Auntumn killed the summer with the softest kiss...
Tak tahan lagi dengan suhu di luar aku bergegas melangkah masuk ke dalam rumah lantas menuju kamarku kembali setelah memastikan bahwa Jiwoon belum terbangun, kami membiarkannya tidur agak larut semalam karena hari ini ia libur bersekolah. Di ambang pintu aku melihat sesosok tubuh yang sangat kukenali meski hanya dengan menatap kaki jenjangnya saja tengah terduduk di atas ranjang kami yang masih berantakkan. Menatap lamat ke arah matahari yang tertutup awan melalui jendela besar di hadapannya, aku menyunggingkan kedua sudut bibirku sudah bangun rupanya dia. Aku penasaran dengan apa yang ia lihat maka kuhampiri dia dengan diam-diam sebisa mungkin agar ia tak menyadari keberadaanku.Tapi saat pandanganku terpaku ke arah dimana ia menunjukkan bola matanya, aku tak menangkap benda optikal apapun selain awan mendung yang bergerak kesana-kemari. Aku memutuskan untuk bersimpuh di hadapannya mencoba menjajarkan wajah kami agar mata kami dapat bertemu, aku tersenyum tapi ia tampak lesu.
"Halo cantik... selamat pagi!" aku mencoba menyapa seperti biasa namun tak ada senyuman yang nampak pada parasnya, alisku kontan bertautan menangkap ekspresinya yang masih saja sendu seperti akhir-akhir ini dan aku tak suka itu. Yang aku inginkan sederhana saja, bicara jika memang ada sesuatu yang hendak dibicarakan, aku bukan sosok suami yang tak mau mendengar.
"Kau kenapa sayang, apa kau tak enak badan?" aku mencoba mengajukan pertanyaan yang kurasa relevan berharap kali ini aku mendapat jawaban, rasanya aneh Seulmi seakan mengabaikanku dan masih saja tenggelam dalam lamunannya.
"Sayang?" aku menekan pelipisnya untuk memastikan suhu badannya, tapi suhu badannya kurasa normal saja.
"Aku ingin bicara, sudah lama aku ingin membicarakan ini denganmu, tapi aku takut jika seseorang melihatku mereka akan menganggapku sudah gila!" jawabannya sedikit mengejutkanku, suaranya terdengar bergetar. Maka aku terdiam, hanya memberikan isyarat nonverbal untuknya agar ia terus berbicara dengan sebuah anggukan kecil. Aku tentu tak akan menganggap istriku gila, sampai kapanpun bahkan ketika seisi dunia menganggapnya begitu.
"Entah sebenarnya siapa yang keras kepala, kau atau aku? Aku masih dengan jelas dapat merasakan kehadiranmu di sekitarku, di ruangan ini bahkan di depanku sambil memandangiku dengan cemas saat ini Park Jimin!" dadaku serasa teriris menangkap riak di bola matanya, sejujurnya aku paham perkataan Seulmi itulah yang membuat perasaanku jadi tak karuan.
"Aku tahu sudah seharusnya kau berbahagia saat ini di tempat yang lebih damai tentunya, tapi aku ragu kau telah memilih jalan yang damai itu karena kau sama keras kepalanya seperti aku, juga rasa khawatirmu yang berlebihan terhadap semua orang yang kau tinggalkan Jim!" kali ini ada semburat senyum di bibirnya, mungkin ia tengah mengenangku sebab suaranya mulai tercekat.
"Jika benar kau memang ada disini tidakkah kau melihat bahwa aku dan Jiwoon kini hidup dengan baik? Yah setidaknya kami sudah mencoba, kau tahu kenapa? Ini semua karenamu Jimin!" aku tertegun, tentu saja aku melihat mereka hidup dengan baik, hanya saja butuh waktu lama bagiku untuk menyadari bahwa mereka akan tetap meneruskan hidup meski tanpa aku. Bodohnya aku, padahal aku tahu betul pasangan hidup yang kupilih ini justru terpilih karena tegar adalah salah satu sifatnya yang kukagumi.
"Aku dan Jiwoon benar-benar kehilanganmu.... sungguh, tapi kurasa anak kitapun menginginkan kau berada di tempat yang layak Jim. Apa yang kau tinggalkan sudah cukup untukku dan Jiwoon, kasih sayang dan cintamu...semuanya!" Aku menghela nafasku yang entah kenapa kalau selama ini terasa begitu berat kini terasa ringan, bebanku seolah menguap.
Aku tahu ini adalah waktu terakhirku tiba.....
"Aku tak akan pernah melupakanmu Jim tak akan pernah dan dapat kupastikan Jiwoon tumbuh dengan cinta yang sangat besar untukmu selalu, kami akan baik-baik saja!" kalimat terakhirnya menyadarkanku bahwa tak ada lagi hal yang bisa kujadikan alasan untuk tetap berada di sini, aku harus pergi. Kukecup keningnya dalam, sempat terpikirkan olehku mungkinkah kali ini ia juga merasakan permukaan bibirku pada keningnya sebab isakannya terasa semakin tertahan dan pilu.
"Ini adalah tangisan terakhirku, aku berjanji Park Jimin!"
FIN
KAMU SEDANG MEMBACA
P(A)NDORA - Auntumn
FanfictionAuntumn exists To remind us That things must end To begin again