9. Status Tidak Jelas

470 14 0
                                    

"Zie aku antar kamu, ya?" tawar Derry menghentikan motornya di hadapan sang wanita. Kemudian melepas helm.

Pemuda itu menunjukkan wajah tampannya, rambut disugar ke belakang. Kemeja putih didobel jaket dengan resleting terbuka, dipadupadankan celana kain hitam, menambah penampilan sang pria kian menawan.

Gagah kesan yang Zie tangkap pada diri Derry, apalagi duduk di jok tunggangan bermerk ternama, ditambah senyuman manis mengalahkan sari madu, hati wanita mana yang tidak akan meleleh dibuatnya.

"Gak usah, Der. Aku bisa naik ojol." Zie menolak halus ajakan putra kedua dari Bu Laila.

"Mau sampai kapan kamu nolak ajakanku terus, Zie. Aku gak bakal ngapa-ngapain kamu, sungguh." Derry setengah becanda, tapi Zie berpraduga lain.

"Eh, bu-bukan begitu. Aku cuma gak mau ngerepotin kamu. Kita kan, beda arah, kalau kamu nganterin aku dulu nanti kamu harus putar balik, bisa terlambat masuk kerja."

"Aku gak merasa direpotkan, aku malah senang bisa nganterin bundanya Alana. Sekali-kali berkorban buat cal ...."

Derry menggantungkan kalimat, rasa kikuk disertai lidah kelu menyergapnya, dan selalu begitu jika berhadapan dengan Zie, di saat bibir terlepas melontarkan isi hati.

Tanpa Zie bertanya kenapa rangkaian lisan itu terpangkas, ia sudah bisa menebak ke mana arah tujuannya. Dia pun tidak ingin larut memberi harapan palsu, kakinya mulai dilangkahkan.

"Zie, ayolah! Sekali ini saja aku anterin kamu!" Derry tidak mau kalah, memburu Zie setengah menyeret tunggangannya.

Mereka menghentikan percakapan saat terdengar suara Bu Laila dari ambang pintu sambil memangku Alana. "Kalian belum berangkat? Nanti bisa terlambat, lho."

"Ini juga mau berangkat, Bu. Nunggu Zie naik ke motor," sanggah Derry, memanahkan tatapan sayu pada Zie.

"Ya sudah, Zie, biar Derry anter kamu dulu, supaya kamu gak kesiangan, kalau Derry masih banyak waktu, beda sama kamu jam kerjanya." Suara lembut serupa perintah Bu Laila membuntukan alasan penolakan Zie.

Merasa ada orang penting memihaknya, kedua sudut bibir Derry tertarik, menyerupai senyum kemenangan. Zie menghela napas. Terus-terusan menolak rasanya percuma, bisa-bisa tiba di kantor tengah hari.

Zie menaruh pantatnya di jok belakang, duduk menyamping. Selepas pamit pada wanita yang disegani mereka, Derry meluncurkan kendaraan roda duanya.

Zie berusaha menjaga tubuhnya tidak terlalu mepet di punggung Derry. Namun, jok belakang yang sedikit menukik ke depan membuatnya kesulitan untuk tidak berjarak.

Genggaman kuat di besi samping motor pun tidak membantu, selain licin, Zie takut bilamana banyak bergerak bisa terhempas ke aspal.

Lain halnya dengan Derry, ribuan euforia menggelitik rongga dada. Gurat bahagia tidak dapat ia sembunyikan, terpancar begitu jelas. Ini pertama kali bisa satu tumpangan dengan si penghuni singgasana hatinya.

Zie kerap kali menolak setiap Derry menawarkan jasa mengantarkan ke kantor. Adanya Rena yang satu perjalanan dengan Zie, cukup membungkam sang pemuda tidak lagi banyak meminta.

Namun, untuk kali ini, Rena sudah meninggalkan kontrakan sedari pagi buta. Sang kekasih menjemputnya, sekaligus mengajak sarapan bersama di luar rumah sehingga kesendirian Zie merupakan kesempatan emas bagi Derry. Dia tidak ingin mengabaikannya begitu saja.

Hanya berselang lima belas menit, motor berdominasi warna hitam dan merah itu tiba di pelataran tempat Zie mengorek rupiah. Gadis bersurai hitam legam itu akhirnya bisa bernapas lega.

Derry membantu melepaskan tautan gesper di helm yang digunakan Zie. Menimbulkan gempa tektonik bersakala rendah di dalam dada sang pemuda dalam jarak sedekat ini.

"Zie, lain waktu bisakah kita keluar bersama? Yaah, untuk mencari udara segar di luar kota yang penuh polusi ini."

Zie tertegun, permintaan Derry rasanya berat untuk diangguki. Mengingat dirinya kerap kali diserang lelah, akibat dikuras pekerjaan yang menghabiskan energi dan tenaga.

Mempunyai sedikit waktu ia gunakan merehatkan raga, tidak untuk pelesiran bersama pria yang menaruh asa berupa cinta tanpa sanggup membalasnya.

Di waktu libur ia luahkan bersama si buah hati. Berhubung selama enam hari merepotkan Bu Laila, setidaknya ada satu hari terjeda bagi wanita paruh baya itu tanpa dibebani mengasuh Alana.

Ikhlas, tanpa pamrih pedoman yang Bu Laila ikrarkan saat meminta sang buah hati diasuh olehnya, tapi tetap saja Zie tidak bisa membombardir pengurusan Alana padanya. Dia cukup tahu diri.

"Bagaimana, Zie, mau, kan?" Derry kembali mengajukan tanya, tersebab Zie melamun.

"Kamu gak malu ngajak aku yang memiliki status tidak jelas?" Zie memutar balik tanya.

Derry tertawa seringan tirai yang bertandak ditiup sang bayu. Tangannya terulur mengacak lembut anak rambut bagian depan milik Zie.

"Aku tidak peduli akan hal itu. Bagiku kamu dan Alana adalah permata yang paling berharga, dan harus dijaga keindahannya."

Zie terdiam. Pikirannya sibuk mengartikan deretan kalimat puitis yang terucap dari mulut Derry.

"Ziiie, kata Pak Bos waktunya kerjaaa!" Seruan Rena dari dalam gedung menghenyakan sepasang anak manusia yang saling tolak belakang baik hati maupun pemikirannya.

Zie refleks melihat jam tangan, astaga sudah lewat lima menit waktu kerja! Pekiknya dalam hati.

"Derry, aku harus pergi, terima kasih sudah mengantarkan aku!" Tanpa menunggu jawaban sang pemuda, Zie setengah berlari memasuki gedung.

Di salah satu lantai atas, sepasang bola mata menghunus, selaksa ujung tombak siap meluncur menembus inti jantung dua insan yang sedang bercakap di pelataran luar gedung.

Tangan mengepal menggenggam bara. Detak jantung kehilangan iramanya, sesak mendera dikarenakan menahan amarah yang menderas. Kecemburuan tersirat jelas di kedua netra legamnya.

Sang pria berjas hitam beranjak setelah yakin sasaran tatapannya sudah menghilang, ditelan bangunan megah milik Pranajaya dan si pemuda meluncur dengan tunggangannya.

Andra menelpon kepala HRD, meminta data formulir para karyawan yang masuk dari dua tahun yang lalu sampai yang terbaru.

**

"Ini data-data yang Tuan minta," ucap wanita yang menjabat sebagai kepala HRD sambil menyerahkan tumpukan map berbagai warna.

Andra meraihnya. Setelah mengucapkan terima kasih wanita itu pamit keluar dengan perasaan heran kenapa sang bos meminta data-data karyawan.

Dengan tidak sabar, pria berambut hitam dan tebal itu mencari yang jadi tujuannya. Setelah menemukan dengan sangat teliti membaca rangkaian kata yang tercantum dalam lembaran putih tersebut.

Ekspresi Andra terlihat kesal campur bingung, kemudian membanting map berisi formulir tentang riwayat hidup Zievana Khairunisa ke atas meja. Sesekali dengkusan kesal memecah keheningan di dalam kantornya.

Dalam data Zievana tidak dinyatakan sudah menikah, tapi Andra tidak mungkin salah menangkap kata, saat gadis itu berbincang dengan teman wanitanya, kemarin sore saat bubar karyawan.

"Anak! Jelas sekali aku mendengar kata itu. Zie memiliki anak, itu tandanya Zie sudah menikah, dan kemungkinan pria yang tadi bersamanya adalah suaminya, tapi dalam data ini status Zie belum menikah!"

Andra membuang napas kasar. Kembali otaknya merangkai praduga seputar Zie. Tidak menikah, memiliki anak, melamar pekerjaan di perusahaan Pranajaya setahun yang lalu.

"Aaargh! Zievana, lagi-lagi kamu membuatku frustasi!"

Bersambung

Di Kbm App sudah meluncur tamat, Gaes. Dijamin tambah seruuu. Gak percaya? Cus, lah kesana!

Di google playstore tersedia juga bentuk eBook, yups

ASMARA SATU MALAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang