Aku bermimpi

57 4 0
                                    

"Jadi begitu ya?" kata Samui, janda tanpa anak yang duduk di balik etalase. Ia sedang menggores-goreskan pulpennya ke atas kertas sewaktu menanggapi jawabanku. Aku meliriknya, tanpa sengaja kulihat belahan dadanya yang wah itu dan menelan ludah. Segera kupalingkan pandanganku dari sana ke arah ponsel baruku ini. Aku menarik napas, lalu menghembuskannya dengan lega. Sudah seminggu ini aku mengenalnya. Dia tidak terlalu banyak bicara. Tetapi ngobrol dengannya sama sekali tidak membosankan. Justru menyenangkan, meski lebih banyak menjawab dengan kata singkat, namun begitulah kira-kira tiap kali dia menjawab, kedengarannya dia sama sekali tak mengakhiri topik pembicaraan.

"Begitulah, Nona. Aku juga tidak tahu sampai kapan aku akan ada di sini," kataku setengah merenung. "mungkin sebulan, dua bulan, atau mungkin setahun."

Tiba-tiba dia bangkit, gerakannya itu menarik perhatianku. Aku segera berpaling lagi padanya.
"Mungkin saja," katanya. "dalam jangka waktu yang lebih lama. Misalnya sampai tua..."

"Ya, dan terus melihat perempuan cantik tiap harinya."

Aku berpikir. Alangkah indahnya mata birunya itu. Di balik wajahnya yang agak kaku itu, aku melihat suatu ketenangan pada matanya. Menarik sekali. Lima detik lamanya aku terpaku pada mata itu. Lalu si empunya biru aquamarine itu berkedip dua kali.

"Apa?" tanyanya.

Aku tersentak. Dengan cepat kualihkan pandanganku ke objek yang ada dibelakangnya. "Apanya yang apa?" tanyaku tak mengerti seraya memandang matanya lagi.
Pipinya sedikit memerah seketika itu juga. "Bukan apa-apa. Lupakan saja." katanya cepat-cepat.

Aku berusaha mencari-cari bahan basa-basi yang baru. Saat kutemukan, aku langsung mengutarakannya, "Sudah berapa lama..." Aku berhenti, tidak tahu harus menyebutnya 'Anda' atau 'mbak' ataukah menyebutkan namanya. Sebab ke tiga-tiganya benar-benar tidak enak untuk diucapkan. Sejujurnya sudah seminggu ini aku agak kesulitan dengan 3 kata itu. Dia menunggu. Ah, sebaiknya kuhilangkan saja kata-kata itu.
"Sudah berapa lama tinggal di sini?" tanyaku.

"Siapa?"

Aku ragu sebentar. "Anda."

Dia mengernyitkan alis sambil menatapku lekat-lekat, seperti sedang bingung akan kata yang kuucapkan sebelumnya. "Caramu mengucapkan itu kedengaran aneh sekali."

"Oh ya? Memangnya kenapa?" tanyaku gugup.

"Panggil saja, Samui atau kamu atau apa sajalah, asal jangan yang satu itu. Rasanya aneh sekali mendengarnya." Dia mengernyitkan hidungnya memandangku.

"Bagaimana kalau Nona saja. Rasanya itu cocok."

"Aku sudah bukan gadis lagi. Dan kurasa panggilan seperti itu hanya cocok untuk gadis-gadis dari kalangan atas."

"Tapi Nona anggun dan cantik. Kurasa cocok sekali. Lagi pula bukan hanya gadis kalangan atas saja yang mendapat panggilan-panggilan seperti itu."

Kulihat pipinya bertambah merah. Hal mana membuat ia jadi tampak semakin menggoda. "Jangan mengada-ada," ujarnya setengah membentak. Aku mengamatinya, dia bersikap gugup dan tangannya bergerak-gerak gelisah. Aneh, pikirku. Ada apa dengannya? Semua pikiran itu buyar ketika seorang gadis berdiri di depanku. Aku melihat ke arahnya. Ah, tentu saja, aku mengenal gadis itu―gadis menyebalkan yang menuduhku akan berbuat asusila padanya, pada saat malam yang mengenaskan itu. Waktu itu gusar sekali aku mendengar ocehannya. Tapi untunglah, aku bisa menjelaskan duduk perkaranya, meski dengan sedikit marah-marah, dan aku bisa bebas dari jeruji yang sedang menantiku. Walaupun kejadian itu sudah lama berselang, aku tak pernah mendapat permohonan maaf dari gadis dungu ini. Aku mendengus, berpaling lagi pada Nona Samui, menikmati lagi wajah kakunya itu.

"Beli pulsa," kata gadis itu.

"Berapa?"

"Lima puluh ribu."

Tempat Singgah (Sekuel Bucin Kelas Kakap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang