Es Serut Salju

10 2 0
                                    

I notice that auntumn is more the season of the soul than of nature....

Aku berjalan di atas aspal yang sepagi ini telah rampung dibersihkan dari guguran daun yang menumpuk, jika dibiarkan daun-daun itu akan menebar aroma apek yang membuat pembauan terasa tak nyaman.
Aku cukup kagum dengan para pasukan pembersih jalanan kota, tak terbayangkan jika aku menjalani profesi mereka, entah jam berapa aku harus bangun agar bisa segera menyelesaikan tugasku sebelum orang lalu-lalang menjalanankan rutinitas mereka.

Aku mengencangkan mantelku berharap angin yang menusuk ini sedikit terhalau, nafasku mulai beruap dan hidungku sudah mulai beku rasanya, aku mempercepat laju langkahku berharap bisa secepat mungkin sampai di kedai sebelum paru-paruku benar-benar membeku. Tapi aku jadi sedikit kesal, kedai yang seharusnya bisa menyajikan kopi yang dapat menghangatkan pagi kami ternyata tutup, aku benar-benar lupa bahwa pemiliknya sedang pergi keluar kota untuk melaksanakan pernikahan anak mereka.

Yah baiklah aku tak punya pilihan lain selain kembali ke rumah dengan tangan kosong, paling tidak aku telah berusaha untuk menyenangkan istriku. Mungkin nanti saat sampai di rumah aku membuatkan saja sarapan untuknya.

Aku menatap gundukan daun ginko yang menumpuk di pekarangan rumahku, sepertinya sore ini aku harus bekerja keras untuk menyingkirkan mereka sebelum mereka benar-benar membeku dan membuat Jiwoon tergelincir saat berjalan disana. Anak berusia tujuh tahun sangat sulit untuk disuruh diam kalian tahu itu dengan pasti kan.

Aku selalu menganggap perkatangan rumahku ini adalah perwujudan nyata taman bermain peri, sungguh aku tak berlebihan. Tanah yang tak begitu luas ini selalu berubah warna tiap kali musim berganti, ia akan menjadi begitu warna-warni dengan bunga Keunkenhof bermekaran disana-sini saat musim semi hingga musim panas, pertengahan bulan April adalah yang terbaik.

Lalu perkarangan ini akan berubah menjadi berwarna keemasan saat musim gugur tiba karena dari pohon ginko yang entah sejak kapan tertanam di sini mulai jatuh. Tapi di antara semua itu, musim dingin tak kalah cantik meski memberikan perkarangan ini kesan yang suram dengan warna putih salju.

"Ayah..ayah kesini!" Jiwoon melambaikan tangan padaku, aku tersenyum sumringah, sekejab rasa lelahku setelah seharian bekerja langsung menguap entah kemana jika aku melihatnya. Jiwoon kecilku mirip sekali denganku, dia memiliki dua gigi kelinci yang membuat kami sama-sama ehem...imut.

"Ada apa Jiwoon?" aku menghampirinya yang nampak sibuk dengan bola-bola salju yang ia bentuk.

"Lihat aku membuat es serut dari salju, yang ini rasa Strawberry untuk ayah!" Jiwoon menyerahkan sebongkah salju yang dibentuk dengan bentuk yang tidak mendekati bola tapi juga tidak mendekati kubus. Intinya bola salju ini tak berbentuk.

"Kalau punya Jiwoon rasa apa?" aku mencoba mengikuti saja khayalan anakku, sebenarnya seru juga terkadang mengikuti permainan Jiwoon.

"Banana!" aku tersenyum, pisang memang buah kesukaan Jiwoon, ia tak mau makan jika tak ada pisang di meja makan.

"Hmm...enak sekali, milik ayah manis lho dan masam seperti strawberry!" Jiwoon tersenyum mendengar perkataanku yang sesuai dengan keinginannya, matanya menghilang seketika jika sedang tertawa.

"Ibu...ibu coba ini!" aku meraih satu bola salju dan kuhampiri Seulmi yang saat itu baru saja kembali dari toserba. Dengan bingung ia menjumput salju di tanganku. Dan ia memakan sedikit dengan wajah ragu-ragu.

"Bagaimana rasanya bu?" aku bertanya dengan antusias seperti Jiwoon yang tak kalah antusiasnya.

"Rasa salju!" jawab Seulmi sekenanya, dan Jiwoonpun menangis sekencang-kencangnya.

P(A)NDORA - AuntumnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang