Act 6 - Back to School

105 33 2
                                    

Hangat. Rasanya seperti tenggelam dalam laut musim panas yang lembut dan tenang. Kapan terakhir kali aku liburan? Ingatan samarku membawa nama Parangtritis dan Bukit Palarayang. Adik kecilku suka sekali makan ikan asin dan sayur lodeh di sana, seperti buatan almarhumah nenek. Ayah memesan mendoan, memakannya sambil minum kopi dan merokok Sampoerna. Ibu dan aku berjalan di bibir pantai, membiarkan gelombang menyapu kaki kami, dan membawa kegelisahan pergi ke ujung samudera.

Lantas, angin berembus kencang tiba-tiba. Topiku terhempas dan jatuh di laut. Aku ingin menjangkaunya tetapi kalah cepat dengan ombak yang menculiknya menjauh. Nyi Roro Kidul telah mengambil sesajen. Anehnya aku tidak marah, hanya tertawa.

Ibu pun tertawa, Ayah dan Nana ikut memamerkan gigi mereka. Hari itu kami lupa masalah dunia.

"Ras!"

Seseorang mengganggu tidur siangku.

"Laras!"

Suaranya semakin kencang, sepertinya akan menjelma Hulk merah sebentar lagi. Dalam kabut, aku membuka mata dan menemukan pria tua plontos berkacamata menatapku garang sembari mengacungkan penggaris plastik. Seketika mataku beredar pada manusia-manusiaberseragam putih abu-abu di belakangnya.

"LINTANG LARAS SAKTI, KAMU BERDIRI DI DEPAN KELAS SEKARANG!!!"

Liurku muncrat, "SEJAK KAPAN AKU SEKOLAH LAGI?!"

****

Seperti sabda bapak plontos tadi, aku berdiri di depan kelas menjelma patung selamat datang. Bedanya aku pembawa sial, bukan rejeki. Dalam kesal aku memikirkan satu per satu reka adegan, bagaimana seorang Laras bisa jadi siswa SMA lagi.

Awalnya aku menandatangani kontrak dengan pria bernama Aron. Sebagai pihak kedua, aku harus patuh dan menyerahkan 2/3 sisa umurku padanya, yang berarti ia memiliki empatpuluh tahun. Umur-umur itu akan dipakai sebagai tumbal untuk membuka sihir terlarang. Untuk apakah sihir terlarang itu?

"Singkatnya, aku membuka klinik perdukunan khusus. Tugasku membasmi roh jahat atau mengutuk roh baik. Aku netral. Selama klien membayar."

"Dan sebagai ganti umurku?"

"Perlindungan, tubuh baru, dan petualangan."

"Tidak ada gaji? Kau lebih buruk dari kapitalis keparat."

"Tunggu, tunggu, memangnya untuk apa uang? Kau sudah mati, tidak butuh makan, minum, dan tidur."

"Ada deh! Pokoknya aku mau uang."

Enak saja dia minta gratisan. Saat magang pun aku tetap minta uang transportasi. Walau ke akhirat lebih cepat adalah tujuanku, memberikan umur cuma-cuma seperti menghina perjuanganku selama hidup mengumpulkan ijazah.

"Baik. Aku membayarmu."

"Sesuai UMR Jakarta."

"Terlalu mahal!" protesnya, kedua tangan Aron di atas meja seakan ingin menggebrak kewarasanku.

"Kalau gitu UMR Karawang." Aku duduk menyilangkan kaki, dia butuh aku, dia harus menurutiku.

"Turun, UMR Surabaya."

"UMR Bekasi."

"Oke, kembali ke Jakarta." Aron memijat keningnya, pusing. Tidak percaya baru saja menegosiasikan gaji pada arwah mata duitan.

Saat itu juga, si gadis kecil berlumuran darah membawa senampan teh dan biskuit. Cangkir porselennya sangat cantik, berwarna putih dengan tepian garis emas dan sulur-sulur tanaman hijau dan mawar. Minusnya, ada bola mata di dalam minuman tersebut.

"Mata ikan tuna, baik untuk kesehatan. Ayo diminum," jelasnya ceria. Perkenalan berikutnya aku tahu ia bernama Alice. Selain obsesinya pada anatomi makhluk hidup, ia adalah gadis manis yang penuh senyum.

Another Fairytale [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang