Prolog

11 3 3
                                    

Sejatinya, manusia terlahir dengan berbagai perbedaan. Tuhan telah menciptakan manusia dengan bentuk sesempurna mungkin. Tidak mungkin Sang Pencipta yang telah menciptakan seluruh alam semesta membuat ciptaan yang tidak sempurna. Pembeda hanya tercipta di mata manusia, tidak di mata Sang Pencipta.

Tentu saja pandangan Sang Pencipta dan ciptaan-Nya berbeda. Terkadang manusia sering menghakimi mereka yang lahir dengan keadaan berbeda.

Tiga puluh lima tahun silam, seorang anak perempuan dengan paras cantik lahir ke dunia. Bayi mungil itu awalnya terlihat serupa dengan bayi-bayi lainnya. Namun, selang beberapa tahun ia berada di dunia, keistimewaannya mulai terlihat.

Anak bungsu dari empat bersaudara itu didiagnosis mengidap down syndrome. Keadaan genetik di mana penderita mengalami keterlambatan pertumbuhan dan intelektual. Namun, tidak semua orang dapat menerima sosok manusia istimewa tersebut.

Sejak kecil, anak perempuan tersebut mendapat perundungan dari teman, tetangga, dan saudaranya sendiri. Tidak ada tempat yang dapat menjadi sandaran untuk tubuhnya kecuali sang ibu, wanita yang telah melahirkannya.

Setiap tindakannya selalu dinilai salah meski ia benar sekali pun. Tidak akan ada yang memujinya walau sejuta prestasi terpampang atas namanya. Hidup di lingkungan yang menganggap dirinya sebagai kutukan semakin membuat anak itu terpuruk.

Perkembangan dan intelektual anak perempuan berparas ayu itu memang terhambat, tetapi tidak dengan usianya. Usianya baru saja genap lima belas tahun. Peristiwa nahas menimpa dirinya.

Gadis muda itu dicumbu cinta secara paksa oleh lelaki bejat. Tak ada yang mempercayai cerita gadis itu. Sejelas apapun cerita yang ia sampaikan dianggap sebagai kebohongan.

Seorang anak perempuan terlahir dari hubungan paksa itu. Semakin banyak hujatan yang datang pada gadis yang usianya masih muda, tetapi sudah menjadi seorang ibu kala itu. Kesehatan mentalnya semakin terganggu.

Perilaku aneh kerap kali ditampilkan. Mulai dari semakin sering menyendiri, menyakiti diri sendiri, hingga emosi yang sering tak terkontrol lagi.

***
Seolah hidup seorang diri di tengah keluarga besar, membuat Kejora kerap kali memiliki keinginan untuk menghabisi nyawanya sendiri. Kehidupannya begitu menyedihkan menurut pandangannya.

Ibu yang berbeda, ayah yang tak tahu di mana rimbanya, nenek yang tak lagi muda. Kekuatan Kejora untuk berdiri tegak hanya dirinya sendiri. Ia menopang tubuhnya selama beberapa tahun lamanya.

Parasnya yang cantik membuat Kejora digemari laki-laki di daerah tempat tinggalnya. Namun, para wanita justru terbakar api cemburu.

"Cantik, mau ke mana?" Pertanyaan yang kerap kali terdengar di telinga Kejora. Terkadang gadis itu hanya tersenyum untuk memberi jawaban.

Seharusnya, dua tahun yang lalu Kejora melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi. Namun, perekonomian keluarganya tidak mendukung. Kejora terpaksa mengalah dengan kakak dan adik sepupunya.

Tanah peninggalan sang kakek terpaksa dijual untuk memenuhi biaya sekolah mereka. Kejora hanya dapat mengulum senyum saat para saudara ibunya membanggakan sang anak.

"Anak perempuan tuh enggak usah sekolah tinggi-tinggi. Cukup di rumah saja masak!" sindir salah satu saudara ibu Kejora.

Gadis bernama Kejora itu hanya terdiam. Meski prestasi yang ia dapatkan lebih banyak dari sepupu laki-lakinya yang lain, tetap saja status Kejora sebagai perempuan dan anak yang tidak diharapkan selalu lebih rendah dari yang lainnya.

Terkadang, terbersit pikiran konyol untuk melarikan diri dari rumah. Namun, selalu ia urungkan. Karena, tidak ada tempat yang akan menerima dirinya.

Si TegarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang