Episode 1

14 1 0
                                    

 “Ibu rasa cukup untuk pertemuan hari ini. Sekian, terimakasih, wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh,” Hilya menutup kelasnya.

     “Waalaikumsalamwarahmatullahi wabarokatuh,” siswa kelas 12 IPA tiga menjawab dengan serentak.

     Hilya meninggalkan kelas dengan senyum lebar . Terdapat satu jurnal dan satu buku ajar ditangannya. Langkahnya mantap, memperlihatkan bahwa ia memang layak menyandang guru teladan di SMA Tahfidzul Qur’an. Sudah lima tahun ia menjalani profesi mulia ini.

      “Hil, nanti pulang sekolah nongkrong yuk,” ajak wulan, seorang guru seni rupa yang masih belia.

      “Boleh. Dimana?,” Tanya Hilya.

     “Biasa, Blanco coffee,” jawab Wulan.

     “Oke.”

Blanco Coffee, 15: 37

     Wulan dan Hilya duduk berhadapan ditemani  dua cangkir Cappucino. Mereka memilih tempat duduk dipojok dekat kaca, itu memang tempat favorit mereka. Terdapat banyak buku sebagai latar penghias interior. Musik barat klasik mengalun syahdu menembah suasana hangat.

    “Bagaimana dengan pak Haris?,” Wulan membuka obrolan dengan pertanyaan yang ia tahu Hilya enggan untuk membahasnya.

     “Hah, pak Haris lagi, pak haris lagi. Cari topik lain kek. Tanya tentang kosnpirasi dunia kek, tentang perdebatan bumi datar kek, atau bahas kenapa mie goreng bikinnya di rebus,” Hilya menanggapi kesal.

      “Hehe, ya kali aja kamu udah nembuka hati untuk pak Haris,” goda Wulan.

      “Mmhh,” Hilya menghela nafas.

      “Gimana soal Zen,” Wulan mengganti topic.

      Hilya tak lantas menjawab. Ia hanya bisa melempar senyum. Sorot matanya menyimpan harapan yang mendalam. Melihat respon Hilya, wulan hanya manggut-manggut, menunjukan bahwa ia mengerti arti dari senyuman itu.

     “Mungkin ini saatnya Hil,” ucap Wulan serius.

     Hilya menaikan alisnya.

    “sudah terlalu lama kamu menanti orang yang mungkin sekarang sudah bahagia dengan orang lain,” lanjut Wulan.

    Hilya hanya terdiam mendengar perkataan Wulan. Sudah Lima tahun sejak dirinya di wisuda, sejak saat itulah kisahnya dengan Zen harus terjeda. ‘Aku akan kembali’, satu kalimat yang Zen ucapkan sebelum ia pergi untuk melanjutkan studi strata dua nya di Amerika. Sejak perpisahan itu hubungan mereka hanya sebatas berkirim pesan atau video call melalui gadget.

      Petualangan baru meninggalkan kisah lama, mungkin begitulah yang dialami Zen dan Hilya. Perlahan perjalanan hidup merampas kisah mereka, ikatan yang terbangun lama kian hari kian merenggang tergerus kesibukan masing-masing dengan petualangan barunya. Sampai pada akhirnya, salah satu dari merekapun menghilang.

      “Aku nggak tau lan,” jawab Hilya singkat.

      “Kamu nggak boleh menyiksa dirimu sendiri. Masih banyak kok laki-laki yang jauh lebih baik dari Zen.”

MENJEMPUT JANJITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang