Sebulan berlalu, setelah kejadian malam mengerikan itu, kondisi Ayra kembali pulih setelah dirawat selama beberapa pekan di rumah sakit. Luka menganga di kepalanya pun perlahan mulai mengering. Terbesit perasaan lega di hati Asya, namun juga tercampur aduk dengan perasaan-perasaan yang lain, perasaan lain yang membuat wanita itu dilema.
Fisik Ayra memang membaik, tapi tidak dengan peringai gadis cilik itu sendiri. Peringai gadis itu semakin aneh. Bukan hanya sekedar aneh, melainkan juga gadis itu seperti seorang yang anti sosial. Ia tak mau berbaur dengan siapapun, bahkan dengan ibunya sendiri. Ia selalu asik dengan dunianya. Entah dunia apa yang ia temukan, atau yang ia buat sendiri tersebut. Tapi yang pasti, karena itu Ayra menjadi orang yang mempunyai sisi lain dalam dirinya.
"Mama ... Ira capek, Ma," rengek Ayra dengan wajah kuyu, tak bersemangat bagai seorang yang baru saja melakukan aktifitas berat yang menguras tenaga.
"Capek kenapa sayang? Ira kenapa?" Terlihat raut kebahagiaan, juga kecemasan yang mendalam di wajah Asya. Ia merasa bahagia, karena Ayra mau mengajaknya bicara, walau hanya sepatah kata yang beberapa bulan belakangan ini, jarang di dapatnya. Namun wanita itu juga cemas, karena melihat wajah kuyu putrinya yang tampak lebih pucat beda dari biasanya.
Dengan manja dan sedikit rengekan, Ayra menaiki ranjang empuk ibunya, dan langsung memeluk erat tubuh yang selalu berusaha melindungi dirinya itu. Tanpa disadari Asya, sebutir cairan bening mencuat dari pelupuk mata indah gadis ciliknya. Tapi sedetik kemudian, tetesan bening itu berganti dengan senyum aneh, yang lebih menyerupai seringai dari bibir mungil Ayra.
"Ayra pengen nunjukin sesuatu, ke Mama. Sini, Ma! ikut sama Ira," seru Ayra, yang langsung menggandeng ibunya.
"Kita mau kemana, nak?" Tanya Asya, saat Ayra mulai menuntun jalannya.
"Ikut aja, Ma,"
"Mama ... ayo main, mau kan?" Ajak Ayra dengan tersenyum aneh, saat mereka berdua telah duduk manis, di atas ranjang kecil milik Ayra.
"Main? Katanya Ira capek, kenapa malah mau main?"
"Ayolah, Ma, temenin Ayra!"Asya tersenyum, melihat anaknya merengek meminta untuk ditemani.
"Baiklah sayang. Ayo, kita mau main apa?"
Ayra kembali tersenyum. Namun senyumannya tak biasa. Bukan hanya senyuman, tapi tatapan yang di layangkan untuk ibunya pun tampak tak biasa.
"Tapi, Mama harus tutup mata dulu,"
Tanpa diminta untuk kedua kali, Asya dengan senang hati menuruti semua yang di mintakan buah hatinya tersebut.
"Jangan dibuka ... sebelum Ayra suruh, ya, Ma!"
Ayra pergi, meninggalkan mamanya seorang diri di kamar dengan mata masih terpejam. Selang beberapa menit berlalu, Ayra kembali membawa sesuatu di tangan mungilnya.
"Sekarang buka matanya, Ma!
Nahas! Belum sepenuhnya mata Asya terbuka, sesuatu yang tajam berhasil mengiris tenggorokkannya.
"Aaaakkk!"
Jeritan tertanahan Asya yang terdengar kesakitan menggema, setelah Ayra--anak yang di cintainya menggores tenggorokkannya dengan sebilah pisau daging, yang didapatnya.
"A-ap ...," Asya sudah tidak bisa berkata apapun karena darah yang terus merembes keluar, dari sela-sela robekan di lehernya. Hanya keringat dan ketakutan yang menghiasi wajahnya sekarang. Ayra menyeringai, mendekati Asya yang sudah lemas kehilangan banyak darah. Detak jantung yang semakin lemah serta pandangan yang mulai kabur, membuat Asya tidak bisa berbuat apapun. Dia tidak percaya melihat gadis kecil yang di lahirkan, dan dibesarkannya dengan penuh kasih sayang itu, berubah layaknya iblis.
"Permainan selesai, mamaku sayang," bisik Ayra sebelum ia menancapkan kembali, pisau ke leher Asya. Seketika itu juga, Ayra telah menjadi malaikan kematian, bagi ibunya sendiri.
"Hahahahaha..." Ayra tertawa gila, seperti lerasukan sembari mencincang tubuh ibu kandungnya sendiri. Setelah puas bermain dengan tubuh ibunya, lamat-lamat Ayra melihat sosok gadis kecil sebayanya, yang selama ini telah menjadi sahabat tak kasat mata dengannya tersenyum sembari melambaikan tangannya.
"Aurel?" Panggil Ayra lembut.
"Iya, Ayra, ini aku. Dengan begini, tidak ada lagi yang bisa mengganggu dunia kita berdua," ujar sosok yang dipanggil Aurel itu.
Ayra tersenyum menghampiri Aurel, mereka bergandengan tangan, dan menghilang di kegelapan, meninggalkan Asya dengan kondisi yang mengenaskan.
Tamat...
Akhirnya selesai juga. Yeeeee... xD
Oke guys thanks udah berkenan baca. Jangan lupa vote ya. Oh iya. Cerita ini hasil duet pertama saya dan Sahabat saya Negibberae Queen a.k.a Acha pesek :v Makasih buat dia yang udah bikin cerita semakin keren. Coment di tunggu ya. Sampai jumpa di lain waktu. Pay paaay.... *di gebukin