Satu

52 2 0
                                    

Ingin Hidup Seperti Orang Lain


Bel masuk sudah berbunyi beberapa menit yang lalu, para pelajar sedang duduk tenang di dalam kelas sembari mendengarkan penyampaian materi dari guru masing-masing. Berbeda dengan Seraphina, gadis yang kerap disapa Sera itu masih sibuk membersihkan rambut dan seragamnya yang kotor. Aroma amis tercium dari surai hitam miliknya. Sisa pecahan telur juga masih menempel di sana.

Sera mulai membasuh rambutnya di wastafel, mengabaikan jam pelajaran yang ia tinggalkan. Masuk ke kelas dengan keadaannya sekarang, justru akan membuat dirinya lebih dipermalukan. Selesai dengan rambut, gadis remaja tersebut lantas mencuci rompi seragam yang kotor oleh tanah dan tepung serta telur busuk.

Tiga puluh menit berlalu, Sera telah selesai dengan urusannya. Ia keluar dari toilet dengan langkah cepat, menuju salah satu ruangan di belakang sekolah. Sesampainya di sana, Sera melihat seorang pria tengah duduk berselonjor sembari memijat kaki-kakinya yang kelelahan.

"Siang, Pak." Sera menyapa dengan sebuah senyuman.

Pria di depannya mendongak, balas tersenyum. "Eh, Neng Sera. Siang juga, Neng."

"I-tu, anu ... Saya mau-"

Dahi Pak Har berkerut mendapati Sera yang gelagapan. Pandangannya turun, beralih pada rompi kotak-kotak yang basah di genggaman Sera. Ia segera mengangguk mengerti.

"Enggak apa-apa, Neng. Masuk aja ke dalem, taruh seragamnya di belakang kulkas."

Sera sempat bergeming beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk patuh. "Iya, Pak. Makasih."

Ia berjalan memasuki ruangan dua kali tiga meter persegi, tempat istirahat untuk para tukang kebun di sekolah. Sebuah kulkas satu pintu berdiri di sudut ruangan. Sera lekas menyambar besi gantungan baju dan memasang rompinya, lalu menaruh rompi tersebut di belakang kulkas sesuai instruksi dari Pak Har.

Sera keluar dari ruangan dan ikut duduk di sebelah pria yang sudah seperti ayahnya sendiri.

"Dikerjain lagi ya, Neng?" Suara Pak Har memecah keheningan di antara mereka.

Sera tertunduk malu, ia mengangguk pelan dan memperlihatkan senyum tipis ke arah Pak Har. "Iya, Pak."

"Yang sabar, ya, Neng. Orang-orang berduit emang kadang gitu, suka semaunya," canda Pak Har.

Sera tersenyum menanggapi.

"Bapak heran, mereka kan udah punya banyak uang, rumah gede, harta banyak, mobil juga berderet. Apa masih kurang bahagia, sampai harus mempermainkan orang miskin demi memuaskan kesenangan?"

Raut wajah Pak Har berubah sendu, dua mata sayunya kian layu, ada sorot kesedihan di sana. Sera tak berani memberi jawaban, ia tahu persis apa yang dimaksud oleh pria di sampingnya. Lelaki itu telah kehilangan anak semata wayangnya karena ulah sekelompok remaja dengan latar belakang keluarga kaya. Tak sepenuhnya pergi, hanya saja anak lelakinya harus hidup selayaknya mayat.

Sera pernah satu kali ikut menjenguk anak Pak Har di salah satu rumah rehabilitasi, remaja laki-laki yang seumuran dengannya terlihat duduk termenung di atas ranjang. Kulitnya pucat, tatapan matanya kosong, tubuhnya kian mengurus seiring waktu. Ia tak banyak memberi respon saat diajak berbicara, hanya anggukan, gelengan, atau gumaman kecil. Di lain waktu, remaja tersebut akan mengamuk hebat. Berusaha melukai dirinya dan orang-orang sekitar.

Pak Har hanya mampu menatap pedih putranya, memeluk dan mengusap lembut punggung serta rambut hitam yang mulai rontok perlahan. Sera terenyuh, setetes air matanya lolos menuruni pipi. Satu kehidupan telah rusak.

Sera terkejut saat merasakan pipinya yang basah, hal itu membuatnya kembali ke kenyataan. Gadis itu lekas menghapus bekas tangisan dengan telapak tangan dan menarik ujung bibirnya ke atas. Dirinya tak ingin membuat Pak Har merasa dikasihani.

Berhujan Guguran BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang