Pelita menjadi satu-satunya penerang untuk malam yang temaram. Lahir seorang bayi mungil berjenis kelamin perempuan yang diberi nama Kejora. Beberapa wanita tampak hilir mudik membawa anak yang baru saja lahir itu.
Untuk pertama kalinya, bayi kecil yang masih tampak kemerahan tersebut dikenalkan dengan Tuhan yang keluarganya percaya melalui lantunan azan, seperti kebanyakan bayi lainnya.
Meski lahir sebagai anak yang tidak diinginkan, Kejora tetap dibesarkan layaknya anak-anak lain. Ia diberi makan, mainan, sekolah, serta waktu bermain seperti anak seusianya. Namun, semua itu hanya dapat Kejora miliki saat sang kakek masih berada di dunia.
Kala itu, usianya menginjak delapan tahun, sang kakek dipanggil menghadap Sang Pencipta. Tidak ada lagi yang memberi Kejora segala kenyamanan seperti sebelumnya. Terlebih, status yang dimiliki ibunya yang dianggap sebagai aib besar keluarga membuat Kejora kerap kali disudutkan.
Sejak kecil, Kejora sering mendengar sindiran yang seharusnya tidak ia dapatkan. Terkadang mereka mengungkit sang ibu yang tidak seperti manusia normal lainnya, membesar-besarkan kesalahan Kejora meski ia hanya melakukan kesalahan kecil saja.
Emosi Kejora kerap kali tidak stabil. Tekanan yang ia dapat sejak kecil membuat Kejora sulit mengendalikan amarahnya. Namun, saat sudah menginjak usia remaja, Kejora mulai dapat mengendalikan emosinya.
Kalimat demi kalimat menyakitkan sering anak perempuan berwajah ayu itu terima.
"Anak sama ibu sama saja! Sama-sama gila!" ucap salah satu bibi dari Kejora yang sampai saat ini masih melekat di benak anak tersebut.
Gadis bernama Kejora itu merasa kesal jika setiap kali ia mengingatnya. Ia kesal karena tidak menemukan kata-kata untuk membantah ucapan sang bibi. Sebab, tidak sepenuhnya salah kalimat pedas yang keluar dari wanita tersebut.
Memang benar bahwa ibu dari Kejora kerap kali mengamuk tanpa sebab. Bahkan, Kejora sendiri pernah mendapat amukan tersebut. Terkadang jika amarah wanita penderita down syndrome tersebut tidak lagi dapat dikendalikan, ia terpaksa diikat di tiang-tiang rumah agar tidak mengacau.
Tentu saja hati Kejora sakit saat melihat ibunya diperlakukan demikian. Namun, ia tidak dapat berbuat apa-apa. Sejak kecil sang nenek yang menjaganya selalu meminta Kejora untuk mengunci mulutnya rapat-rapat agar tidak melawan ucapan para bibi dan pamannya.
Sekarang tanpa permintaan dari sang nenek pun gadis bernama lengkap Kejora Bhanuwati itu akan selalu diam saja ketika disindir atau dikatai dengan ucapan yang menyakitkan. Bibirnya kelu karena terlalu lama terkunci sehingga ia tidak lagi tahu kata-kata yang tepat untuk membantah.
***
Pagi telah tiba. Matahari kembali bekerja menyinari bentala. Lalu, bulan kembali menghilang seperti peredarannya yang biasa.Tampak seorang perempuan bersurai hitam legam tengah memegang gagang sapu. Gerak tangannya memperlihatkan bahwa gadis itu telah lihai dengan alat yang digunakan untuk membersihkan debu tersebut.
"Siap!" ujarnya. Perempuan dengan tubuh yang tidak terlalu tinggi itu terlihat memperbaiki ikatan rambutnya yang terlepas.
Jemarinya yang cukup kecil itu meraih seluruh surai indah miliknya. Gerakan bolak-balik memasukkan surai tersebut ke sebuah karet yang mengikat seluruh surainya.
Gadis yang akrab di sapa Kejora itu bergegas kembali ke dalam rumah. Salah satu tugas hariannya telah selesai. Seperti biasanya, ketika Kejora telah selesai menyapu seisi rumah beserta halaman rumah maka ia akan kembali masuk ke dapur.
Kejora mulai menyiapkan masakan yang nanti hasil akhirnya akan disantap oleh keluarga besarnya. Ya ... seluruh orang yang berada di rumah dengan luas yang tidak seberapa itu.
Seluruh saudara sang ibu memilih untuk tinggal di rumah orang tuanya, sama seperti Kejora dan ibunya yang masih menumpang tinggal di bangunan tua itu. Butuh tenaga yang cukup besar untuk menyiapkan makanan, tetapi Kejora tidak berani untuk mengeluh.
Hanya ada Kejora sendiri di dapur pagi ini. Biasanya, wanita tua renta yang ia panggil nenek membantunya memasak, tetapi kali ini tidak. Neneknya sejak tadi malam terus mengeluhkan sakit kepalanya yang tidak kunjung reda.
"Mungkin nenek masih sakit!" batin Kejora sembari mengamati pintu kamar sang nenek yang masih dapat terlihat dari dapur.
Jemari Kejora lihai memainkan peralatan dapur. Sembari menunggu masakannya matang, perempuan itu mencuci piring yang menumpuk. Begitulah keseharian Kejora setelah ia menyelesaikan pendidikan terakhirnya yaitu sekolah menengah atas dua tahun silam.
Tentu Kejora tahu dengan baik bahwa dirinya saat ini dianggap tidak lain seperti pembantu belaka. Namun, dirinya tidak mempermasalahkan hal tersebut. Ketimbang harus mendengar ocehan dari saudara sang ibu, Kejora lebih memilih untuk menjadi 'pembantu' mereka saja.
"Makanan sudah siap, piring sudah, beres-beres sudah," gumam Kejora.
"Ok, saatnya mandi!" seru Kejora.
Seusai membersihkan dirinya, Kejora kembali ke dapur untuk menyantap sarapannya. Keluarganya tidak kejam seperti drama-drama di televisi yang tidak menyisakan makanan untuk dirinya. Kejora juga enggan memakan makanan sisa dari orang lain, pastinya mereka tidak memberi Kejora makanan sisa.
Mau sebenci apapun mereka pada Kejora, perempuan muda tersebut tetap memiliki darah serupa dengan mereka yang mengalir di tubuhnya. Hati nurani mereka, masih belum mereka hilangkan.
Terdapat tiga orang bibi dan dua orang paman dari Kejora yang tinggal bersama dirinya saat ini. Salah satu bibinya adalah janda mati. Jadi, dua orang pamannya yang adalah adalah suami dari bibinya yang lain, yaitu bibinya nomor dua dan nomor tiga.
Kedua anak dari bibinya yang nomor satu sekarang sudah bekerja di kota. Salah satu anak tertua dari bibinya yang nomor dua tengah kuliah di kota juga. Lalu, anak tertua dari bibinya yang ketiga juga berada di kota untuk menyelesaikan pendidikannya.
Hanya Kejora-lah satu-satunya anak yang paling besar saat ini di rumah. Tiga sepupunya yang lain masih sangat kecil, bahkan ada yang baru berusia satu tahun.
Setelah mengisi perutnya dengan benar, perempuan baik hati tersebut membawakan sepiring nasi beserta dengan lauknya ke kamar neneknya, tak lupa ia juga membawakan segelas air minum. Kejora melihat wanita itu tengah memejamkan matanya, tubuhnya yang sudah tua tampak lemah di tempat tidur.
Melihat pemandangan tersebut, Kejora enggan membangunkan sang nenek karena enggak menganggu perempuan muda tersebut meletakkan makanan beserta minuman di atas nakas yang terletak di samping tempat tidur sang nenek.
Perempuan yang terlihat sama sekali tidak kecapaian tersebut, bergegas masuk kembali ke dapur. Kedua tangannya dipenuhi oleh makanan dan minuman. Kini, Kejora mengantarkannya kepada sang ibu.
"Bu, makan dulu ya!" ajak Kejora saat ia sudah sampai di tempat ibunya.
Hati Kejora sakit seperti disayat sembilu saat melihat kedua lengan ibunya diikat di tiang rumah, seperti orang yang melakukan dosa besar.
Perlahan Kejora memasukkan tangannya ke dalam mulut wanita tersebut untuk menyuapinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Tegar
RomanceTerlahir dari rahim seorang wanita yang memiliki keterbatasan, buah dari nafsu lelaki bejat yang tak bertanggung jawab menjadikan hidup Kejora penuh hinaan dan cacian. Selalu diperlakukan berbeda oleh keluarga besar, memaksa gadis malang itu untuk t...