Halaman Lima

15 4 37
                                    

Bukanlah diriku kalau tidak penasaran.

Tanpa persiapan apa pun, kudekati pondok kayu itu. Aku merasa seperti sedikit punya harapan, dan rencanaku selanjutnya adalah untuk mengetahui tempat ini lebih jauh. Walaupun penemuan tempat ini berada di luar rencanaku.

Pondok itu berukuran kecil, sepetak saja. Tanpa jendela, dan rapat sekali. Hanya ada satu pintu. Kutatap sekelilingku, memastikan tidak adanya orang di sini. Aku ingin sekali masuk dengan mendobrak karena pintunya terkunci. Namun sebelum itu, kudekatkan telingaku pada pintu, mencoba mendengar aktivitas di dalam sana.

Ini aneh sekali. Aku bahkan tidak mendengar retihan kayu bakar dari perapian. Lantas, dari mana asap cerebong itu muncul?

Tubuhku mundur beberapa langkah, lalu kepalaku mendongak. Kutatap cerobong asap yang menyembul di atap itu sambil mengerutkan dahi. Jika memang demikian, seharusnya ada perapian di dalam sana.

Aku sudah mengambil ancang-ancang untuk mendobrak pintu. Namun sebelum aku sempat melakukannya, tiba-tiba dengan sangat cepat kepalaku dibenturkan sesuatu keras dari belakang. Rintihan sakit tanpa sadar lolos dari bibirku. Ditambah ada seseorang yang menotok bagian tertentu di tubuhku. Lalu, aku pun sampai berlutut dengan setengah kesadaran tersisa dan rasa pusing yang sangat hebat. Aku tidak sempat melawan balik, mereka terlalu cepat bahkan sebelum aku menyadari apa yang terjadi.

Mataku memang terpejam. Tetapi, aku yakin tidak mungkin salah saat kedua tanganku dikunci dengan gelang besi. Kudengar suara pintu pondok yang terbuka, lalu dengan masih posisi berlutut, aku diseret. Dari gaya menyeretnya, kuasumsikan bahwa ada dua orang yang menangkapku.

"La sentido," bibirku bergerak tanpa suara.

Dengan mana yang masih banyak, aku meningkatkan fungsi indera tubuhku. Kesadaranku berangsur pulih, namun luka yang kurasakan di bagian kepalaku tidak bisa disembuhkan, setidaknya belum. Alih-alih memberontak, aku sengaja masih dalam posisi dan berpura-pura pingsan. Sambil mencari tahu ke mana mereka akan membawaku pergi.

"Kau sudah pukul dengan benar, kan?" tanya suara berat dari sebelah kananku, terdengar seperti pria tua yang berbicara.

"T-tentu sudah! Kepalanya bahkan terluka," jawab seseorang di sebelah kiriku. Dari suaranya, ia bisa jadi lebih muda dari orang sebelumnya.

Satu sudut bibirku terangkat samar.

Terdengar ia menutup pintu pondok, lalu ada sesuatu terbuka di hadapanku. Semacam ... pintu ke bawah tanah, mungkin? Mereka menyeretku, turun. Bisa kurasakan lututku yang perih saat menuruni undakan dengan kasar. Sebuah tangga ke bawah.

"Aku tidak percaya dia mengirimi kita orang tidak berguna seperti ini. Lihatlah, si bodoh ini bahkan tidak melawan balik saat kita lawan dengan cepat." Si pria tua mendengkus sebal. Kepalaku ditoyornya tepat di bagian luka.

Si pria muda tertawa kikuk dan sedikit meringis saat melihat temannya menyentuh lukaku. "Mungkin saja ia punya maksud lain. Bagaimanapun, tadi kita sama sekali tak memberinya kesempatan."

Jalan yang kulalui selanjutnya berganti rata, yang mana berarti tangga terakhir sudah kami lalui. Aku sedikit menyesal menggunakan sihir peningkatan fungsi indera karena lebam di lututku terasa berkali-kali lipat lebih perih saat tubuhku masih diseret oleh kedua orang itu.

Kami berhenti, terdengar gemerincing besi dan rantai, sebelum kurasakan tubuhku sedikit terangkat, melayang ke depan, lalu jatuh berdebum. Baru kubuka kedua mataku ketika sekitar terasa sunyi serta kedua orang itu tidak terlihat lagi.

"Healing."

Kurapalkan mantra penyembuh, usai menyudahi sihir sebelumnya. Dirasa luka di kepalaku telah menutup, pun perih di lututku tidak terasa lagi, barulah aku bangkit.

Aku berada di penjara. Bersama sebuah kursi dan meja yang memuat lilin panjang serta alat sulam.

Bibirku tersenyum remeh melihat alat sulam itu. Lantas, beralih pada jendela berjeruji besi yang hanya ada satu-satunya di sini, menatap keluar.

Seingatku, pemandangan kebun tadi tidak seperti ini.

Lysander's Journal [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang