Angin musim semi pt. 2

102 11 5
                                    

Angin malam menerpa wajah Ohm. Sensasi dingin menusuk semacam itu sudah menjadi makanan sehari-hari, entah apa yang membuat rasa dingin itu begitu adiktif. 

Setelah pulang dari kantor, Ohm biasa menghabiskan waktunya di atas rooftop apartemen miliknya. Dengan sebotol minuman beralkohol yang entah selalu berganti jenis, Ohm berbagi keluh kesahnya pada angin malam yang dingin. Entah kebiasaan buruk yang ia jalani selama kurang lebih 2 tahun ini telah membawa kerusakan seperti apa di dalam tubuhnya, toh ia juga tidak peduli.

Saat hendak memulai tegukan pertamanya, ponsel milik Ohm berdering, menampilkan nama yang selama beberapa minggu ini menghantui pikirannya.

Nanon Buku

Setelah melihatnya, Ohm segera mengangkat telefon dari Nanon.

( Bold itu Ohm, Italic Nanon)

Halo, Non. Ada apa?

Halo, Mas Ohm. Aku ganggu ga sih kalau telfon jam segini?

Ga ganggu kok. ceritain dulu kenapa, Nanon

Jadi gini, aku kebetulan lagi ada di depan pintu apartemen Mas Ohm. Tadi aku udah mencet bel tapi ga ada respon. Mas Ohm lagi diluar kah? Aku bawa ayam kemangi, makanan kesukaan Mas Ohm

Aku kebetulan lagi ada di Rooftop, Non. tunggu sebentar, ya. Aku turun. Lagian kenapa kamu tadi ga ngabarin? 

Maaf, Mas Ohm. aku niatnya cuma pengen nganterin makanannya aja sih. Tapi barang kali Mas Ohm lagi di rumah atau lagi ga sibuk kan aku bisa sekalian ngobrol gitu.

Kamu minggir sama singkirin makanannya dari knob pintu dulu, Non. Aku gimana bisa  bukain pintu kalo gitu?

Suara itu datang dari telefon dan terasa dekat pada Nanon. Ia menengok ke sumber suara itu dan mendapati Ohm tengah melambaikan tangan dan tersenyum ke arahnya.

Penampilan Ohm pada malam itu cukup berantakan. Kemeja coklatnya kusut dan dua kancing teratasnya terbuka begitu saja, rambutnya acak-acakan, dan celananya terlipat tidak karuan. (Namun tetap tampan- Batin Nanon). Tangan Ohm menggenggam sebotol minuman keras yang nampaknya masih lumayan penuh.

Ohm menekan kombinasi kode unit apartemennya dan memutar knop pintu sehingga terbuka lebar. Ia melangkahkan kakinya ke dalam unit apartemennya dan berdiri di ambang pintu.

"Masuk, Non." Ohm mempersilahkan Nanon untuk masuk.

" Oh iya. Mas Ohm udah makan belum?" Tanya Nanon. Ohm menggeleng sebagai jawabannya.

" Udah tahu punya asam lambung tapi sendirinya malah sering ngelupain makan. Mana tadi Mas Ohm mau minum kan? Untung aku datang. Kalau nggak, pasti Mas Ohm minum tapi ga makan dulu. Kasihan nggak sih sama lambungnya? Jangan jahat ke diri sendiri gitu dong." Omel Nanon. Ohm hanya terkekeh membalas omelan Nanon.

"malah ketawa. aku ini serius lho. emang terkesan ngatur, tapi ini masalah makan. penting banget. aku ga mau ada keluhan asam lambung kumat lagi kaya dulu pas Mas Ohm batal dateng ke toko." Nanon melanjutkan omelannya sambil menyiapkan makanan untuk Ohm.

Biasanya Ohm akan lelah dan kesal jika mendengat orang lain mengomel tanpa rem seperti ini. Namun, saat Nanon mengomelinya, ia justru merasa gemas dan diperhatikan. Perasaan yang sangat jarang ia rasakan. Nanon membawa warna baru pada hidupnya. Warna yang menarik dan indah.

" Dimakan ini. Kenapa malah ngelihatin aku?" Omel Nanon. lagi.

" Maaf. Kamu cerewet sih." Goda Ohm. Nanon hanya terkekeh.

Ohm menghabiskan makan malamnya ditemani ocehan Nanon. Bagi Ohm, ocehan Nanon bisa menjadi obat bagi lara nya yang telah terpendam lama.

Flashback

Malam yang dingin di Kota Bangkok, semua berada dalam kehangatan rumah masing masing. Hal ini tentu saja tidak dirasakan oleh anak lelaki berbaju kumal dengan rambut panjangnya yang kusut. Tubuh anak itu kurus, sangat kurus. Ia kini tengah bersujud memohon belas kasihan dari seorang pedagang nasi ayam.

" Tolong berikan aku satu potong saja, nyonya." Pinta anak itu.

"Baiklah. Ini, nak." Pedagang itu memberikan 2 potong ayam dan sebungkus nasi.

"Nak, apakah orang tuamu tidak mencarimu?" Tanya pedagang itu.

"Maaf, nyonya. Aku hidup sebatang kara." Jawab bocah itu. Lalu, si nyonya pedagang nasi ayam mengelus lembut rambut kusut bocah itu dan bertanya siapa nama si bocah.

"Namaku Ohm, Nyonya. Nama asliku Pawat, namun aku tidak tahu nama keluargaku." Jawab Ohm

Nyonya pedagang itu menggelengkan kepalanya. Ia heran, mengapa bocah seperti Ohm terlantar sendiri di Kota bangkok yang keras ini. Bagaimana bisa ada orang dewasa yang sangat tega untuk membuangnya.

"Tinggal lah di rumahku, nak. Mungkin terkesan sederhana dan reyot. Tetapi, aku ingin kau tidak kedinginan di kota ini. Kebetulan aku tinggal sendiri, suamiku meninggal 4 tahun lalu dan aku tidak memiliki anak." Ucap pedagang ayam itu.

"Tidak, Nyonya. Terima kasih. Aku tidak ingin merepotkan." Ohm tidak emak hati mendengar tawaran sang penjual ayam.

Setelah itu, Ohm berada dalam asuhan Nyonya Namtarn. Setelah 2 bulan, Ohm baru berani bercerita tentang alasannya hidup sebatang kara.

"Aku dibesarkan di panti asuhan dan aku tidak tahu siapa orang tuaku, Nyonya. Aku tinggal di sana sejak bayi merah." Ohm melahap sesuap roti berisi selai kacang lalu menelannya.

"4 bulan sebelum aku bertemu nyonya, panti asuhanku didatangi paman paman bertubuh besar. Entah mengapa, ayah panti asuhanku menyuruh kami untuk segera bersembunyi. Tak lama setelah itu, aku mendengar bunyi pistol. Tanganku menutupi telinga adikku, Chimon.  Setelah kejadian mengerikan itu, Chimon diambil paksa dan aku tidak pernah bertemu dengannya hingga saat ini, panti asuhanku digusur. Aku sebagai kakak tertua ditinggalkan sendiri di jalanan dengan uang 400 bath." Ujar Ohm panjang lebar.

Nyonya Namtarn menangis mendengar cerita Ohm. Bagaimana anak berusia 11 tahun dipaksa menjalani semua penderitaan ini. Ohm menceritakannya dengan nada hambar, seperti tidak ada harapan. Jiwa anak itu kering bagaikan gurun pasir.

"Ohm, aku akan merasa sangat bahagia dan terhormat jika kamu memanggilku ibu, Nak." Ucap Nyonya Namtarn. Mereka berpelukan dan menangis.

Semakin hari, Ohm dan Nyonya Namtarn semakin dekat, seperti ibu dan anak sungguhan. Ohm kembali bersekolah dan membantu Nyonya Namtarn mengelola warung makan kecilnya.

"Wahh, anaknya pintar ya, bu. Sudah bisa menjadi kasir." Itu adalah pujian yang sering dilontarkan pelanggan saat melihat Ohm mencatat dan menghitung pemasukan.

Hari demi hari berlalu, Ohm benar benar merasakan hangatnya kasih ibu dari Nyonya Namtarn.

Bagi Ohm, Nyonya Namtarn bagaikan angin musim semi.

Ohm yang memiliki rasa ingin tahu yang teramat tinggi dan kemauan untuk belajar pun bertekad untuk mengembangkan bisnis milik Nyonya Namtarn. Setelah 12 tahun bekerja keras, bisnis Nyonya Namtarn berkembang pesat dan menjadi salah satu restoran top di Bangkok.

"Kamu sebenarnya tidak perlu melakukan hal sebanyak ini, Ohm. Aku tidak menganggapmu sebagai investasi. Aku ingin merawatmu karena hatiku yang mengatakannya." Ucap Nyonya Namtarn.

" Aku hanya ingin melakukan sesuatu yang bisa aku jadikan hadiah untukmu, bu. Apa yang Ibu lakukan jauh lebih besar daripada ini." Balas Ohm. Mengingat kerja keras ibunya yang dari pagi hingga larut malam berjualan, bahkan sering kali tidak tidur untuk bekerja membuat hati Ohm terenyuh. Ibunya bekerja sangat keras untuk menghidupi mereka berdua.

Namun sayang, saat Ohm berusia 27 tahun, Ibu angkatnya itu meninggal, menjadi korban kecelakaan pesawat saat hendak pergi mengunjungi sepupunya di Malaysia. Saat itu pula Ohm terasa mati lagi, jiwanya kering lagi sama seperti 16 tahun yang lalu. Hampa.

Dalam kegelapan, Dalam pemakaman, mata Ohm memancarkan kilatan yang tak biasa, yaitu kilatan haus darah.

Tbc

OHMNANON ONESHOT AUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang