Aku tidak pernah berpikir, kenangan memarahi Ayah-Ibu dan mencibir Arman adalah ingatan yang berharga. Kureka kembali bagaimana seorang Laras tercipta. Awalnya aku anak yang biasa-biasa saja, masuk ke SD, SMP, dan SMA Negeri. Setiap hari naik angkot karena ketidakmampuan mengendarai motor. Tidak pernah absen dari rangking sepuluh besar. Teman tidak banyak. Tetapi punya kenalan luas di mana-mana. Bukan seorang pemurung atau tukang pesta.
Hanya Laras, yang begitu-begitu saja.
Dulu aku berjanji akan melajang seumur hidup. Karena punya pasangan dan anak hanya menambah petaka dalam kepala (bercermin pada rumah tangga Ibu dan Bapak). Aku bahkan memiliki cincin murah dari pasar malam yang menjadi pengikat untuk tidak berpasangan. Sampai akhirnya Arman datang. Aku tidak mengerti bagaimana sikap pasrah dan tidak muluk-muluknya berasal. Padahal ia lebih miskin dariku, lebih gaptek, lebih jelek, dan lebih susah karena ditinggal ayah kandung.
"Tidak apa-apa," adalah kalimat pamungkas Arman. Setiap kali aku menangis karena masalah pekerjaan, Arman akan mentraktirku es campur dan mengusap kepalaku. Saat kami kehujaan dan terpaksa berteduh, ia memberiku jaket kulitnya dan berdiri tepat di antara aku dan tempias hujan. Ketika aku bosan dan ingin meninju karung pasir, Arman akan datang dan mengajakku berkeliling dengan motornya lalu memintaku memeluknya dari belakang.
"Tidak apa-apa," bisiknya. Aroma Arman perpaduan sabun Lifebuoy dan mint. Bahkan di antara kami tidak pernah terucap panggilan sayang atau status pacaran. Semua berjalan dalam iramanya sendiri. Dalam arus tenang dengan Arman sebagai nahkodanya.
"Siapa Arman?" tanya Aron tiba-tiba dari balik bahu. Cepat-cepat kututup jurnal memori dan mendorong Aron menjauh agar ia mengerti batas privasi.
"Pacarku!" jawabku ketus. Tetapi Aron malah memiringkan alis dan tersenyum mengejek. "Kenapa?!"
"Laras, kau merindukan masa lalumu?" tanya Aron pelan-pelan, ia mengambil kursi bundar tanpa sandaran dari samping meja kerja Alice. Kemudian duduk sambil menyadarkan kepala pada tangan kanannya yang menumpu di tepi meja.
Dengan berat hati kuanggukan pertanyannya.
"Kau hantu, Laras. Bukan manusia."
"Apa hantu tidak boleh kangen?"
"Semakin kau merindukan sesuatu, semakin keras kenangan itu menjebakmu. Kau akan jadi hantu yang mengerti satu perasaan. Kau pikir kenapa kuntilanak suka tertawa malam-malam?"
"Karena dia senang mengerjai orang?"
Aron menggeleng sambil mengembuskan napas. Kentara jarang tidur. Satu tangannya terjulur dan mendarat di atas kepalaku. Menepuk tipis ubun-ubun. "Laras, lupakan."
"Aku masih sayang masa laluku," kataku sambil menepis tangan Aron. "Itu hakku."
"Dan kewajibanku menjagamu menjadi hantu gentayangan." Aron meluruskan punggungnya, duduk tegap, dan menjadi lebih tinggi satu kepala dari sebelumnya. "Akalmu yang paling utama. Kalau kau sampai kehilangannya ... kau musnah."
"Cari hantu lain!"
"Tidak mau!"
"Kenapa tidak?"
"Karena cuma kau yang punya sisa umur panjang."
Kucondongkan tubuh sedikit, berusaha mengintimidasi Aron. Tetapi ia tidak bergeming. "Dua per tiga umurku ada padamu, pengabdianku hanya sebatas membantu pekerjaanmu, dan bukan menurutimu. Untuk apa menahanku?"
"Laras, aku membutuhkanmu, itu saja," ucap Aron sungguh-sungguh. Sedalam dan sesepi sebongkah es di tengah lautan luas. Sejenak kami berpandang-pandangan, ia memang memiliki mata yang mirip dengan Arman. Tetapi miliknya jauh lebih gelap dan sangat kelelahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Fairytale [On Hold]
FantasíaLaras mengakhiri hidupnya karena terlalu bosan. Siapa sangka antrian ke akhirat terlalu panjang. Jadi, malaikat maut menyuruhnya gentayangan sampai namanya dipanggil kelak. Ternyata, jadi hantu tidak buruk juga. Laras bisa bertemu dukun nyentrik, pe...