2. Mencoba Mengakhiri Hidup

583 15 0
                                    

"Apa yang sudah kulakukan? Sungguh aku malu, Ya Tuhan, maafkan aku."

Zie melangkah sedikit terseok. Dia baru saja menjauh dari apartemen milik lelaki yang bahkan namanya saja dia lupa. Sesekali jemari lentiknya mengusap kasar area leher, seakan ingin menghapus jejak bekas ciuman brutal yang ditinggalkan sang pria.

Zie merasa jijik dengan tubuh sendiri. Begitu mudahnya dijamah bahkan dinikmati berkali-kali secara gratis oleh pria yang sama sekali tidak dikenal.

Aaarrrggghhh! Teriak Zie dalam hati.

Mengingat lagi aktivitas memalukan di dalam mobil dan berlanjut di apartemen, membuat Zie merasa jadi wanita rendahan, tidak punya harga diri. Merasa lebih hina dari wanita penjaja kenikmatan yang sebenarnya.

Pengaruh obat itu sulit dikendalikan, sehingga menjerumuskannya pada perbuatan nista. Air mata Zie meluruh tiada henti, bagaimana menghadapi kedepannya setelah ini.

Alangkah akan murka orang tuanya jika mengetahui putri kesayangan mereka tidak lagi memiliki kesucian yang senantiasa dijaga segenap jiwa raga. Zievana dengan mudahnya menyerahkan diri untuk dinodai dalam semalam pada laki-laki yang sama sekali tidak dikenal.

Zie teringat Jimmy, dialah biang keladi di balik penabur obat terkutuk yang dicampurkan ke dalam minumannya dan malam nahas itu berawal dari acara ulang tahun Meylan, sahabat dekat Zie.

Meylan mengadakan acara kecil-kecilan di sebuah kafe yang cukup mentereng di kota itu, mengundang beberapa teman kuliahnya. Tanpa ada yang menyadari diam-diam Jimmy menyiapkan rencana licik sendiri untuk menjerat Zie.

Jimmy, lelaki yang terus mengejar Zie karena cinta. Laki-laki itu sangat menginginkan sang gadis menjadi pasangan hidupnya kelak. Dia pernah meminta Zie untuk dilamar, tapi ditolak dengan alasan belum bisa mencintainya dan masih ingin lanjut kuliah.

Segala cara pemuda itu lakukan demi mendapatkan cinta sang gadis, sampai rela melakukan perbuatan tercela dengan menaburkan obat pembangkit g a i ra h pada minuman milik Zie, dengan dosis cukup tinggi.

"Kamu akan menjadi milikku setelah minum ini, Sayang," bisik Jimmy malam itu.

"Apa maksudmu?" Zie mencoba mengartikan ucapan Jimmy, setelah dia meneguk hampir setengahnya minuman tersebut.

Setelah reaksi obat mulai bekerja, sang gadis mulai mengerti, kenapa Jimmy berkata demikian. Zie tidak sempat melampiaskan amarah sebab pengaruh obat lebih menguasainya.

Zie gelisah, tubuh perlahan dijalari panas, ingin rasanya dia membuka seluruh pakaian, dan ada yang menjamahnya. Untung saja kewarasan masih tersisa sehingga masih mampu menahan diri.

Detik demi detik perasaan ingin dibuai berlebihan membuat Zie semakin tidak nyaman berada di tempat itu. Halusinasi tentang kenikmatan mulai merasukinya.

Jimmy pura-pura menawarkan jasa mengantarkan Zie pulang. Gadis itu menyetujui saja, karena kondisi yang sudah tidak memungkinkan untuk menolak.

Setibanya di luar, Jimmy terlupa dengan kunci mobil yang dia letakan di meja. Sang pemuda pun meminta gadis berwajah oval itu untuk menunggu sebentar, dia kembali ke dalam untuk mengambil benda tersebut, saat itulah Zie bertemu Andra.

**

Rasa sakit di antara kedua pahanya tidak Zievana hiraukan, dia terus berjalan menjauh dari gedung apartemen. Tidak akan ada wanita yang mau berada di posisinya, malu dan hancur, sebab itu Zie merasa percuma melanjutkan hidup.

"Ini semua gara-gara kamu, Jim. Aku benci kamu!" gumam Zie. Tanpa sadar langkahnya menuju jembatan di mana di bawahnya mengalir deras air sungai.

Zie berdiri di pembatas jalan yang di pagari besi beton. Tatapannya mengarah ke bawah, seolah suara arus air di bawah sana memanggil dan menyuruhnya untuk melompat. Tangan Zie terulur meremas pagar besi seiring gemuruh di dada semakin menghebat.

Satu kaki Zie mulai menjejak di besi pembatas, pikirannya seolah tengah diajak menerka-nerka seberapa dalam dasar sungai itu, mampukah melenyapkan dirinya yang sudah ternoda ini untuk selamanya. Merasa diri teramat malu dan hina, membuatnya semakin ingin terjun ke bawah sana.

Zie mulai menaikkan kedua kakinya sambil memejamkan mata. Jika ini akhir hidupnya, dia tidak akan melihat wajah kecewa papah dan mamah, tidak akan menghadapi kesedihan dan kemurkaan mereka, serta tidak akan melihat lagi pria yang membuatnya sangat malu karena sudah menawarkan diri untuk dijamah.

Mati adalah jalan yang terbaik menurut Zievana ketimbang hidup, tapi dikejar dosa dan malu. Tempat ini cukup sepi, jarang kendaraan melewati jembatan ini memudahkan gadis itu melancarkan niatnya.

"Maafkan Zie, Mah, Pah!"

Zie mencondongkan badan ke depan, jemarinya mulai melepas satu persatu dari pagar besi, saat dirinya bersiap terjun, sebuah tarikan kuat membawanya ke arah berlawanan, hingga bergedebug di trotoar.

Zie memekik, secepatnya bangun tanpa menghiraukan orang di belakangnya. Sang gadis bergegas berlari ke sisi jembatan. Namun, tarikan itu kembali menggagalkan aksinya menerjukan diri ke sungai.

"Lepaskan! Biarkan aku mati!"

Orang yang berada di belakang memeluk erat Zie yang meronta, berusaha melepaskan diri.

"Hentikan perbuatan terkutuk ini, Dek!" Suara lembut wanita, tapi penuh penekanan membuat Zie menoleh.

"Siapapun kamu, tolong lepaskan, biarkan aku mati!" Tatapan Zie menghiba.

Wanita dewasa berparas cantik berhijab itu memutar tubuh Zie, kemudian menggenggam tangannya kuat-kuat, menatap tajam seraya menggeleng.

"Bunuh diri bukanlah solusi menyelesaikan masalah, justru akan semakin membawamu pada masalah baru yang lebih pedih di akhirat nanti. Apa kamu tidak kepikiran bagaimana orang tua kamu mendapati anak gadis kesayangannya mati dengan cara yang dibenci Tuhan. Betapa hancur hati mereka." Kata demi kata yang meluncur dari mulut wanita itu menohok hati Zie.

Sang gadis semakin tergugu pilu, wanita berpakaian kulot dipadupadankan dengan blazzer putih itu memeluk erat Zie, mengelu-elus punggungnya yang berguncang.

"Mau cerita sama aku, apa yang membuatmu nekat mengakhiri hidup?" tanya sang wanita seraya menyodorkan sapu tangan.

Mereka kini duduk di pinggir trotoar. Sinar keemasan dari raja siang mulai menyengat, tapi tidak mereka hiraukan.

Zie mengambil kain kecil tersebut, ia gunakan menghapus jejak air mata. Bibirnya masih sulit untuk mengungkapkan kejadian yang menimpanya.

"Bunuh diri adalah sebuah dosa besar, di mana pelakunya tidak akan pernah mendapat ampunan dari Allah. Kamu merasakan beban yang begitu berat saat ini, tapi di akhirat nanti beban itu tidak seberapa dibanding beratnya siksaan api neraka. Sebesar atau sekecil apapun sebuah masalah, pasti akan ada jalan keluarnya. Semua orang memiliki beban itu, bukan kamu saja. Aku pun demikian, pernah berada di posisi ingin bunuh diri." Penuturan wanita berhijab krem itu membawa Zie pada kesadaran penuh bahwa solusi yang dia ambil sungguh keliru.

"Namaku Syahra Khumaira, boleh aku tahu namamu?"

"Zie ... Zievana Khairunisa."

"Namamu sangat cantik, secantik orangnya."

Zie tersenyum samar mendapat pujian, atau lebih tepatnya kata-kata menghibur sehingga hatinya sedikit menghangat.

"Jika kamu butuh tempat mencurahkan segala bebanmu, aku siap mendengarkan."

"Terima kasih, Mbak Syahra, tapi untuk saat ini aku belum siap bercerita."

Syahra tersenyum manis seraya mengelus punggung tangan Zie. "Tidak masalah, mungkin suatu saat nanti, kita bisa saling berbagi cerita. Kita bisa jadi sahabat, Ok!"

Zie hanya mengangguk kecil, selebihnya mengembuskan napas panjang dan berat.

Bersambung

ASMARA SATU MALAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang