Naruto : Milik Om Masashi Kisimoto
.
.
.
Aku duduk dan menegakkan punggungku. Sejak tadi malam, aku tak bisa tidur. Dadaku terasa perih. Aku menghabiskan waktu empat jam dengan tercenung gara-gara mimpi bodoh itu. Sekarang, aku tak punya gairah untuk menyambut pagi ini.
Aku masih termangu-mangu dikamarku, mendengar suara kokok ayam nyaring itu. Aku tak punya gagasan apa pun selain mandi~barangkali juga memberi tambahan tinju beberapa kali untuk tembok yang dilapisi keramik? Itu gagasan yang lumayan bagus. Aku benar-benar melakukannya~maksudku aku masuk kamar mandi, menyalakan keran, lalu meninju dengan muak.
Seharusnya suara kucuran air yang deras itu sudah bisa meredam jduagh jduagh di dinding. Nyatanya tidak. Dua puluh pukulan berikutnya pintu kamar mandi langsung digedor-gedor. Baru aku sadar kalau aku meninju dinding yang menyambumg ke kamar kakakku. Untungnya aku belum telanjang bulat. Aku pun membuka pintu. Seraut wajah marah kakakku langsung menyambut pandanganku.
"Lagi ngapain sih?" kakakku bertanya sambil memelototiku. "Pagi-pagi udah bikin ricuh. Ryuzetsu sedang tidur tuh!"
Aku tersenyum kecut. "Lagi maling ayam, Kak," kataku dan berpaling. Aku tak mau memandang wajah kakakku dan tahu kalau hatiku sedang sakit parah. Dia 'kan suka mengejekku. Jadi bercerita padanya bukanlah pilihan yang bijak.
Dia terus memandangiku tanpa bicara selama beberapa waktu dan membuatku risih. Aku membuang napas. "Maaf, deh, Kak. Aku lupa tadi kalau itu adalah tembok kamar Kakak. Seharusnya aku meninju dinding yang lain. Biasa, lagi latihan." Aku tersenyum lebar-lebar. "Eh, kalau tak ada urusan lagi, Kak, bisa tolong menyingkir? Aku mau tutup pintu nih."
Dia mendesah berat. Tapi mata birunya terus mengamatiku. "Baiklah. Lain kali jangan lakukan itu lagi," ujar kakakku mengingatkan.
"Ya," sahutku singkat. Lalu kututup pintu itu dengan hati-hati. Aku mendesah lega, mulai mengguyur tubuhku dengan air. Airnya dingin. Dinginnya seakan menusuk-nusuk hatiku. Rasanya sakit sekali seperti teriris. Mataku juga perih. Aku berkedip, serta merta air mataku berlinang lembut.
Sepuluh menit berikutnya aku telah selesai. Aku masuk ke kamarku, menutup pintu, lalu berdiri di belakang pintu sambil menyeka-nyeka air mataku yang meleleh.
Padahal telah sebulan gadis itu meninggalkanku, tapi sakitnya masih tak jua hilang. Sampai sekarang pun aku belum bisa melupakannya. Pipi merahnya itu. Rambut hitamnya yang indah itu. Juga kelopak mata lavendernya, yang pernah dicoretnya pakai spidol warna hitam. Air mataku pun bercucuran deras ketika kuingat lagi suara nyaringnya waktu dia kesal padaku.
Aku melangkah ke arah kasur, lalu duduk sambil menangis tersedu-sedu selama beberapa waktu. Aku terus melakukan itu 'Semau gue' tanpa malu sedikit pun. Entah berapa lama waktu telah lewat, aku tidak tahu. Tapi kemudian aku pun bangkit dengan muak. Untuk apa aku memikirkan cewek pendek itu! Sekali lagi, dia itu cuma gadis pendek! Dia telah pergi. Jadi tak ada urusan lagi. Aku tak butuh gadis itu. Aku bisa bahagia tanpanya!
Aku bangkit berdiri, memelototi semua isi ruangan itu. Dengan enggan kukenakan pakaianku; membuat rencana untuk menyibukkan diri. Berakhirlah aku di konter pulsa kakak iparku, duduk menghadap komputer dengan pandangan berkaca-kaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tempat Singgah (Sekuel Bucin Kelas Kakap)
RomanceHinata memang cewek menyebalkan. Lidahnya tajam. Dia bahkan menuduhku melakukan pelecehan. Tapi kuakui dia memang manis. Dan sikap kasarnya itu sebernarnya hanya untuk menutupi sifat gugupnya. Sedangkan Nona Samui, aku tak bisa berkata apa-apa selai...