja akan kubalas nanti.

Keesokan hari, pagi-pagi sekali aku mengerjakan tugas sekolah yang hampir lupa. menyiapkan segala keperluan sekolah, dan bergegas ke kamar mandi. Setelah selesai membersihkan diri, lima belas menit aku mematut di depan cermin yang tertempel pada lemari pakaian.

Memastikan bahwa penampilanku hari ini udah oke, meski tanpa polesan bedak. Hanya parfum yang kusemprotkan sedikit ke baju seragam putih abu.

Setiba di depan gerbang sekolah, aku dikejutkan oleh seseorang yang berdiri persis di depan gerbang. Sosok yang semalam membuatku kesal. Siapa lagi kalau bukan si tengil Niko. Ia berdiri seperti patung selamat datang.

“Hei, ngapain kamu berdiri di sini?” tanyaku memasang wajah jutek.

“Ngapain lagi kalau bukan nungguin kamu,” jawabnya enteng dengan senyum menyeringai.

“Masih pagi. Jangan gombal. Malu sama rambut kau yang seperti kabel tuh,” cerocosku sambil berlalu meninggalkannya.

“Aih, aih, aih, masih pagi sudah marah-marah. Kesambet setan angkot ya? Hahahaha,” jawabnya dengan sedikit berlari mengejarku.

Tak sedikit pun aku memedulikan ucapannya. Aku berjalan melewati deretan kelas dua belas IPA. Dia berusaha mengimbangi langkahku.

“Dek...” panggil seseorang dari kelas XII-IPA 2. Aku dan Niko menoleh seketika.

“Eh iya, Kak.” Ternyata Kak Fachri yang memanggilku.

“Baru datang?” tanyanya, langkahnya pelan menghampiriku.

“Iya. Ada apa, kak?”

“Nanti pulang sekolah, bisa ketemu sebentar?”

“Hmm…kayaknya gak bisa. Aku ada latihan pulang sekolah,” tolakku dengan halus.

“Ooh gitu, ya udah gapapa. Lain kali aja,” imbuhnya dengan menarik sedikit bibirnya ke atas. Kulihat ada kekecewaan dalam raut wajahnya yang manis itu. Beberapa bulan ini aku memang tengah dekat dengan Kak Fachri. Dia senior di organisasi pramuka. Tak jarang jika di sekolah aku mengobrol dengannya di depan koperasi atau di depan gerbang ketika hendak pulang. Menyisakan berbagai pertanyaan pada teman-teman yang mengenaliku. Termasuk Niko.

Aku kembali berjalan menuju kelas. Ekor mataku menangkap wajah Niko yang sedikit terlihat masam.

“Kamu kenapa? Kok tiba-tiba muka-mu berubah gitu?” tanyaku menyelidik.

“Gapapa. Eh, Kak Fachri ngajak ketemu kamu memangnya mau ngapain?”

“Mana aku tau. Kenapa memangnya? Kamu cemburu ya? Hahaha…” giliranku meledeknya habis habisan. Kulihat dia sedikit salah tingkah. Tangannya terulur hendak menjitak kepalaku. Aku lari secepat kilat menuju kelas. Lolos.

“Awas ya, nanti akan ku balas,” teriaknya, sambil berlalu menuju kelasnya yang berada di samping pohon kersen.

***

Dering bel tanda jam pulang terdengar seantero sekolah. Siswa-siswa berhamburan dari setiap ruang kelas. Aku masih duduk terdiam di bangku pojok paling depan, persis berhadapan dengan meja guru.

“Hei, Vi, gak pulang?” tanya Esti yang sudah bersiap untuk pulang.

“Hari ini aku ada latihan Marching Band, jadi aku gak pulang dulu.”

“Ooh… Oke deh, aku pulang duluan ya,” imbuh Esti yang sedikit terburu-buru melangkah ke luar ruangan.

“Oke, ati-ati ya, Es ...,” jawabku sambil merapikan buku ke dalam tas.

“Ayok, Na, kita ke aula. Takutnya yang lain udah pada nunggu,” ajakku pada Rina, teman sekelas yang juga sama-sama ikut ekskul Marching Band.” Ketika langkah kami sampai di bingkai pintu kelas, tiba-tiba ada Niko dan Irfan yang juga hendak ke aula. Akhirnya kami berempat beriringan menuju ruangan besar itu untuk latihan Marching Band.

Semua peralatan telah siap. Masing-masing dari kami mengambil alat yang akan kami mainkan. Irfan dan Niko memegang snare drum, sedangkan aku dan Rina lebih memilih memainkan Marching bells. Dan beberapa teman yang lain ada yang memegang bass drum, quint tom, hand cymbal, dll. Kami dilatih oleh senior kelas sebelas. Saat itu hanya satu lagu yang kami mainkan, itu pun berulang-ulang.

Ketika perpaduan musik yang dimainkan telah nyaris sempurna, kami berlatih di lapangan basket. Sekaligus membentuk formasi barisan. Kami sangat menikmati ekskul ini. Selain happy, ekskul ini juga membutuhkan konsentrasi penuh. Menyelaraskan kombinasi dari permainan musik serta aksi baris berbaris dari pemainnya. Mengesankan. Hingga tak terasa, matahari telah meluncur di kaki barat, siap tenggelam. Kami mengakhiri latihan hari itu.

“Vi, tunggu …!” teriak Niko dengan langkah tergesa-gesa menghampiriku.

“Ada apa?” tanyaku dengan malas karena ingin segera pulang.

“Kamu langsung pulang?” Pertanyaan basa-basi yang membuatku sedikit kesal.

“Iyalah … Memangnya mau ke mana lagi? Ini sudah sore aku harus segera pulang,” timpalku sewot.

“Kirain mau mampir dulu,” jawabnya masih dengan santai, tak terpengaruh nada bicaraku.

“Mampir ke mana?”

Terbersit tanya di hati, apakah Niko akan mengajakku pergi ke suatu tempat.

“Ke hatiku. Hahahahaa.”

Ia tergelak. Lelaki berambut ikal itu segera berlalu di hadapanku. Rayuan basinya mampu membuatku tersenyum kecut, sekaligus membuat jantungku berdegub kencang.  Jujur, aku tak bisa menyembunyikan wajahku yang memerah padam seperti kepiting rebus.

Cinta Dalam DiamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang