Bab 4. Berhadapan

314 24 10
                                    

Baby Akhtar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Baby Akhtar

Kaka Ayesha

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kaka Ayesha

Anak-anak harus bersamaku. Aku tidak mau anak-anak dididik dan dibimbing oleh seorang ayah yang tidak bisa kontrol nafsu dan seenaknya sendiri. Aku tidak sudi anakku dibesarkan oleh wanita yang jual murah dirinya di hadapan suami orang. Mau jadi apa anak-anakku.

Aku dihentikan dari langkah kakiku dengan suara menggelegar,

"Dek!!! Kau bukan Tuhan! Mana tahu kita bahagia tidaknya sebelum menjalani! Bukankah kebahagiaan istri ada pada ridho suami! Jika aku ridho padamu dan dia? Maka semua akan baik-baik saja!" Masih saja keras kepala dia genggam.

"Kau berharap Surga di rumah ini? Mau dienakkan terus, gitu? Tahu maksud dari Baiti Jannati? Cari makna dari itu, Mas. Baru kau akan faham! Istri yang hatinya telah tersakiti, tidak akan pernah bisa ada Baiti Jannati!" gerutuku.

"Itu kan, katamu, Sayang? Kalau kita coba jalani dan usahakan, aku yakin bisa, kok. Banyak suami yang bisa membahagiakan istri-istrinya dalam poligami," elaknya.

"Cari saja Surga dari wanitamu itu! Aku tidak mau lagi berada di sisimu!" pungkasku sinis. Bagaimana lagi? Ini adalah ungkapan hatiku dan aku tidak mau berpura-pura baik-baik atas rasa sakit ini.

"Dek! Kita harus bicara, hari ini Mas harus ambil suatu keputusan!"

"Aku mau antar anak-anak, sebaiknya jangan berisik di hadapan mereka! Kau tak akan kuijinkan menyakiti mereka dengan ego dan nafsumu! Awass!!" Aku segera keluar rumah dan menyiapkan motor untuk mengantar anakku Ayesha ke sekolah, tentu saja Akhtar juga ikut.

Kedua anakku sudah pintar dan sudah menjadi rutinitas mereka akan mencium punggung tangan papanya sebelum berangkat, hanya aku saja yang berbeda. Aku juga biasa mencium tangannya dan dia mencium keningku. Saat ini aku tidak ingin melakukannya. Aku sudah siap di atas motor dan berada di dekat jalan raya yang cukup berjarak  dengan halaman rumah kami. Aku tidak peduli. Setelah anak-anak mendekatiku, aku membantu Akhtar berdiri di depan, motor maticku dan si kakak sudah naik di belakang, tanpa pamit aku melaju kencang, aku tahu ini masih pagi sekali.

Aku juga tanpa pamit, aku ingin dia tahu aku sangat marah dan tidak terima diperlakukan seenaknya sendiri. Memangnya aku dianggap apa? Main nikah, main masukin perempuan dalam rumah tanggaku. Gak mikir apa bagaimana anak-anak, bagaimana aku, bagaimana orang tua dan keluargaku. Mau dihajar sama ayahku? Aku bukan orang lemah yang bucin. Aku tahu yang terbaik buatku dan anak-anak. Aku juga tahu kebahagiaan itu berasal dari diri sendiri. Aku akan mencari kebahagiaanku.

Ketika aku merasa tersakiti, aku tidak akan pernah mau berlama-lama berkutat di situ. Alasan pahala? Tidak! Masih banyak jalan pahala lain yang lebih menyenangkan dan nikmat dari berbagi hati. Sepanjang jalan berkendaraku. Aku tak habis pikir dan terus menggerutu. Air mata juga terus berderai. Syukurlah maskerku terbuat dari kain dan tebal, sehingga bisa menyerap air mata dengan cepat.
Lalu aku sengaja juga memakai kaca mata hitam jika terpaksa nanti bertemu dengan bunda-bunda yang mengantar anak sekolah juga.

Setelah semua tugas rutin aku selesaikan, aku kembali lagi pulang ke rumah. Mas Virga juga pasti sudah berada di tempat kerja. Aku sendiri sudah menyiapkan diri, menata barang dan pakaianku di koper, menata pakaian anak-anak juga terutama. Aku sengaja menghubungi sahabat dekatku, aku membutuhkan bantuannya untuk sesuatu yang urgent begini. Aku tidak mau membebani keluarga dan orang tua, biar aku sakit tertatih-tatih, aku akan tetap menyimpannya untukku sendiri dan hanya beberapa orang saja yang aku beritahu.

Beberapa barang sudah aku siapkan dan sudah diambil oleh ojol karena sengaja aku kirim sebagian ke alamat sahabatku--Reyna. Hanya tersisa dua koper saja di sini, sehingga buat aku mudah untuk membawanya sewaktu-waktu. Aku masih mengerjakan semua pekerjaan rumah dan rutinitas seperti biasa. Menjemput anak sekolah dan kebetulan memang sering mas Virga di kantor selalu memberikan perhatiannya kepadaku, seperti menyapa saat istirahat siang, sedang ngapain? Lalu, menanyakan mau nitip apa saat pulang kerja.

Makanya aku sangat kaget ketika dia tiba-tiba mengatakan jatuh cinta lagi dan sudah menikah tanpa berkata dulu kepadaku. Selama ini aku saking percayanya sama dia sehingga membiarkan keganjilan berlalu begitu saja.

[Sayang, gimana perasaanmu, Sudah baikan? Sedang apa dan mau dibelikan apa kalau aku pulang kerja] Air mata ini meleleh dibuatnya, perhatian dia yang begitu terlihat sempurna nyatanya kini bukan hanya untuk aku, lagi diri dan hatinya sudah ia bagikan kepada yang lain. Muna Kamu, Mas! Manismu ini hanya omong kosong agar aku mau menerima hubungan kalian! Jangan harap! Aku punya harga diri, yang mana dengan menghadirkan dia kaukata malah membuat aku bahagia?

[Masih hancur! Kacau! Tidak usah bawa apa-apa, aku tidak butuh apapun! Kalau kaumasih mau kubutuhkan, pulanglah menjadi mas Virga yang dulu! Bukan Virga yang tak aku kenal kini!] balasku masih bernada sinis, mana bisa aku bermanis-manis di tengah hantaman duri.

[Mau aku bawakan bubur kacang hijau anget yang di persimpangan itu? Kesukaan kamu dan kue cubit kesukaan anak-anak?] Masih getol dia merayu! Jujur saja itu gak guna, Mas.

[Aku kenyang, tidak usah!] Aku langsung matikan saja ponselku dan aku tinggal saja mandi sore dan mempercantik diri.

Dikira aku yang sudah memiliki anak dua sudah gak menarik lagi, sudah tak cantik lagi sehingga kau butuh yang segar di luaran? Aku juga bisa, Mas. Hanya saja kau tak pernah peduli dan tak pernah memberikanku dana khusus untuk hal itu! Aku hanya punya bedak sederhana, pelembab kelas toko kecil dan pakaian yang aku punya sudah usia delapan tahunan, bahkan ada yang belasan tahun semenjak aku gadis, karena tubuhku syukur saja tetap langsing sehingga pakaian-pakaianku masih muat dan aku kira layak untuk aku pakai.

"Assalamualaikum, Sayaaaang! Aku pulang bawa bubur kacang hijau anget kesukaan kamu, pas banget dimakan sore-sore." Aku berharap dia benar-benar berpikir untuk menimbang lagi soal perasaan dan jawabanku. Dari suaranya sih penuh semangat dan seperti sangat ingin menyampaikan sesuatu kepadaku. Aku ingi dengar 'aku cinta dan sayang kamu, hanya kamu dan aku sudah tinggalkan dia' semoga saja.

"Hai, Sayang. Perkenalkan dia Arista, mulai sekarang dia bisa jadi sahabat dan partnermu di rumah ini, aku sudah banyak berbicara kepadanya dan dia setuju dengan peraturan kamu. Apapun itu." Gila! Masih nekat dia membawa perempuan dan pakai memeluk pinggangnya lagi di depanku? Luka hati ini kau sogok dengan bubur kacang hijau?! Benar-benar kamu, Mas!

" Gila! Masih nekat dia membawa perempuan dan pakai memeluk pinggangnya lagi di depanku? Luka hati ini kau sogok dengan bubur kacang hijau?! Benar-benar kamu, Mas!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Arista

Merajut Bingkai PatahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang