Suna

119 8 1
                                    

Disclaimer : Naruto hanya milik om Masashi Kisimoto
.
......

Suna. Apa yang kupikirkan ketika aku mendengar tentang kota itu pertama kalinya? Tempat tandus dengan gurun pasir yang gersang~tempat yang takkan mau ditinggali orang-orang sepertiku. Tetapi setelah mengunjungi tempat itu sewaktu kakakku baru menikah, pandanganku terpatahkan.

Tempat ini cukup nyaman. Sebenarnya Suna itu adalah daerah yang cukup luas~kukira ukurannya nyaris sama besarnya dengan Konoha sendiri. Tapi yang membedakan adalah pada uniknya tempat ini. Suna terbagi menjadi dua bagian, Suna sebelah Timur yang agak gersang dan dipenuhi gurun pasir. Lalu ada Suna sebelah barat yang subur, dan hijau, tentu saja menjadi tempat tinggalku saat ini. Dua bagian ini dipisahkan oleh pegunungan Myoboku.

Aku tinggal di kota kecil bernama kota Hening, dinamakan begitu karna memang suasananya yang tenang, menyenangkan, enak dipandang mata~lebih menyerupai desa dari pada kota. Pohon Sakura yang berjejer di pinggir jalan~warna kuning di kiri dan merah muda di kanan. Pegunungan Myoboku sendiri tampak cukup jelas dari tempat ini, yang lebih menyerupai sebuah dinding pemisah seperti di film Attack On Titan.

Jadi ketika pertama kali tiba di jantung kota Suna, pegunungan Myobokulah yang pertama kali menarik perhatianku. Kami turun di Stasiun Kereta Suna. Di Peron, aku menenteng satu koper berisi pemberian ibuku dan barang belanjaan kakakku sewaktu dia berada di Konoha.

Sepanjang perjalanan keluar dari stasiun, aku berpapasan dengan berbagai jenis manusia. Tetapi jarang sekali yang berambut pirang sepertiku, atau berambut pink, biru dan yang sejenisnya. Yang paling mendominasi adalah warna coklat, gelap, dan merah bata. Jadi dalam rentan jarak dari peron ke pintu masuk stasiun, aku dan keluargaku cukup menjadi perhatian orang-orang.

"Kenapa orang-orang menatap kita dari tadi?" Tanpa sadar pikiranku keluar begitu saja melalui mulutku.

"Tentu saja," jawab kakak iparku. "umumnya orang-orang di sini berambut coklat, gelap, dan merah. Ketika dihadapkan pada sesuatu yang lain diluar kebiasaan mereka. Itu cukup menarik perhatian. Jadi nikmati saja."

"Oh, Oke," kataku. Kami keluar dari stasiun, dan aku disambut pemandangan pegunungan Myoboku yang menjulang bagai dinding raksasa di sana. Bentuknya masih tak mengalami perubahan sejak terakhir kali yang kuingat. Tentu saja, gunung takkan berubah bentuknya dalam rentan waktu beberapa tahun. Kecuali kalau gunung itu meletus, yang artinya kita harus merogoh dompet untuk membantu mereka yang menjadi korban bencana alam. Kotanya? Yah, tak ada yang perlu dikomentari. Sama saja seperti kota Konoha. Hanya saja cuacanya memang lebih menyengat dari Kota Konoha.

Kami berbelok ke kiri, melanjutkan perjalanan. Pandanganku terpaku pada iklan cewek berbikini di seberang jalan. Bentuk tubuh yang sempurna, aku memuji, rupanya disini aturan iklannya agak longgar. Kakakku menyadari itu dan langsung memukulku. "Jangan lihat-lihat yang nggak-nggak!" bentaknya.

"Apaan sih?" sahutku jengkel. Kayaknya perlu kuberi bocoran mengenai cerita kali ini mengusung tema buah dada dan bentuk pinggul yang sempurna.

"Matamu yang jelalatan kemana-mana!" katanya galak.

"Yaelah cuma iklan cewek pake bikini juga. Apanya yang salah?" tanyaku tak terima.

Kakak iparku langsung menyela dengan suara bass yang kedengaran menakutkan, "Oi, kalian. Jangan ribut di sini."

"Jangan ikut campur!"

Tempat Singgah (Sekuel Bucin Kelas Kakap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang