Haruka Syahira

4 0 0
                                    

"Aku pikir kehidupanku akan selalu terlihat sempurna, namun ternyata aku hanyalah seorang gadis yang terlalu banyak berharap tinggi, sementara kenyataan itu tak seindah harapan yang aku inginkan."

                              ***

Predikat cinta pertama bagi  anak perempuan akan selalu jatuh kepada sang Ayah. Mayoritas dari mereka selalu menuruti semua ucapan dan tindakannya,  dan berada dalam dekapan sosok tegap itulah yang selalu membuat hidup ini aman dan tenang.
Begitu pula dengan seorang gadis remaja berusia 16 tahun, selama dia hidup sosok Ayahlah yang selalu menjadi panutannya. Bukan berarti dia membenci Ibunya. Tidak, kalian salah besar. Kehidupan gadis itu bahkan terbilang sangat  sempura, kedua orang tuanya saling mencintai dan menyayangi gadis itu.
Haruka Syahira namanya, dia termasuk sosok yang periang dan juga  ramah. Memiliki darah jepang yang diturunkan oleh Ayahnya, Omera Masayuki. Meski begitu rupanya hampir seratus persen menuruni darah Ibunya, Sunda.
Haruka adalah seorang gadis manis yang tengah menempuh pendidikan di Kota Bandung. Lahir sebagai anak tunggal tak membuatnya menjadi gadis manja, karena sejak kecil Ayahnya selalu mendidik dirinya dengan tegas. Kelembutan sifat Ayahnya menurun pada Haruka, gadis itu menjelma menjadi seorang  yang lemah lembut dan santun. Ibunya, Mahera. Adalah seorang guru honorer di sekolahnya, sementara Ayahnya bekerja di salah satu perusahaan milik kerabatnya di Kota Jakarta.
"Dad, Hasya boleh tidak ikut Daddy ke Jakarta?"
Hasya adalah panggilan kesayangan keluarganya untuk Haruka.
"Boleh dong," ucap Ayahnya. Tangan perlahan mengelus helaian rambut panjang anak gadisnya dengan lembut.
"Asik beneran ya, Dad?" tanya Haruka memastikan.
Melihat sikap anaknya, Omera pun tak bisa menahan senyumannya.
"Iya, sayang. Daddy pasti akan membawa kamu sama Ibu."
Haruka akhirnya bernafas lega. Dia sangat penasaran dengan Kota Jakarta, menurut teman-temannya yang sering kesana. Jakarta adalah kota metropolitan dimana gedung-gedung Saling berjajaran dan menjulang tinggi ke atas.
"Mau apa kamu kesana?" seorang wanita paruh baya menghampiri Ayah dan Anak yang sedang bercengkraman.
"Mau lihat monas!" jawab Haruka asal.
"Jangan ganggu pekerjaan Daddy lagi, sana kamu ke kamar!" Ibunya memberi perintah, tetapi Haruka tetap pada posisi awalnya, yaitu bersandar di bahu Ayahnya.
"Hasya!" Ibunya memberikan peringatan.
"Enggak mau, aku bosan di kamar terus." Haruka kembali membantah.
"Biasanya seharian kamu betah di kamar nonton drama korea," seru Ibunya.
"Kemarinkan Daddy belum pulang, Mom."
"Hasya!"
"Apa Mommy?"
"Sudah berapa kali ibu bilang sama kamu, jangan panggil ibu, Mommy!" ucap ibunya dengan kesal.
"Kenapa sih Ibu enggak mau dipanggil Mommy? Kan biar sama seperti Daddy?" Haruka bertanya dengan penasaran.
"Enggak suka aja!"
"Iya alasannya kenapa? Harus jelas dong, iya kan Dad?" ucap Haruka meminta dukungan pada Ayahnya.
Sementara Omera hanya tersenyum geli melihat perdebatan antara istri dan anaknya itu.
"Ingat ya, Hasya harus jadi anak berprestasi dan membanggakan Ibu dan Daddy.' Ayahnya membuka suara setelah melihat keduanya terdiam.
"Pasti dong, Dad. Hasya kan pengen sekolah ke Harvard." ucap Haruka dengan bangga.
"Anak Daddy pasti bisa pergi kesana." Haruka mengaminkan ucapan Ayahnya dalam hati. Gadis itu selalu berharap impiannya bisa tercapai dengan mudah.

***
Liburan semester genap sudah hampir tiba. Haruka tak sabar dengan kepulangan Ayahnya kali ini.  Janji yang tiga minggu lalu Ayahnya ucapkan masih tersimpan di benaknya dengan baik. Dan gadis itu menunggu Ayahnya datang menjemput.
"Haruka, kamu mau menghabiskan liburan dimana?" Salah seorang temannya datang menghampiri.
Haruka yang sedang menggambar sebuah gedung pun menghentikan aktifitasnya, gadis itu menoleh pada sumber suara.
"Eh kamu Icha," ucap Haruka dengan senyum ramahnya.
"Aku belum tahu mau kemana, kalau kamu?"
"Aku kayaknya mau ke Jogja, menjenguk Oma." Jawab Icha.
Haruka menganggukan kepalanya, lalu tangannya kembali menggambar sebuah gedung yang belum rampung dia kerjakan.
"Kamu jago menggambar ya?" tanya Icha saat melihat ketelitian Haruka dalam mencoret kertas putih bersih itu.
"Enggak juga, aku cuma suka aja." jawab Haruka.
"Tapi hasil gambaran kamu bagus banget, aku pernah lihat di mading soalnya."
"Oh itu cuma kebetulan aja, Cha." ucap Haruka.
"Boleh enggak gambar itu buat aku?" tanya Icha menunjuk pada kertas yang sedang dikerjakan Haruka.
"Kamu mau?"
Icha mengangguk spontan.
"Baiklah besok aku berikan, ya!" ucap Haruka.
"Terima kasih Haruka." Icha pun memeluk tubuh mungil Haruka.
***
"Ibu, aku pulang!" Haruka membuka sepatunya dan masuk kedalam rumah. Saat hendak mengambil minum di dapur, suara pecahan barang terdengar di lantai atas. Dengan cepat Haruka berlari ke sumber suara. Tubuhnya bergeming di depan pintu kamar orang tuanya. Jantungnya berdetak dengan cepat saat melihat semua barang-barang tergeletak dilantai. Ibunya menangis sesegukan.
" Aku selama ini sudah berusaha sabar menghadapi kamu, tapi kamu malah seenaknya berbuat seperti ini padaku. Kamu tega selingkuhin aku!"
Haruka terkejut mendengar perkataan ibunya , apakah Ayahnya setega itu?
"Hera sudah aku bilang, perempuan itu rekan kerjaku." ucap Omera dengan menahan emosi.
"Bullshit!"
"Asal kamu tahu aja, ini bukan kali pertama aku mergokin kamu selingkuh. Sebelum-sebelumnya aku pernah melihat kamu pergi ke hotel bersama perempuan lain, tapi aku diam karena saat itu hatiku masih dibutakan oleh cinta."
"Tapi, untuk sekarang maaf aku tak bisa lagi mempercayaimu."
"Jadi kamu sudah tak mencintaiku lagi?" Omera bertanya dengan kasar.
"Iya." jawab Mahera dengan lantang.
"Baik, mulai hari ini kita berpisah."
Haruka yang mendengarnya pun  terkejut, kakinya tak bisa lagi menopang berat badannya. Dan akhirnya tubuh mungilnya pun meluruh ke lantai.
"Hasya!" Omera terkejut saat melihat kehadiran anaknya.
"Daddy ini bercandakan? Tolong jelaskan padaku." Haruka mengguncang tubuh Ayahnya dengan tangan gemetar.
"Maafin Daddy  ya sayang, karena tak bisa menepati janji padamu."
"Jaga diri baik-baik ya, nak!" Omera mengecup dahi Haruka dengan lama. Lalu perlahan tubuh tegap lelaki itu  berjalan dengan sebuah koper ditangannya.
"Daddy!"
Namun lelaki paruh baya itu seolah menutup gendang telinganya. Haruka tak kuasa menahan air matanya yang  mengalir dengan deras. Keluarga yang sebelumnya dia anggap sempurna kenapa bisa berantakan seperti ini.
Seolah mimpi buruk, Haruka ingin kembali terbangun dari tidurnya. Tetapi melihat kerapuhan Ibunya yang sedang menangis membuatnya tersadar bahwa ini bukanlah sebuah mimpi, ini kenyataan pahit yang harus diterima keluarganya.
"Maafin ibu ya, Nak." Haruka dengan sigap memeluk tubuh ringkih ibunya.
"Maaf karena telah membuatmu kecewa pada kami, maaf karena sudah membuat mimpimu hancur. Maafin Ibu ya sayang!" Mahera terus bergumam dalan pelukan Haruka.
"Ibu jangan seperti ini, aku tidak apa-apa." Kebohongan yang sangat jelas terlihat. Bahkan hatinya sekalipun tak bisa menerima kenyataan pahit ini.
"Sekarang ibu hanya punya kamu, jangan tinggalkan ibu ya!" Haruka tak kuasa menahan tangisannya. Gadis itu mengeratkan pelukan mereka berdua.
"Hasya akan selalu ada di samping ibu."

You Never Walk AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang