CHAPTER ZERO

195 26 4
                                    


CHAPTER ONE :

the sun shining only for him !

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

the sun shining only for him !

"When in eternal lines to time thou growest: So long as men can breathe or eyes can see, So long lives this, and this gives life to thee!"

Sang Kakak memekik ketika bait terakhir puisinya terucap. Pekikannya hampir membuat seorang pemuda yang sedari tadi berdiri, menunggunya selesai membaca puisi melompat dari tempatnya.

"Aku bingung mengapa mas suka sekali dengan puisi itu."

Mendengar komentar tersebut, sang pemuda yang baru saja menyelesaikan puisinya menoleh dan akhirnya sadar Adik laki-lakinya sudah pulang sedari tadi. Tangannya yang masih memegang erat buku bersampul kulit coklat dengan judul yang dijahit itu seketika bergerak untuk memeluk pemuda bersurai pirang yang baru saja sampai di rumah.

"Janitra! Adikku!"

Janitra tersenyum lembut, membalas pelukan erat sang Kakak, sedangkan dua wanita yang duduk tak jauh dari keduanya melihat dengan binar dan tersenyum manis. Keempatnya berkumpul di teras belakang rumah yang luas dengan empat kursi, satu kursi goyang, dan meja bundar dari kayu jati. Halaman dengan ayunan dan pepohonan tinggi tertera di depan teras tersebut.

"Kemarilah anak Ibu," Ucap salah satu wanita yang memiliki surai pirang dan kulit putih kemerahan sepertinya.

Janitra dengan senang hati berjalan mendekati wanita yang ia panggil Ibu tersebut. Ia memeluknya dan membiarkan sang Ibu menepuk pundaknya beberapa kali. Lalu Janitra kembali bangkit berdiri, ia melihat ke sosok wanita dengan kulit nila dan wajah yang ayu tersenyum padanya di kursi goyang.

Senyum kecil terbit di wajah Janitra, ia mendekat perlahan dan memeluk sang wanita. Ia bisa merasakan bahan kebaya dan juga kain yang disampirkan di bahu wanita tersebut.

"Janitra sudah makan siang?" Suara serak lembut itu menyapa Janitra setelah ia melepas pelukan.

Tangan wanita berdarah asli Jawa di depannya bergerak meremas lengannya yang tak tertutup kemeja lengan pendek. Janitra terkekeh lalu mengangguk.

"Sudah, Bu Fatma."

Tangan Janitra bergerak untuk menyisir surai pirangnya ke belakang, gigi putihnya muncul pada saat ia memamerkan senyum lebar. Sebuah senyuman khas yang hampir dimiliki oleh semua keturunan di Keluarga Lakeswara. Matanya bisa melihat wanita di depannya mengangguk maklum karena ia masih memanggil beliau dengan sebutan 'Bu Fatma'.

"Duduk lah disini, Janitra," Ajak Kakaknya menepuk tempat duduk di sebelahnya.

Janitra duduk di kursi tersebut, membiarkan punggungnya yang sedikit pegal akhirnya beristirahat. Ibunya menuangkan secangkir teh jasmine lalu menggeser cangkir tersebut pada Janitra. Seperti biasa, pemuda itu mengangkat cangkir tersebut dengan elegan lalu menghirup wangi teh dengan begitu khikmat, sebelum menyesapnya dan membiarkan cairan manis itu menyapa tenggorokannya yang kering.

Diorama Cinta Tempo DoeloeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang