Act 9 - Persiapan ke Pesta

84 24 5
                                    

Sambil turun dari balkon menuju ruang tengah, aku mencolek punggung Aron. "Katanya, tidak ada yang bisa masuk tanpa ijinmu?"

"Hanya berlaku pada manusia."

"Dia bukan manusia?" tanyaku menganga. Tetapi Aron tidak menjawab. Setelah beberapa langkah, kami berhadap-hadapan. Tamu itu ikut berdiri dan menyalami kami satu-satu seperti kolega jauh dari cabang perusahaan yang sukses.

Wanita itu tampak normal, ia memakai setelan putih abu-abu khas SMA negeri. Rambutnya panjang lurus berkilau. Ia seperti remaja yang sering ke salon. Wajahnya oriental dan berkulit cokelat campuran asia timur dan tenggara.

"Kau tidak tertarik mencari teman satu ras?" tanya wanita itu.

"Manusia itu membosankan," jawab Aron, ia duduk dan memerintahku untuk mendampinginya dengan israyat tepukan ringan pada ruang kosong di samping. Aku menurut.

"Satu homonculus, satu arwah gentayangan, dan satu mayat hidup." Wanita itu menghitung. Padahal hanya ada aku, Aron, dan Alice.

Siapa yang homonculus dan mayat hidup?

"Apa urusanmu?" tanya Aron tanpa basa-basi. Sama sekali bukan khasnya, karena yang kutahu orangnya suka berkelakar dan menjelaskan apa saja.

"Kuharap kau tidak membocorkan identitasku tadi di sekolah," kata wanita itu, agak mengancam. Seolah-olah, jika kami melakukan satu saja kesalahan, ia akan mencambuk dengan pecut yang disembunyikan di balik punggung.

Tunggu tunggu, sekolah?

Oh.

OOOHHHHH!

"Kau Laras?" tunjukku. Tidak menyangka jika Laras adalah wanita yang bersuara dalam dan memiliki kepercayaan diri setara aristokrat. Kupikir Laras itu adalah gadis culun yang pekerjaannya mendendam sambil menusuk boneka vodoo.

"Ya," jawabnya singkat, kemudian lanjut menyesap teh. "Mata-mataku sudah bergerak ke kediaman Rian. Karena insiden di sekolah tadi, ia tiba-tiba mengundang banyak teman ke pesta ulang tahunnya malam ini. Sangat ganjil, karena tanggal lahir yang dicantumkan pada identitasnya bukan hari ini."

"Rian harus ditangkap," usul Aron.

Aku yang tidak tahu apa-apa cuma mengangguk. Entah Laras, Rian, dan Aron sedang bermain peran dalam dunia apa. Sepertinya ini bukan perkara yang bisa diselesaikan polisi atau densus 88 dalam semalam.

"Belum ada bukti yang kuat," Laras mencengkeram cangkirnya lebih erat. "Sejak pakta perdamaian ditandatangani, Kaum Purnama dan Anak Merah sangat berhati-hati agar tidak memicu sentimen publik."

Sentimen publik?

"Tunggu," sanggahku, "Ada yang bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi? Aku menuntut kejelasan sebelum mengabdi lebih lanjut."

"Itu tidak ada dalam kontrak," jawab Aron, kentara malas berlama-lama di hadapan Laras. "Tugasmu cuma memberi umur dan mematuhiku."

"Terdengar seperti perbudakan," Laras menyela dari seberang, masih khidmat menyesap teh.

"Benar." Aku menyilangkan kaki dan tangan bersamaan, menatap Aron tajam sambil meninggikan dagu. "Aku perlu tahu sebagai bawahan."

"Nanti, kita selesaikan kasus ini dulu." Aron akhirnya mengambil teh, meminumnya cepat sampai tersisah separuh. Hari ini tidak ada mata tuna. Hanya beberapa lembar bunga hitam yang tercium manis dan agak sepat. "Kita harus pergi ke ulang tahunnya Rian."

"Lalu meringkusnya saat melakukan kejahatan," sambung Laras.

"Dengan begitu kita bisa memiliki bukti sekaligus tersangka," Aron menyimpulkan, tampak bangga dengan kalimat barusan.

Another Fairytale [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang