"Aku adalah aku, jangan banyak kritik."
—Bintang Mumtaz Danurwendha
°
°
°
"Jangan pernah bermain api, jika kamu tidak ingin merasakan asapnya." Kata pria bertubuh tegap itu dengan nada dingin dan rendah.
"Le-paskan saya, Tuan." Rintih pria lemah di hadapannya.
Terdengar suara tawa yang mengerikan, membuat semua orang yang ada di sana ikut merinding menatap pria yang sedang duduk dengan kedua kaki di letakkan di atas meja besar.
"Setelah yang kau lakukan?!" Sentaknya keras, berjalan menuju pria di hadapannya yang sudah tak berdaya dengan seluruh luka di wajah dan badannya.
"Berani kau mengambil uang dari perusahaanku. Bahkan, begitu bodohnya aku, sehingga kau melakukannya hampir setengah tahun, bodoh!" Mumtaz mendekatkan tungku besi panas yang memerah, menempelkannya ke wajah pria sekarat di hadapannya.
Raungan dan rintihan pun kembali datang dari bibir pria itu, menggema di seluruh ruangan bernuansa gelap dengan pencahayaan remang-remang itu.
****
"Putraku, baru pulang, Sayang?"
Mumtaz tersenyum menatap sang mama yang menghampirinya.
"Hai, Ma." Mumtaz memeluk mama tercintanya.
"Assalamualaikum." sindir Liana kepada putranya.
"Assalamualaikum, Ma." Kata Mumtaz kaku.
"Wa'alaikumsalam." Jawab Liana dan adik perempuan Mumtaz, Ana Berline Danurwendha.
"Jarang pulang kamu, Kak." Celetuk Liana kesal.
Mumtaz hanya menggaruk kepalanya yang tiba-tiba terasa gatal. "Maaf, Ma."
"Papa mau bicara nanti malam. Kamu di rumah, kan?" Tanya Liana hangat. Liana Arthan Danurwendha.
Mumtaz menganggukkan kepalanya cepat. "Iya, Ma."
"Kak!" Ana tiba-tiba memanggil dirinya panik.
Mumtaz berjalan menghampiri adiknya yang sedang duduk di kursi meja makan. "Kenapa?"
Ana memberikan ponselnya ke kakaknya, menunjukkan sesuatu yang ada di layar ponselnya. "Ini."
Mumtaz menghembuskan nafasnya kasar. Ia kira ada apa. Ternyata hanya gambar tas branded.
"Nih." Mumtaz memberikan satu kartu ATM miliknya yang baru saja ia keluarkan dari dompet hitamnya.
"Anak papa." Panggil sang papa kepadanya. Memeluknya penuh kerinduan. Arthan Danurwendha.
"Hai, Pa." Mumtaz membalas pelukan papanya hangat.
"Nggak nyangka, sudah dewasa saja anak papa ini." Kata Arthan menepuk-nepuk kedua bahu putranya.
"Memang." Jawab Mumtaz.
Arthan tertawa mendengar jawaban sang putra. "Tapi belum punya gandengan."
KAMU SEDANG MEMBACA
MUMTAZ DANURWENDHA | NEW VERSION
RomansaSebenarnya, cinta itu anugerah. Bukan malapetaka.