Ini bukan pertama kalinya Jungwon terbangun karena suara-suara dari dapur.
Akan tetapi, alih-alih pagi hari dimana dia tidak pernah bersahabat dengan sinarnya yang selalu bisa menerobos masuk jendela kamarnya, Jungwon mendapati ia terbangun pukul dua pagi, oleh suara di dapur.
Jauh lebih tidak berisik daripada biasanya, tapi yang namanya suara tetap suara, dan ketika kepalanya menoleh untuk memastikan Ni-ki masih tertidur, ia malah menemukan sisi kasur anak itu kosong. Dan dingin. Dia tidak ingat Ni-ki mengabarinya akan pergi malam itu, jadi yang berisik di luar sana sudah pasti dia.
Pintu kamarnya tidak sepenuhnya tertutup. Jungwon baru saja akan membukanya lebih lebar agar ia bisa mengajak Ni-ki untuk kembali tidur, sampai telinganya menangkap sesuatu yang lebih spesifik dari hanya sekedar berisik.
"Nggak tau." itu suara Ni-ki, berbisik, "bener-bener nggak tau..."
Anak itu kedengaran seperti ingin menangis.
Jungwon menarik tangannya jauh-jauh dari kenop pintu. Hening malam yang terlalu kentara membuat Jungwon sampai bisa mendengar seseorang berbicara dari telepon meski ia yakin Ni-ki tidak menyetel panggilannya dalam mode loudspeaker.
Ia memposisikan wajahnya di celah pintu yang terbuka, berniat mengintip, sekaligus berharap pertanyaan-pertanyaan yang berenang-renang di kepalanya dapat terjawab, apa tepatnya yang sedang dilakukan Ni-ki, dimana dia sekarang, kenapa dia menjawab telepon dari orang lain di waktu yang selarut ini, siapa gerangan orang itu...
Apartemen itu gelap, tapi setitik cahaya dari luar menyorot Ni-ki di cekung dan lekuk yang tepat sehingga mata Jungwon dapat mengenali figurnya, meringkuk di samping kulkas sambil mencengkram dahinya frustrasi, entah karena apa.
"Iya." jawabnya lagi, "iya, gue pikir, ya gue pikir juga ini cuma bakalan sesaat aja, on-off gitu." sambungnya, "kayak, ya udah, ini bukan pertama kalinya gue ngerasa begini, kan. Gue selalu berusaha bikin sugesti buat diri gue sendiri, nanti juga lama-lama hilang, yang kayak gini gak bakalan berlanjut. Tapi sekarang selalu aja... dia tuh bikin gue... nggak tau, kayak nggak selesai-selesai aja, Jay, jujur gue capek banget... secapek-capeknya capek..."
Jay? potongan nama itu terdengar asing. Jungwon bertanya-tanya apakah ia sendiri pernah mengenal sebuah Jay dalam hidupnya, dalam lingkungan kerjanya. Tapi yang jelas, untuk bisa ditelepon sebegitu dini di pagi hari, pastilah keduanya sudah saling mengenal sejak lama.
Dia memperhatikan bagaimana anak itu melipat tungkai dan memeluk lututnya sekarang, volume suaranya mengecil di akhir ketika ia mengaku capek.
Jungwon justru lebih bertanya-tanya lagi apa yang membuatnya begitu capek.
"Hah? Yeu, bisa aja. Ya kali." lanjut Ni-ki, "nggak tau. Gue pura-pura bodo amat aja selama ini. Gue juga nggak berekspektasi apa-apa. Terserah dia mau ngapain, toh dia udah bilang kalo dia nggak akan maksa gue, kan, ngapain juga gue susah-susah..."
Jungwon menahan napasnya.
Ini tentang dirinya sendiri.
"Nggak tau." bisik Ni-ki, seolah cuma itu ungkapan yang bisa diluncurkannya sejak tadi, "nggak tau, Jay... apa, ya, awalnya emang biasa aja, tapi lama-lama semua yang dia lakukan, tuh, kayak..." ada jeda selama beberapa saat. Ni-ki mendengus, "...kayak ada rasanya. Tapi gue takut jangan-jangan ini guenya aja, takut ternyata selama ini dia ya biasa aja... pake segala nyuapin gue, bener-bener ngeladenin gue kalo gue lagi kumat..."
Jungwon berusaha meredam detak jantungnya sendiri, yang apabila tidak terkekang oleh tulang rusuk, barangkali akan terdengar seperti dikalibrasi puluhan desibel lebih nyaring.
"Safe word?" ulang Ni-ki, "ada, ada."
Jutaan kali lebih nyaring.
"Kalau diminta ciuman, ya, kita ciuman." Ni-ki seolah sedang menjawab pertanyaan Jay mengenai shenanigan mereka selama berada di depan khalayak ramai.
"Lucunya, ya. Padahal gue bikin semangka karena takut merasa nggak nyaman sama dia, tapi sekarang-sekarang ini gue selalu bilang semangka semangka semangka karena— bukan, bukan karena nggak nyaman." dia cepat-cepat mengoreksi pernyataan di seberang, "gue bilang semangka, karena... karena... ternyata makin lama rasanya malah justru makin nyaman, Jay, gue sepanik itu..."
Jungwon ingat pernah mencium Ni-ki di depan mantan pacarnya di depan kolam dengan air terpancur dari patung cupid, ingat bahwa ia juga merasakan kekagetan yang serupa sewaktu anak itu justru menekan tubuhnya lebih keras pada Jungwon ketika biasanya gestur itu akan membuatnya menjauh secara paksa dan mengucap semangka.
"...gue takut banget, Jay..."
Jungwon ingat Ni-ki dan bibirnya yang basah dan mengkilap karena saliva, yang mengucap semangka meskipun gestur itu justru berkontradiksi dengan bagaimana pupil matanya berdilatasi sewaktu ia memutus ciuman mereka, berkontradiksi dengan caranya menatap Jungwon, binar di mata Ni-ki sama sekali tidak bisa diterjemahkan Jungwon ke bahasa manapun, kecuali adorasi yang keruh oleh nafsu.
"...takut banget kalau gue beneran cinta sama Jungwon..."
Jungwon menyingkirkan dirinya sendiri dari celah pintu itu.
Apapun konversasi Ni-ki dengan Jay selanjutnya, dia tidak punya tenaga lagi untuk mendengar lebih jauh dari ini. Otaknya seolah-olah memblokir semua informasi yang merambat lewat telinganya setelah pernyataan terakhir itu diungkapkan Ni-ki, jadi Jungwon menunggu di tempatnya berdiri sampai Ni-ki betul-betul selesai dengan sesi meneleponnya.
Ia menghitung sampai dua menit dari sejak panggilan diputus untuk keluar dari kamar dan menampakkan diri. Sendi-sendinya terasa kaku dibuat bergerak. Dilihatnya Ni-ki tertidur di samping kulkas yang sama, posisinya sama sekali tidak terlihat mengenakkan.
"Hei..." Jungwon menepuk anak itu pelan di pundaknya.
Ni-ki berkedip terbangun, "hng?"
"Pindah kasur." bisik Jungwon.
"Eum..." itu adalah sebuah gumam, separuh tertidur, pun seluruh alat gerak Ni-ki ikut tertidur bersama alam bawah sadarnya. Tubuhnya terkulai di hadapan Jungwon.
Jungwon berakhir menggendong Ni-ki ke dalam kamar, merebahkannya di atas kasur dengan hati-hati agar dia tidak membangunkannya.
Alih-alih bermotif kartun seperti biasanya, piyama itu polos berwarna biru langit, dan Jungwon menemukan dirinya memandangi figur di bawahnya selama beberapa saat sebelum sisi rasionalnya menjentikkan jari di telinganya dan membangunkan akal sehatnya yang seolah juga larut ditelan kantuk.
Kantuk, dan sesuatu yang belum punya nama bagi Jungwon.
Sesuatu itu ditakuti oleh Ni-ki.
Jungwon mengubur pikiran itu dalam-dalam, memejamkan matanya kuat-kuat, dan tertidur sampai pukul satu siang.
Note:
Shenanigan; defined as mischief, trickery or naughty behavior. When you get up to no good and get in trouble, the bad behavior is an example of a shenanigan.
KAMU SEDANG MEMBACA
EPIPHANY ; wonki✔
Short StoryBagaimana ceritanya kalau Jungwon dan Ni-ki dijodohkan padahal mereka tidak saling mengenal? ⚠bxb, yaoi, fluff, mature content [Yang Jungwon x Nishimura Riki] Dom - Yang Jungwon Sub - Nishimura Riki Start : 17-02-2022 End : 07-03-2022