Auntumn shows us how beautiful it is to let things go....
Iris mata kutujukan pada jam dinding yang lagi-lagi bergaya shabbychic dengan bunga-bunga kecil di sekitar lingkarannya, aku ingat betul perihal jam antik itu, sebab aku berdebat dengan Seulmi sebelum membelinya di kringloopwinkel Delft, sebuah toko barang bekas di Rotterdamseweg favoritnya. Kami berdebat karena menurutku cukup sudah rumah ini dipenuhi dengan barang shabbychic Seulmi sementara aku menginginkan tema interior yang lebih minimalis, tapi lagi-lagi aku kalah berdebat dengannya karena harga jam itu hanya senilai lima euro saja.
Ngomong-ngomong soal jam dinding, sudah pukul enam pagi sekarang dan kurasa sudah wajar jika aku keluar rumah untuk membeli secangkir kopi di kedai favorit kami. Kedai ini letaknya tak begitu jauh dari rumah kami, sebuah kedai kopi kecil yang hangat tempat pertama kali aku dan Seulmi berkencan setelah kami resmi menikah.
Aku enggan membangunkan istriku, sebaiknya biarkan saja ia terbangun sendiri nanti. Aku beranjak meraih mantel favoritku, suhu dengan minus empat derajat di penghujung bulan oktober jelas akan membunuhku jika aku melupakan benda satu ini untuk kukenakan.
Aku dan Seulmi bukan tak memiliki seperangkat peralatan untuk mengolah biji kopi di rumah, jika kujejerkan semua mungkin dapur kami akan lebih terlihat seperti lab kimia di sekolah dari pada dapur konvensional. Tapi rasa dan aroma dari kedai kopi itu jelas selalu lebih menggiurkan dari pada kopi olahan kami sendiri, kami bahkan sempat berpikir bahwa kedai itu sebenarnya memakai sejenis narkotik agar pembelinya merasa ketagihan dan bahkan kami sampai berpikir bahwa mereka memakai sesuatu yang bersifat magis, tapi jelas itu hanya hiperbola aku dan Seulmi saja.
Lagi-lagi aku bergidik saat angin pagi di cuaca seperti ini menyentuh tengkukku, rasa-rasanya aku ingin segera membalikkan badanku untuk berbaring di bawah selimut lagi besama Seulmi kemudian memeluknya sampai betulan tertidur.
Tapi tentu saja itu tak kulakukan, aku memang berniat memberikan Seulmi secangkir kopi yang ia sukai saat bangun. Yah aku memang seromantis itu sih, lagipula hal-hal sekecil itu kurasa tak bisa disandingkan dengan pengorbananannya saat melahirkan anak pertama kami dulu.
Sepanjang perjalananku menuju kedai itu aku mengingat kembali kenangan pertama kami di sana, dan seulas senyum tersungging di bibirku tiap kali aku mengulang memori itu di kepalaku. Aku ingat betul saat kami menjadi pusat perhatian ketika aku mencoba mempraktekkan adegan romantis dari drama Korea yang pernah kami tonton bersama, yaitu adegan dimana si aktor utama laki-laki menuduh si wanita sengaja meninggalkan krim di ujung bibirnya agar dapat membuat si pria otomatis membersihkan krim itu dengan tangan, namun aih-alih membersihkan krim dengan tangan si pemeran utama laki-laki ini malah membersihkan krim itu dengan bibirnya dan mereka berciuman.
Itu adalah rencana awalku, entah kebetulan atau tidak ada krim yang tersisa di ujung bibir Seulmi, lalu sesuai dengan dialog yang ada dalam drama tersebut aku menuduh Seulmi melakukannya karena memiliki niat agar aku menciumnya. Lalu hal yang menyebalkan adalah ketika Seulmi tiba-tiba menghapus krim di bibirnya satu detik sebelum bibirku mendarat di bibirnya lantas ia menertawakanku, ia bilang ia sudah bisa membaca rencanaku untuk merealalisasikan sebuah drama dalam kehidupan nyata maka ia akan menghancurkannya.
Tapi bukan Park Jimin namanya kalau tidak bisa membalas perbuatannya itu, saat itu aku ingat sekali bahwa aku sangat kesal lantas memaksanya untuk melakukan reka ulang adegan dengan menaruh krim kembali di bibirnya lalu aku menciumnya, tentu saja Seulmi tidak setuju dengan permintaan konyolku. Ia meronta menolakku dan alih-alih kami melakukan adegan romantis ala drama aku malah jadi terlihat seperti pria mesum yang memaksa mencium seorang wanita.
Lalu setelah kami menimbulkan sebuah keributan, si pemilik kedai mengusir kami berdua.
KAMU SEDANG MEMBACA
P(A)NDORA - Auntumn
FanfictionAuntumn exists To remind us That things must end To begin again