Sunwoo merapikan barang-barangnya malas. Berdecak kesal, pasalnya sang Papa meminta untuk pulang. Lagi-lagi acara keluarga— entah pertemuan untuk apa, Sunwoo tak peduli.
Ini masih jam dua siang setelah pulang sekolah, dan Eric sekarang sedang nyaman-nyamannya tidur siang— kan Sunwoo ingin temani.
Jika ada orang yang mengganggu Eric bagaimana? Kan Sunwoo nantinya tidak ada di sana.
Mendengus malas ketika ponselnya memunculkan notifikasi pesan Papa yang menyuruh agar Sunwoo cepat datang. Padahal janjiannya saja masih malam, namun Papa memaksa Sunwoo untuk bersiap-siap sekarang.
Menatap Eric yang masih tertidur nyenyak membuat Sunwoo tak tega untuk meninggalkan.
Matanya memejam erat dan napas yang teratur membuat Sunwoo terdiam sejenak memandangi wajah yang kurang ajarnya membuat jantungnya berdebar. Sial, padahal kan belum sebulan bertemu— kenapa dia sudah kagum pada sosok manis yang ia temui?
Dan kenapa dari sekian banyaknya manusia yang hadir disekeliling Sohn, malah pemuda manis itu mendapat perlakuan tak baik?
Apa mereka tidak kasihan dengan rapuhnya hati Eric saat disakiti?
Melihat guratan kasar ditangan; luka hari lalu, juga dahi, ataupun kaki— membuat Sunwoo termenung di sini. Sudah lama Eric merasakan ini, berulang kali.
Dan ia masih mampu berdiri, menapakkan kaki, tanpa peduli disakiti lagi.
Apa Sunwoo tak malu, saat teringat ia merasa jadi sosok yang paling tersakiti saat Papanya sudah melempar kata-kata kasar?
Padahal diluar sana ada yang takdirnya lebih buruk, contohnya saja Eric.
Dan selama ini ia sendirian. Tak ada yang mau berteman dengan Sohn kecil. Hanya keluarganya, yang menjadi tempat pulang dan berkeluh kesah.
Sayang, keluarganya sekarang sudah tak pantas disebut keluarga.
Ponsel lagi-lagi berdering membuat Sunwoo berdecak kesal. Memutuskan telepon, lalu beranjak dan membawa tas-nya keluar kamar sebelum menutup pintunya kembali.
Dengan sticky notes kuning yang ditempel sengaja diatas nakas, bertulis ijin Sunwoo pergi maksimal sampai esok hari.
Kalau tak kunjung kembali berarti ia ingkar janji.
-----
Eric menguap lebar. Melirik jam yang terpajang didinding sebelum menoleh bingung sebab kamar inapnya sepi.
Tidak ada Sunwoo.
Tak sengaja mengalihkan pandangan, matanya menatap sticky notes yang tertempel, mengangguk paham, lalu memilih untuk kembali merebahkan diri.
Empat sore, waktunya Eric bersih diri namun rasanya malas. Matanya masih mengantuk dan ia butuh udara segar untuk memulihkan tenaganya.
Beranjak dari ranjang, menggapai kursi roda, Eric perlahan menggerakkan sendiri dengan hati-hati.
Baru saja keluar menutup pintu, Eric dikejutkan dengan kehadiran seseorang di sana.
Bukan, bukan Sunwoo. Namun Yeonwoo, yang sedang mendorong kursi roda entah siapa— seorang ibu yang sama umurnya dengan sang Mama jika masih hidup sampai sekarang— dengan perlahan melewati lorong rumah sakit tanpa sadar kehadiran Eric.
Eric dengan inisiatifnya mengikuti, menggerakkan kursi rodanya sendiri, memperhatikan Yeonwoo yang semakin menjauh.
Lalu tiba-tiba, tanpa sadar Eric menabrak seorang laki-laki bertubuh tinggi, yang sama— menatapnya dengan wajah terkejut membuat Eric buru-buru membungkukkan badannya, menyesal tidak memperhatikan jalan.
“Ah, maaf, saya gak lihat jalan.”
Laki-laki didepan Eric terpaku sejenak, sebelum ia tergagap sadar. “A-ah gak papa, saya juga gak lihat jalan.”
Eric menggigit bibirnya. “Kalau gitu, saya permisi.”
Eric menggerakkan kursi rodanya melewati laki-laki yang masih terpaku tanpa berniat untuk beranjak sedikitpun dari sana. Menjauh, menoleh ke sekeliling, Eric menghembuskan napas berat— kehilangan jejak Yeonwoo yang entah kemana perginya.
Eric memilih menuju ke taman rumah sakit lagi, menghibur diri.
Tanpa tahu, laki-laki yang ditabraknya tadi masih terpaku, memperhatikan Eric yang semakin menjauh— tenggelam dalam keramaian.
“Siapa? Kenapa wajahnya mirip?”
-----
Sunwoo membanting tubuhnya asal ke kursi. Restoran mewah yang ia kunjungi kali ini membuat mood-nya berantakan. Lagi-lagi pertemuan bisnis, Sunwoo muak.
Ia tak paham kenapa ia diajak ke pertemuan yang bahkan Sunwoo tak mengerti sama sekali?
Membahas seputar perusahaan yang tidak ada habisnya, padahal Sunwoo cita-citanya menjadi seorang dokter— ya tentu ia tidak berminat sama sekali untuk urusan bisnis Papanya.
“Sunwoo, jaga etika.”
Teguran sang Mama membuat Sunwoo malas-malasan memperbaiki posisi duduknya. Mama dengan sabar merapikan jas hitam yang Sunwoo pakai, sembari tersenyum tipis.
“Jangan pasang wajah cemberut begitu.”
Sunwoo menghembuskan napas berat. “Harus banget, Mah, kita di sini? Tanpa Sunwoo kan bisa?”
“Lalu kenapa kalau Papa ajak kamu ikut? Apa kamu berencana mau bermain bersama teman-teman nakalmu itu? Yang diantara mereka bergaul dengan bebas?”
“Papa...” tegur Mama.
Sunwoo mengalihkan pandangannya malas. “Kalau Papa klaim temen Sunwoo nakal semua, kenapa Papa menyekolahkan Sunwoo di sana?”
“Sunwoo, jangan di sini ya... Nanti di rumah aja. Inget.. Jaga etika,” Mama menegur lagi. Memegang bahu Sunwoo yang naik turun karena marah.
Sunwoo mengusap wajahnya kasar, memilih membuka ponselnya, berniat menghubungi Eric.
“Belum ada tanda-tanda datang ya?”
“Padahal janjiannya kan jam 7 ya, Pah?”
Papa mengangguk, memperhatikan sekeliling, sebelum tersenyum menatap satu arah sembari merapikan jasnya. “Nah, mereka sudah sampai.”
Tiga orang menghampiri, Sunwoo tak peduli. Mama yang terus-terusan menegur tak Sunwoo gubris sama sekali.
Papa berjabat tangan, mempersilakan tamunya duduk. Hingga Sunwoo rasakan seseorang di sebelahnya, mengisi kursi— memperhatikan Sunwoo sembari tersenyum tipis.
“Jadi kita awali bagaimana?”
“Apa langsung ke intinya saja?”
Sunwoo mendongak. Inti apa? Pertemuan bisnis biasanya tidak seperti ini?
Menangkap raut wajah bingung Sunwoo, sang Papa tersenyum seolah bangga dengan keputusannya kali ini.
“Tidak usah berlama-lama. Langsung kita bahas tentang perjodohan Sunwoo dan Jia saja.”
—
udah masuk ke inti cerita,
masalahnya kali ini agak rumit,
tapi gapapagimana ini sunric bisa jadian apa engga?
:(
KAMU SEDANG MEMBACA
limerence, sunric
Fiksi Penggemarsunwoo punya cara tersendiri untuk memikat hati eric. ©2021.